Maaf

“Aku ingin bahagia tetapi keliru mencari sumbernya, karena ternyata hari-hariku tak pernah baik-baik saja.”

Halo, Ratna. Aku Andien, istri dari Khodir, suamimu. 

Meski tak banyak tahu tentangmu, tapi aku yakin kau orang baik, sebagaimana Khodir dan Marda, dan aku bersyukur bisa mengenal mereka yang mengenalmu dan memperkenalkanmu kepadaku walau hanya lewat cerita.

Kau tahu, aku tak tahan menuliskan ini: suami kita adalah lelaki baik. Pantas kalau kau mencintainya dan aku jatuh cinta kepadanya.

Setelah kau pergi, Marda baginya yang paling berharga, dibawanya ke mana-mana seakan-akan ia adalah nyawa, diperkenalkan kepada teman-teman baiknya semata-mata agar Marda merasa hangat. Ini terjadi sebelum kami menikah.

Kau tahu, kehangatan tak hanya bersumber dari keluarga baik, tetapi juga teman baik.

Terus terang, aku pernah meremehkan Khodir. Kepada seorang teman, aku berkata, paling-paling yang dilakukan lelaki duda itu hanya berlangsung sebulan, mentok dua bulan, dan gadis kecilnya bakal terlunta-lunta di bulan ketiga sebagaimana kucing pasar.

Aku keliru. 

Suatu pagi, Khodir meneleponku, memintaku datang ke rumahnya karena ada pesta. Marda ulang tahun, kiraku.

Aku datang malamnya, dengan sekotak kado. Teman-teman lain telah datang duluan. Di ruang tamu, dekorasi pesta membuatku terheran. Di antara dinding yang ditempeli balon-balon, terdapat tulisan “Selamat Hari Selasa”.

Aku menemui Marda dan memberinya kado dan menyelamatinya. “Selamat ulang tahun,” kataku. “Aku tidak ulang tahun, Tante,” balasnya.

Aku mencari Khodir untuk sebuah penjelasan. Aku menemukannya di teras. Katanya, ia selalu menggelar pesta setiap kali Marda murung. Jika Marda murung di hari Kamis, maka dekorasi di dinding akan tertulis “Selamat Hari Kamis”. Begitupun di hari-hari lain.

Ia juga bercerita bahwa setelah kepergianmu, selama dua tahun ia berlutut di kaki Marda, bermain-main sebagai ibu sekaligus ayah dari gadis kecil yang perasaannya mudah berubah seperti hari dalam pergantian musim; tak tertebak antara panas dan hujan. Bahkan mengenai bangun pagi, ia melenceng dari pengertian banyak orang.

Setiap pagi, katanya, ia akan menyiapkan sarapan, menuang susu—bila sial, ia akan menuang lagi karena Marda menumpahkannya—dan menguncir rambut Tuan Putri tersebut.

Ia memahami perbedaan kuda poni bersayap, kuda poni bertanduk, dan kuda poni bersayap sekaligus bertanduk. Ia tahu karena itu penting bagi Marda dan kepentingan Marda berarti kepentingannya. 

Kau tahu, Ratna, umumnya cinta sulit diterka. Maksudku begini. Seringkali, orang hanya menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta, tetapi tak tahu bagaimana, kapan, dan di mana persisnya itu terjadi. 

Tidak bermaksud sombong, tetapi aku tahu persis kapan cintaku jatuh kepada Khodir. Ya. Malam itu. Persisnya, Selasa, 7 Maret 2015, di rumahnya.

Saat itu, aku merasa bahwa bersama sosok sepertinya akan membuat hari-hariku baik-baik saja dan itu cukup. Bukankah itu yang dicari oleh setiap orang? Maksudku, bukankah hidup seringkali disalahsangkai? Aku punya pengalaman buruk dan belajar dari itu. Aku ingin bahagia tetapi keliru mencari sumbernya karena ternyata hari-hariku tak pernah baik-baik saja. 

Kami berpacaran akhirnya, selama enam bulan, dan menikah kemudian. Kau tahu, badai datang darimu, setidaknya begitulah yang kurasakan dulu. 

Suatu malam ketika Khodir belum pulang, Marda mengigau dalam tidurnya, menyebut ibu, ibu. Setelah memberinya segelas air, ia tak ingin aku pergi dan ia ingin aku tidur di sampingnya. Dengan mata terpejam, ia mendekapku dan berkata, terima kasih, ibu.

Entah siapa yang ia maksud sebagai ibu, aku tak tahu tetapi aku selalu menyangka bahwa itu panggilan untukmu. Kau tentu tak tahu perasaanku, seorang gadis kecil menginginkanku rebah di sampingnya dan di saat yang sama ia memimpikan ibunya. Setiap bangun pagi, aku merasa aneh ketika menyadari bahwa seorang gadis kecil memanggilku ibu tetapi juga merindukan ibunya. Dan di saat tertentu, aku bahkan tak tahu siapa yang disebutnya sebagai ibu.

Barangkali sepele bagi orang lain tetapi tidak bagiku. Nyatanya, aku dihantui oleh sebutan ibu dari hari ke hari.

Aku pergi. Kepada Khodir dan Marda, aku berpamitan untuk pulang ke rumah orang tua dan berjanji akan kembali di hari ketiga. Aku tak kembali di hari ketiga, keempat, aku bahkan tak kembali di hari kesembilan.

Pernikahan kami baru setahun, tetapi aku mengacaukannya. Aku terlalu sombong. Kukira, semua akan baik-baik saja jika menikahi sesosok Khodir, ternyata tidak. Kurasa, andai kata aku menikahi lelaki lain, semuanya akan berlangsung sama, yaitu buruk.

Aku sadari itu setelah Khodir menyadarkanku.

Kau tahu, Khodir seorang diri menyusulku dan kami berdebat di ruang tamu dan ibu berpamit pergi ke pasar. 

Kepadaku, Khodir berkata, “Jika berpikir bahwa kita akan menjalani hidup seperti orang tua lain, kamu keliru.”

Itu pukulan telak. Ada yang tumbang tetapi bukan kesadaranku. 

Khodir memberiku waktu seminggu untuk menenangkan diri dan harus kembali atau tak perlu selamanya kembali. Katanya, “Aku tak ingin Marda merindukan dua ibu dan keduanya hantu.”

Sebelum meninggalkanku, Khodir meletakkan secarik kertas di meja. Kau tahu, aku menitikkan air mata ketika membukanya. Ada gambar kita, juga Khodir dan Marda dan kau memiliki sayap, juga lingkaran emas di kepala, terbang di dekat awan sambil tersenyum dan melambaikan tangan.

Sekarang aku tahu masing-masing posisi kita dan kau bukanlah badai; kau dan aku sama, ibu dari Marda. Kau dan aku hanya duduk di bangku yang berbeda.

Lewat surat ini, aku ingin bilang kalau aku sayang kepadamu, dan aku memohon maaf karena telah berprasangka buruk kepadamu.

Baron Negoro. Penulis seorang buruh di Semarang.

[red/san]

One thought on “Maaf

  1. Waow..
    Menikah dengan duda mati tidak mudah juga. Untung anaknya masih kecil. Kalau dah remaHfa atau dewasa mungkin kesulitan yang nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *