Mbak

“Antara kesal, sedih, kasihan sekaligus takut telah memicu amarahku pada arwah kakek itu.”

Aku berjalan pelan menyusuri isi rumah itu. Rumah yang suram. Aku jamin, siapapun yang memasuki rumah ini, aura kemuraman merasuk sampai ke tulang rusuk. Bulu kudukku meremang, degup jantungku seakan berkejaran menuju garis finish lomba sprint. Tak ada satupun tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tak sesosok makhluk pun tampak. Hanya ada sebuah suara yang berasal dari televisi yang masih menyala. 

Aku berbalik badan, langkahku terhenti di dekat ruang tamu. Sudut mataku menangkap sesuatu yang tak lazim di tengah-tengah ruang itu. Tunggu! Bukankah itu tubuh manusia? Mengapa bentuknya begitu mengerikan? Tubuh milik seorang pria tua itu tergeletak di lantai dengan tangan dan kaki ke atas kemudian menekuk seperti posisi duduk. Di dekatnya ada sebuah kursi goyang bergerak pelan tertiup kipas angin yang masih menyala.

Seluruh tubuhnya seperti kayu, sangat kaku. “Rigor Mortis,” gumamku. Begitu kusentuh nadinya, tak ada sedikitpun jejak kehidupan tersisa. Kulitnya beku sedingin es, permukaannya memutih sempurna. Matanya sedikit terbuka. Ya benar, pria ini sudah meninggal.  

Kututup kedua kelopak matanya dengan tangan kananku. “Beristirahatlah dengan tenang, Kek.”

Dari informasi yang kudapat, pria ini hidup sebatang kara. Dia tak punya keluarga maupun kerabat satupun yang berada di sisinya. Istrinya sudah tiada. Semua anak-anaknya merantau, menjalani kehidupan mereka masing-masing. Sungguh menyakitkan. Aku tak bisa membayangkan betapa sakit dan kesepiannya dia ketika sedang meregang nyawa. 

“Mbak ….” 

Sontak aku berbalik. Suara khas seorang pria seolah bergema di kedua telingaku. Akan tetapi, tak ada siapapun yang berdiri di sisiku. Rekanku? Bukankah dia sedang menungguku di mobil ambulan? 

Aku mencoba berkeliling ke setiap ruangan, berharap menemukan jawaban. Siapa tahu ada salah satu keluarganya datang. Tapi nihil. Tak sekelebat bayangan pun aku temukan. Ah, ya sudahlah, mungkin cuma perasaanku saja. 

“Mbak ….”

Lagi-lagi suara itu muncul makin jelas. Kali ini aku merasa suara itu berasal dari ruang tamu.  Aku bergegas berlari menuju ruang tempat si kakek tergeletak tadi. 

Aku terkesiap. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat di depanku kini. Kedua mata si kakek membelalak. Mulutnya yang semula menutup, kini terbuka lebar. Bagaimana bisa? Bukankah seharusnya aku tadi sudah menutup matanya? Dan mulutnya? Adakah orang lain yang tega membukanya?

Tanpa berpikir panjang, aku menutup kembali kedua matanya. Aku ambil saputangan di sakuku untuk mengikat dagunya. Aku pastikan membuat simpul mati di ubun-ubunnya. 

“Maaf ya, Kek. Semoga Kakek tidak kesakitan dengan ikatanku. Aku terpaksa melakukannya supaya semua yang melihatmu merasa nyaman dan Kakek damai di sana.”

Aku mencoba berkomunikasi dengan jasad itu. Aku percaya, sekalipun orang sudah meninggal, dia bisa mendengar suara orang lain yang masih hidup dan merasakan sakit saat jasadnya diperlakukan dengan tidak lembut.

Aku rasa tugasku sudah usai. Aku harus kembali ke rumah sakit karena polisi telah datang. Mereka menyisir lokasi, memeriksa mayat dan menanyakan beberapa informasi dari aku.

Aku kembali ke ambulans. Aku bercerita banyak tentang si kakek kepada rekanku–sopir ambulans yang sedari tadi menungguku. Rekanku turut merasakan keprihatinan dengan akhir hidup si kakek. 

“Mbak …” 

Suara yang sama kembali aku dengar. Suara itu berasal dari arah belakang ambulans. Rekanku menyentuh lenganku. Ternyata dia juga mendengar suara itu. Kami melihat melalui spion. Kosong. Tak ada seorangpun di sana. 

“Mbak ….”

Aku meminta rekanku menghentikan mobil. Kami berdua terperanjat. Sesosok manusia terlihat duduk di atas tempat jenazah. Wajahnya pucat, seluruh bola matanya menghitam menatap tajam kepada kami berdua. Itu … bukankah itu adalah kakek yang meninggal tadi? 

Bagaimana mungkin dia hidup lagi? Aku yakin seyakin-yakinnya si kakek sudah tak bernyawa saat kuperiksa tadi. Jangan-jangan arwah kakek itu memang ingin mengikuti kami!

Ini tidak bisa dibiarkan. Harus segera aku bereskan! 

Dibantu rekanku, aku buka pintu belakang ambulans. Arwah kakek itu masih dalam posisi duduk. Mulutnya terbuka lebar, suaranya berat, serak namun masih jelas terdengar.

“Mbak ….”

Oh, jadi benar panggilan “mbak” dari tadi berasal dari si kakek. Jika benar dia menguntit kami artinya dia masih belum bisa menerima kematiannya. Makanya dia masih ingin menjalin berkomunikasi dengan manusia hidup seperti aku.

“Kek, sadarlah Kakek sudah mati. Dunia kita sudah berbeda.”

“Mbak ….” Arwah kakek itu masih saja mengulang kata yang sama.

“Tolong, jangan ikuti kami. Aku tahu ini menyedihkan. Aku hanya bisa ikut prihatin dengan kondisi Kakek. Tapi terimalah kenyataan ini. Pergilah ke tempat Kakek seharusnya!” teriakku parau. 

Aku tergugu. Segenap rasa bergemuruh di dalam dadaku. Antara kesal, sedih, kasihan sekaligus takut telah memicu amarahku pada arwah kakek itu. 

Aku menduga dia mengikutiku, karena aku adalah orang yang pertama dan terakhir ditemuinya, sesaat sebelum nyawanya terlepas dari raga. Tidak! Tidak boleh seperti ini. Membayangi ke mana pun aku pergi. Aku ingin menjalani kehidupan normal sebagai manusia biasa.

Bayangan kakek memudar, perlahan hilang dari pandangan. Sunyi. Aku kehilangan kata-kata. Mataku memanas. Wajahku basah.

Kim Yumna Halim. Seorang pelajar SMA, pecinta buku, kucing, dan corat-coret tulisan.

[red/na]

Glosarium:

Rigor mortis: Kaku mayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *