Kucing Siam (Bagian 2)

Kucing Siam

“Jeff terbujur kaku di atas lantai ruang tamu yang berlapis karpet bulu lembut berwarna putih. Kedua tangannya mencengkeram dada, seperti penderita serangan jantung yang digambarkan di film-film.”

Baca bagian 1

*****

Si Kuda Pucat benar-benar merasuki benak Monik. 

Dalam perjalanan pulang kerja sore itu, Monik mengayuh sepedanya sambil berpikir. Mungkin sebaiknya ia mengambil sampel sabun dan losion itu. Lalu mengirimnya ke laboratorium untuk diperiksa. 

Ya, begitu lebih baik daripada ribut-ribut. Siapa tahu ia hanya paranoid. 

Jeff memang suka hidup bermewah-mewah dan kurang pandai mencari uang. Akibatnya warisan orang tuanya kian menipis. Namun, itu tidak serta-merta menjadikannya seorang pembunuh. Apalagi meniru metode pembunuhan dari novel, bukan?

Lantaran terlalu serius berpikir, Monik nyaris menyenggol sebuah truk. Ia cepat memusatkan perhatian pada jalanan di depannya. 

Kerinduan pada kucing kesayangannya sudah memuncak. Sore itu Monik akan datang membawakan makanan kucing istimewa kesukaan si Kitty. 

Hari itu genap 10 tahun mereka bersama-sama. Ya, tepat 10 tahun yang lalu orang tua Monik menghadiahkan seekor anak kucing Siam kepada putri semata wayang mereka. 

Seolah mereka mendapat firasat, dan mencarikan sahabat baru untuk menemani Monik. Sebab beberapa bulan setelahnya, kedua orang tua Monik meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan tragis. 

Namun, kini si Kitty pun sudah semakin menua. Monik tak tahu apa yang harus dilakukannya jika suatu saat nanti si Kitty juga pergi. Barangkali ia akan tenggelam dalam kesepian.

Monik melangkah memasuki rumah. Ia heran karena si kucing tidak menyambut seperti biasanya. 

Ah, barangkali si gembul sedang asyik menghabiskan makanannya. 

Monik memanggil-manggil dan mencari kucingnya. Ternyata kucing berbulu cokelat lembut itu sedang tidur-tiduran di teras belakang. 

Namun, aliran darah Monik berdesir kencang. Kepala kucingnya berada dalam posisi aneh, seperti setengah terpuntir ke belakang. Sedangkan kedua matanya terpejam. 

Dirabanya dada si kucing. Jantungnya masih berdetak meskipun terasa lemah. 

Monik segera menggendong kucingnya. Ia melarikannya ke klinik dokter hewan langganan yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya.

Monik langsung menerobos masuk ke ruang praktik. Tak dihiraukannya tiga ekor anjing dan seekor kucing yang masih mengantre ditemani pemilik mereka. 

Untung tak ada seorang pun yang protes. Wajah panik seorang gadis, dan pemandangan kepala kucing yang terkulai dengan posisi tidak wajar, membuat semua pengantre maklum.

“Si Kitty masih hidup dan bernapas. Namun, lehernya patah,” ujar dokter hewan. “Tak banyak yang bisa kami lakukan. Namun, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan nyawanya,” tambah dokter tersebut.

Dokter memintanya meninggalkan Kitty di klinik untuk dirawat inap. Ia berjanji akan memberi kabar jika ada perubahan berarti. 

Sambil menahan tangis, Monik mengayuh sepedanya pulang ke penthouse. Ia akan mencoba minta izin pada suaminya untuk menemani si Kitty di klinik. 

Siapa yang tega melakukan perbuatan sekeji ini pada kucingnya? Makhluk indah itu tak pernah menyakiti siapa pun! 

Dadanya terasa sesak. Bayangan Kitty yang lemah membuatnya merasa Kitty akan segera pergi. Kalau si Kitty memang sudah waktunya pergi, ia ingin berada di sisinya.

Mobil suaminya sudah bertengger manis di sudut parkir yang khusus disediakan untuk penghuni VIP. Ah, rupanya Jeff sudah pulang. 

Monik bergegas naik ke penthouse. Dan dia menemukan kejutan kedua pada hari itu. 

Jeff terbujur kaku di atas lantai ruang tamu yang berlapis karpet bulu lembut berwarna putih. Kedua tangannya mencengkeram dada, seperti penderita serangan jantung yang digambarkan di film-film. 

Sebuah jambangan porselen antik berwarna putih-biru pecah berhamburan di bagian lantai yang tidak dilapisi karpet.

Jeff yang malang, pikir Monik. Entah apa yang terjadi sehingga jantungnya tak mau lagi berkompromi. Monik segera meraih telepon dan menghubungi ambulans. 

Monik tak berani menyentuh Jeff. Ia hanya sekadar meletakkan jari tangannya di depan hidung suaminya itu, untuk mencari tahu apakah ia masih bernapas atau tidak. Ternyata tidak. 

Sekilas, Monik melihat luka tipis dan samar seperti bekas cakaran hewan pada tangan kanan Jeff. Namun, ia tak terlalu yakin. Bisa jadi cakaran kucing atau hewan lain.

Sementara itu, sesuatu yang samar, tipis, dan berwarna kecokelatan terlihat cukup kontras di atas karpet putih bersih. Hal itu menarik perhatian Monik. 

Ia mendekati dan mengamati benda itu. Ternyata bulu hewan! 

Sepertinya bulu kucing. Warnanya cokelat seperti bulu kucingnya! 

Bagaimana mungkin? Kucingnya yang sudah tua tidak mungkin bisa berjalan ke sini karena terlalu jauh. Belum lagi mendaki hingga ke lantai tiga puluh dan masuk ke penthouse! 

Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan bayangan Monik. Mungkinkah petugas ambulans datang secepat ini? Baru semenit lalu ia meletakkan gagang telepon. 

Dibukanya pintu, dan dilihatnya seorang gadis cilik berwajah ketakutan. Ia sedang menggendong seekor kucing siam. Warna bulu kucing itu mirip seperti bulu kucingnya. 

“Errr, maaf Bu, Ibu pemilik apartemen ini? Errr, kami baru pindah ke apartemen sebelah … tadi kucing saya menyelinap ke apartemen Ibu lewat balkon luar. Lalu saya mendengar ada sesuatu yang pecah. Kalau itu gara-gara kucing saya, saya bersedia mengganti, Bu. Saya minta maaf. Nanti malam sepupu saya akan datang menjemput si Pus. Dia akan tinggal di rumahnya. Sayang sekali di sini kita tak boleh memelihara binatang ….” Anak itu tampak sulit melanjutkan kata-kata.

Monik tersenyum ramah. Diyakinkannya si gadis cilik bahwa benda yang pecah itu bukan sesuatu yang berharga. Dengan demikian tak perlu diganti. 

Si gadis cilik pamit. Ia berlalu dengan wajah cerah. Kucing dalam gendongannya mengeong lirih seolah menyampaikan permintaan maaf. 

Monik menutup pintu. Ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata. 

Puluhan novel Agatha Christie yang dilalapnya sejak remaja berkelebat di benaknya. Mampukah ia kini menjadi detektif dan menarik kesimpulan dari fakta-fakta yang ada?

Gunakan sel-sel kecil kelabumu, mon ami, bisik detektif kesayangannya yang bertubuh mungil dengan kepala berbentuk telur, berkumis tebal, dan gemar berpakaian rapi, M. Hercule Poirot. Percayalah pada naluri wanita, nasihat Mrs. Oliver. Naluri wanita tak pernah salah! 

Poirot mendengus. Manusia bisa berbohong, jadi percayalah pada fakta. Hanya fakta semata. Jelas bahwa Poirot tidak berminat memasukkan unsur naluri wanita dalam penyelidikannya.

Monik memutuskan mengikuti saran Poirot. Namun ia juga menyertakan naluri wanita ala Mrs. Oliver. Toh, pada kenyataannya dalam novel-novel itu, naluri seorang Ariadne Olliver tak pernah salah. 

Fakta kesatu, Jeff memiliki kunci rumah Monik. Sebuah ruangan dalam rumah itu dijadikan gudang untuk menyimpang barang-barang milik Jeff. Hal itulah yang membuat Monik merasa perlu memberinya kunci duplikat. 

Selanjutnya Monik berandai-andai. Katakanlah, Jeff benar-benar mencoba meracuni istrinya dengan thallium yang ditaruhnya dalam sabun, sampo, dan lotion untuknya. 

Namun, ternyata sang istri jarang mandi di rumah karena harus menengok kucingnya setiap hari. Maka, si kucing harus disingkirkan! 

Sebelum Monik pulang, Jeff menyelinap diam-diam. Ia berupaya merenggut nyawa si kucing. 

Hal ini dikuatkan oleh fakta kedua, yaitu bekas luka seperti dicakar kucing pada pergelangan tangan Jeff. Meski samar, fakta itu tidak bisa diabaikan.

Fakta ketiga, sore itu seekor kucing siam milik tetangga melenggang masuk ke penthouse Jeff. Hal itu dibuktikan dengan adanya jejak berupa helai-helai bulu cokelat lembut di atas karpet. 

Monik kembali mencoba ‘mengenakan sepatu’ suaminya. Yakin bahwa si kucing sudah mati, Jeff pulang ke penthouse dengan perasaan menang. 

Namun apa yang terjadi? Dilihatnya seekor kucing siam bertengger manis di atas meja tamu! Persis kucing yang baru saja dibunuhnya beberapa saat lalu! 

Jeff kaget luar biasa. Barangkali saat itulah serangan penyakit jantung merenggut nyawanya. 

Si kucing yang juga kaget melihat Jeff ambruk, lantas meloncat. Ia menyenggol sebuah jambangan porselen. Kemudian kembali menyelinap ke apartemen sebelah melalui balkon luar.

Ponsel Monik berbunyi. Dokter hewan mengabarkan kucingnya telah pergi. 

Ya, si Kitty pergi setelah sempat melawan sekuat tenaga dan mencakar tangan penyerangnya dengan gagah berani. Kitty pergi setelah secara tak langsung menyelamatkan nyawa Monik.

Seolah teringat sesuatu, Monik merogoh bagian depan tasnya. Ia mengambil sesuatu, lalu segera lari ke kamar mandi. Dua menit kemudian petugas ambulans mengetuk pintu apartemen.

Sepanjang malam itu Monik mengurus segalanya dengan tabah. Mulai dari urusan dengan ambulans, ke rumah sakit, mendapatkan surat keterangan kematian dari dokter, memesan tempat di rumah duka, mengatur rencana pemakaman. 

Tak setetes pun air mata mengalir di wajahnya. Seorang perawat yang bersimpati menepuk punggung Monik dengan lembut. 

“Ibu pulang saja, beristirahatlah di rumah. Kami akan mengurus jenazah Bapak dengan sebaik mungkin. Besok pagi saja Ibu datang lagi ke sini.”

Monik hanya tersenyum dan mengangguk. Secercah asa mulai tumbuh. Asa yang masih amat rapuh dan samar. Namun sanggup mengusir bayangan kelam kesepian yang menghantuinya selama ini. 

Tangan Monik meraba saku celana. Dikeluarkannya lagi benda berbentuk pipih panjang itu, untuk melihat dua buah garis biru yang muncul di sana. 

Positif!

[red/san-red]

Santi Kurniasari, pecinta kucing, menulis untuk healing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *