Hutan Bambu

“Entah bagaimana laki-laki itu bisa menjadi ayahku. Kenyataan itulah yang mungkin membuat perasaanku dan Ayah berjarak.”

Nyala yang berasal dari lampu teplok kecil terlihat meliuk-liuk tertiup angin. Suluh itu menerangi bilikku dan bilik Ibu, menggantung di atas dinding pembatas yang sengaja disisakan sedikit terbuka. Warna hitam sisa asap lampu mengotori sebagian dinding kamar yang kusam.

Aku baru saja terjaga karena cicit celurut yang mondar-mandir dari balik dinding kamar yang lapuk dan menyisakan tempat buat binatang pengerat itu. Sayup-sayup kudengar suara Ibu sedang berbincang dengan Ayah dari dalam biliknya.

“Kau hampir saja mencelakai seluruh penduduk kampung dengan membuat murka penghuni hutan bambu tadi malam, Norman!”

Aku masih belum terlelap ketika angin kencang serupa badai mengguncang kampungku tadi malam. Di sela suara pepohonan yang berderak dan bunyi seperti siulan yang berasal dari hutan bambu, aku mendengar suara menggerung yang membuat penduduk kampung segera menutup pintu rumahnya. Warga di sini sudah paham, kejadian itu pasti karena ulah orang yang sedang melakukan ritual dan telah membangkitkan kemarahan penghuni hutan.

“Aku malah hampir mati, lihat tubuhku memar. Temanku yang kesurupan bahkan baru saja sadar,” sahut Ayah. Berarti ia baru saja kembali. Aku mengenal siapa teman yang dimaksud Ayah. Kutarik selimut yang hanya mampu menutupi sebagian tubuh sehingga aku terpaksa meringkuk serupa kucing di balik kain yang kaku dan kasar.

“Kalau kau masih saja mempertaruhkan nyawa anak kita untuk menukarnya dengan nomor undian kepada para penunggu hutan, aku akan meninggalkanmu!” kata Ibu setengah berteriak.

“Tenanglah, Mala, pelankan suaramu. Aku sudah membatalkan perjanjiannya karena demit itu meminta Samun. Lihatlah, bahkan para demit pun menolak Gandi,” ucap Ayah pelan, tetapi berhasil membuat tubuhku kaku.

“Bagaimana caramu membatalkan perjanjian dengan para demit itu?”

“Tentu saja dengan mengabaikan angka-angka yang mereka beri. Seandainya saja mereka meminta Gandi ….”

“Gandi juga anakmu, Norman!” Meski tidak melihatnya, aku tahu Ibu murka.

Hening sesaat, kemudian aku mendengar suara tangis Samun. Mungkin bayi itu terbangun karena terkejut dengan teriakan Ibu.

Meskipun kerap kali mendengar Ayah dan Ibu bertengkar, tetapi kali ini benar-benar membekaskan rasa terkejut. Aku tahu Ayah sama sekali tidak menyukaiku. Sedikit pun tidak. Kami pertama bertemu ketika aku berusia enam tahun. Ayah harus mendekam dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah merampok dengan kekerasan. 

Akibat perbuatan Ayah, Ibu harus rela melahirkanku tanpa seorang suami di sampingnya. Entah bagaimana laki-laki itu bisa menjadi ayahku. Kenyataan itulah yang mungkin membuat perasaanku dan Ayah berjarak.

Namun, aku sama sekali tidak menduga kalau Ayah sampai tega menjadikan aku tumbal. Ayah memang gemar berjudi. Sedikit perhiasan yang didapat Ibu dengan bekerja susah payah telah habis ditukar Ayah dengan lembaran kertas undian berisi angka-angka. 

Sehari-hari Ayah menghabiskan waktunya untuk mengubek-ubek dan menerka nomor mana yang akan dikeluarkan penyelenggara judi. Jika Ayah bisa menebak angka tersebut dengan benar, Ia akan mendapatkan uang yang banyak dari selembar kupon dan kelipatannya. Untuk nomor itulah Ayah berniat menukarnya dengan nyawaku.

“Gandi, bangun. Pergilah mencari ikan untuk kita makan hari ini!” perintah Ibu membuyarkan lamunanku. Wanita itu kini berdiri tepat di depan pintu kamarku.

***

Matahari mulai bergeser ke arah barat, ketika aku berjalan menelusuri lembah. Di tempat yang lembab dan sedikit gelap ini aku merasa nyaman. Duduk meringkuk menahan lapar hingga kadang terlelap. Juga sebagai tempat pelarian atas sikap penolakan yang sering diperlihatkan Ayah.

Lembah ini bersisian dengan kolam yang sudah terbengkalai. Sekitar dua tahun yang lalu, seorang balita jatuh dan tenggelam ke dalam kolam, tetapi anehnya ketika ditemukan mayat bocah itu mengkerut, seperti ada makhluk yang telah menghisap darahnya. Sejak saat itu warga desa menghindari lokasi ini, padahal kolam ini menyediakan aneka jenis ikan.

Di depan kolam terlihat hutan bambu yang melingkari setengah perbatasan desa, panjangnya sekitar tiga kilometer. Hutan bambu bersisian dengan lahan ribuan hektar yang masih berupa hutan.

Melihat luasnya hutan yang terbentang, aku tahu ada kehidupan lain di sana. Dulu aku pernah mendengar nenek bercerita tentang beberapa orang yang masuk ke dalam hutan dan sebagian tidak dapat kembali.

Setelah memasang kail, kutelusuri pematang kolam hingga ke tepi hutan bambu. Rasa lapar membuatku terus menyusuri hutan, berharap ada buah-buahan yang bisa dimakan.

Aku tiba di sebuah desa kecil dekat pinggir hutan ketika matahari benar-benar tenggelam. Rumah-rumah berukuran kecil berjejer hingga kelihatan berdempetan. Untunglah ada cahaya bulan yang bersinar sehingga aku bisa memperhatikan keadaan sekeliling.

Bulan di sini berbeda, Aku melihat pantulannya berbentuk bundaran dengan garis tengah sekitar lima meter, seperti lampu sorot. Di bawah cahaya itu anak-anak yang lebih kecil riuh bermain. Di tengah lingkaran, aku melihat batu bundar tempat mereka mencabik sesuatu, seperti sebuah hidangan.

“Hai, Gandi, kemari!” panggil seorang anak perempuan. Ia tersenyum dingin dengan bola mata yang menyisakan sedikit warna putih. Kulitnya juga kelihatan putih pucat. Gadis itu kemudian berjalan ke arahku. Aku masih bergeming. Ia kemudian menarik dan membawaku pada sekelompok temannya.

“Makanlah! kau pasti lapar.” Anak perempuan tadi mempersilakan seraya menatap ke arah teman-temannya. Mereka saling tersenyum. Misterius dan dingin. Penglihatanku beralih ke atas meja.

“Cobalah, malam ini kami sedang berpesta,” ucapnya lagi. Segera kucicipi hidangan yang terlihat lezat itu. Benar saja, belum pernah aku makan seenak ini.

Setelah menikmati makanan, perhatianku beralih pada sesosok anak kecil yang sedikit menjauh dari teman-temannya. Segera kudekati dia, bau anyir keluar dari mulutnya yang masih terus mengunyah.

“Jangan ke sana, Gandi,” larang anak perempuan tadi, tetapi rasa ingin tahu membuatku mengabaikannya.

“Samun!” pekikku tertahan. Dari tempatku berdiri aku melihat tubuh Samun tidak utuh lagi, hanya menyisakan bagian kepala. Sekuat tenaga kucoba untuk tetap berdiri. Anak-anak yang mengelilingi berebut mencabik-cabik tubuh Samun. 

Seorang anak terlihat mendekatkan wajahnya ke tubuh Samun yang memperlihatkan tulang iganya. Dengan giginya bocah itu menarik sesuatu. Ia terlihat sangat menikmati, darah melumuri mulutnya. Aku bergidik dan merasa mual.

“Anak-anak di sini membutuhkan makanan itu. Tidak setiap saat, hanya ketika bulan penuh seperti ini,” jelas gadis di depanku. 

“Ba-bayi itu, mengapa?” tanyaku gugup dengan suara bergetar.

“Bayi persembahan dari manusia yang serakah,” jawabnya dengan senyum yang sama.

“Antarkan aku pulang,” pintaku. Anak perempuan itu melihat sekeliling, kemudian menarikku menjauh.

“Pergilah, ha-ha-ha!” tawanya sambil mendorong tubuhku.

Aku segera berlari sekuat raga, menjauhi perkampungan itu. Berlari berusaha menemukan hutan bambu sebagai gerbang masuk yang kemarin kulalui. Anehnya aku tidak menemukannya, padahal setengah bagian kampungku dikelilingi hutan bambu. Bukit, lembah, sungai kecil dan padang ilalang kulalui dalam keremangan cahaya bulan, tetapi rasanya langkahku justru semakin jauh masuk ke dalam hutan.

Aku mulai takut. Dadaku berdegup kencang. Ibu pasti cemas menungguku kembali. Aku tahu kini menjadi satu-satunya anak Ibu. 

Setelah aku menemui Mang Kasim dan membocorkan nomor undian yang kucuri dengar dari perbincangan Ayah dan Ibu. Para penunggu hutan bambu pasti menagih janjinya dengan mengambil Samun sebagai tumbal. Laki-laki yang tubuhnya dipinjam Ayah sebagai sarana komunikasi dengan para demit itu pasti akan menjadi orang kaya raya. Dan aku sudah dapat menebak bagaimana murkanya Ayah.

Dengan rasa panik dan lelah luar biasa, aku berhenti sejenak untuk menentukan arah mata angin mana yang akan kupilih. Di bawah cahaya bulan, aku melihat perubahan warna kulitku perlahan menjadi putih pucat seperti anak perempuan yang pertama kali menyapaku. 

Aslinda Lubis, ibu rumah tangga, pemilik apotek, dan anggota FLP Aceh.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *