Site icon ghibahin.id

Kau yang Mengganggu Pikiranku

Foto oleh Vlad Bagacian

“Tak ada siapapun kecuali aku dan kau saat ini. Entah kemana perginya laki-laki berseragam yang mengantarmu tadi.”

Malam ini, aku hanya ingin bersenang-senang. Kebetulan, kau yang terpilih mewakili kaummu untuk memuaskanku kali ini. Mungkin saja aku salah, karena menganggap kau sama dengan kaummu yang lain, yang selalu bisa memberikanku kenikmatan, memberikan kepuasan yang membuatku merindu.

Siapa sangka, pertemuan kali ini justru menjadi ajang pertarunganku denganmu. Kau, yang seharusnya menjadi pelampias rinduku satu tahun ini, justru menjelma menjadi sesosok bajingan pembangkang yang menyulut emosiku. Mengapa kau enggan mengikuti mauku? Mengapa kau tak mau memuaskanku?

Tahukah kau betapa merindunya aku mengenang sensasi itu? Hitammu yang terlalu sempurna di mataku, asin kulitmu yang membuatku tak henti-hentinya melesapmu, dan tentu saja, aroma khasmu yang memabukkanku. Kepingan kenikmatan yang kau berikan saat pertama kali aku menikmati kaummu, seperti selalu saja hadir menyergapku tanpa ampun. Memikatku, dan memaksa untuk terus tinggal di benakku.

Dan ketika aku memiliki kesempatan untuk melampiaskan semua kerinduan itu, kau malah melawanku.

Sebenarnya kau hanya diam. Seperti biasa. Seperti yang lainnya.

Tapi aku tahu, saat ini kau sedang melawanku. Kau diam, namun kau seperti tak membiarkanku menikmati keintiman ini. Aku tahu itu. Aku merasakan itu. Jadi jangan salahkan aku ketika pada akhirnya, saat ini, aku akan melawanmu.

Jangan berharap aku akan mengulummu, menjilatimu dengan penuh nafsu. Jangan memintaku untuk membelahmu perlahan dengan penuh kelembutan. Dan jangan membayangkan aku akan terus memuji sensasimu. Hohoho … jangan bermimpi, bangsat!

Aku memang sangat bersemangat ketika akhirnya laki-laki berseragam itu membawamu padaku, ke sudut sebuah ruangan serupa aula dengan banyak meja dan kursi ini. Sengaja kupilih tempat di lantai dua: di sudut bercat putih yang agak terpisah, dengan sebuah meja kayu dan dua kursi plastik seadanya.

Tak ada orang lain di aula ini selain aku yang menantimu. Hanya aku. Biasanya, aku harus menunggu lama; bersaing dengan banyak pengunjung lainnya. Pria, maupun wanita.

Namun saat ini, hanya aku yang akan menikmatimu. Ada apa? Mengapa hanya ada aku? Apakah kau …?

Tapi, keraguan itu sirna seketika aku melihatmu terhampar menggairahkan di atas meja panjang ini. Saat ini, kau adalah milikku semata. Keprasahanmu ketika kuhujani tatapan penuh nafsu, semakin merangsang sejumlah organku. Ah, daya tarikmu memang sangat memabukkan!

Kuciumi sekejap tubuhmu. Kujilati selintas kulitmu. Dan, aku tak bisa lagi menahan kerutan di keningku. Apakah benar ini kau?

Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Tak ada siapapun kecuali aku dan kau saat ini. Entah kemana perginya laki-laki berseragam yang mengantarmu tadi. Sepertinya, ia memang sudah memasrahkanmu padaku. Baiklah. Akan kulakukan ini dengan caraku.

Aku gemas sekali dan ingin segera menusukmu. Namun, tak ada benda tajam selain garpu di meja di depanku ini yang bisa kuhujamkan ke dalam tubuhmu. Keempat jari runcingnya yang mengilat membuatku membayangkan cakar harimau putih yang siap menyerang mangsanya.

Kau tahu, beberapa pembunuh menggunakan garpu untuk melumpuhkan korbannya. Ada yang menusuk-nusukkannya ke pipi, ada yang menancapkan ke bola mata. Tapi, aku ingin memarut permukaan kulitmu terlebih dulu. Bisa jadi, beberapa bagian dagingmu pun tercerabut, dan itu menyenangkan bagiku.

Tapi, mengapa sukar sekali mencabikmu? Kucoba sekali lagi. Kemudian sekali lagi. Dan sekali lagi. Namun keempat jari besi runcing ini hanya mampu membuat kulitmu tergores sedikit. Hei, mengapa tubuhmu sangat liat? Ada apa dengan kau?

Tiba-tiba aku merasakan rahangku mengeras, detak jantungku pun berpacu kencang. Sialan. Kau berani melawanku ya!

Kucoba menusukmu lebih keras lagi dengan garpu itu. Tapi, keempat ujungnya hanya terbenam sebatas lapisan lemak kulitmu saja. Wah … wah … hebat sekali pertahananmu. Kita lihat saja berapa lama kau mampu bertahan.

Kulempar garpu tak berguna itu. Dengan sekali hentak, kucengkeram pangkal pahamu dengan tangan kananku. Baru kurasakan, tak ada kehangatan di sana. Kau dingin. Apakah ini salah satu strategi perlawananmu? Kau tahu bahwa dengan kondisi seperti itu, aku akan sulit untuk menikmatimu.

Penuh nafsu, kugigit pahamu. Sepintas tubuhmu terasa kenyal di ujung gigiku. Tapi entahlah apakah kekenyalan ini memang benar-benar yang sedang kurasakan, atau yang kuharap untuk kurasakan. Kucoba mencabikmu dengan sekali tarikan. Tapi, tak ada secuil pun ototmu yang tertinggal di mulutku. Kucoba menggigitnya lagi di bagian tubuhmu yang lain. Nihil. Kau liat sekali!

Kukuatkan cengkeraman tangan kananku. Erat. Sangat erat. Aku bahkan bisa merasakan bonggol tulangmu yang kecil itu. Aku harus melakukan ini. Aku harus bisa menaklukkanmu.

Kucoba menggigitmu kembali. Dan dengan sekali hentak, kucoba mengoyakmu. Kali ini aku berhasil. Sebongkah dagingmu tertinggal di mulutku. Kukunyah dengan rasa bangga tak terkira. Aku merasa menang. Mau bagaimana lagi kau akan melawanku, heh?

Kugigit kembali bagian tubuhmu yang lain. Kucabik kuat-kuat. Kugigit lagi. Kucabik lagi. Kugigit lagi. Kucabik lagi. Terus saja sampai tinggal tulang saja yang tersisa darimu.

***

Aku terengah. Kau benar-benar menghabiskan energiku malam ini. Cukup. Kulirik penunjuk waktu berlogo partai yang tergantung di atas pintu. Belum jam 9 malam. Tak sampai tiga puluh menit waktu yang kubutuhkan untuk menikmatimu.

Sebelum turun ke lantai dasar, kusempatkan memasuki salah satu bilik kamar mandi yang kulewati. Aku harus memastikan bahwa diriku sudah benar-benar bersih sebelum pulang menemui istriku nanti.

Aku kembali melihat laki-laki berseragam itu di lantai dasar, tepat di samping pintu keluar. Di sampingnya seorang gadis belia berkuncir kuda duduk di balik mesin kasir.

“Berapa, Mbak?” tanyaku pada sang gadis belia.

“Meja 12 ya, Pak? Pesanannya nasi bebek bumbu rendang dan air putih hangat. Ada tambahan kerupuk, Pak?” Gadis itu mengonfirmasi pesananku tadi. Aku hanya menggeleng, malas mengeluarkan suara.

Sang gadis pun menekan-nekan tuts di depannya, dan tak lama memberikan secarik kertas sambil berkata, “Enam puluh satu ribu rupiah, Pak.”

Aku meraih dompet dari saku belakang jins-ku, membukanya, dan menyerahkan dua lembar lima puluh ribu padanya. Sang gadis menerima lembaran itu, kemudian menekan kembali tuts-tuts dari mesin di depannya. Tak lama laci di mesin kasir itu terbuka. Sang gadis pun menyerahkan beberapa lembar uang dan sejumlah koin kembalian.

“Terima kasih, Pak. Semoga datang kembali ke restoran kami,” ujarnya mengucap perpisahan.

Aku hanya tersenyum. Mungkin, ini juga kali terakhir aku menikmatimu dan kaummu. Kau, sepotong bebek bumbu rendang yang begitu mengganggu pikiranku, tidak lagi memberikan sensasi kenikmatan kala kusantap. Dagingmu sangat alot, walaupun bumbumu masih enak. Namun kalau mulutku malah jadi capek mengunyahmu, buat apa aku kembali lagi?

Pantas saja restoran ini sudah tidak seramai dulu. Mungkin kokinya berganti. Entahlah.

Gerimis menyambut langkahku menuju sedan hitamku. Semoga malam ini, hujan deras bisa menghapus kehadiranmu di benakku. Aku tak akan kembali. Sudah pasti.

Dessy Liestiyani. Wiraswasta, tinggal di Bukittinggi.

Editor: Bhagaskoro Pradipto

Exit mobile version