Halte yang Lain

“Puspa yang senyumnya, tatapan matanya, suara lembutnya, perhatiannya, bikin Ali merasa jadi makhluk yang paling disayang Allah.”

Penghujung Desember 1994.

Pukul lima sore lebih lima menit, Ali menghempaskan bokongnya di bangku panjang halte yang terbuat dari plat besi. Ada beberapa orang di tempat itu yang mungkin sedang menunggu metro mini, bus atau angkot, atau sedang janjian sama seperti Ali. Tapi wajah-wajah mereka datar saja tak seperti Ali yang terlihat sumringah. Turun dari angkot saja Ali melompat saat angkot belum betul-betul berhenti. Enggak tahu kenapa, wajah Puspa seolah terbayang-bayang di mata tak luput dari pandangan, persis lirik lagunya om Ona Sutra.

Puspa yang bikin Ali enggak pernah menyesal masuk sekolah yang mayoritas penghuninya perempuan itu, meski hasrat tawuran Ali meronta-ronta. Puspa yang bikin Ali dengan sukarela memangkas rambut gondrong ikalnya hanya tersisa satu senti, cuma karena Puspa merasa Ali lebih keren dengan model rambut ala Keanu Reeves di film Speed itu, enggak peduli dengan kuping caplangnya yang makin kentara. 

Puspa yang senyumnya, tatapan matanya, suara lembutnya, perhatiannya, bikin Ali merasa jadi makhluk yang paling disayang Allah karena bisa dekat dengannya. Puspa yang … Puspa yang … ah, pokoknya malam ini, di malam pergantian tahun ini, Ali merasa semesta mendukungnya, dan Puspa bakal resmi jadi pacarnya.

Azan maghrib sudah berkumandang. Ali mulai gelisah. Belum terlihat satu orang pun teman yang datang. Padahal, seingat Ali, mereka janjian di halte ini dari jam lima sore sampai maghrib, “Kalau jam segitu enggak ada di lokasi kita tinggal!” ujar Maya, teman sebangku Puspa menegaskan ketika itu.

Ali mengingat lagi percakapan dua hari lalu. Betul, Santi bilang, mereka bakal ketemuan di halte Pasar Rebo. “Apa jangan-jangan di halte satunya ya? Aduh kenapa jadi ribet begini, halte di Pasar Rebo kan ada dua. Halte yang ini atau yang satunya? Kalo janjian mau ke Depok kan harusnya di halte ini, masa sih mereka nunggu di halte yang ke arah sekolahan?”  Ali bingung sendiri.

“Ya udeh, ntar aje gua ke halte ntu, abis sholat Maghrib,” gumam Ali akhirnya.

Tak lama setelah Ali masuk ke masjid yang letaknya agak jauh dari jalan raya dan halte tempat Ali tadi menunggu, sekelompok remaja seusia Ali, celingak-celinguk di depan halte itu.

“Datang kagak ya tuh bocah?” tanya seorang remaja perempuan kepada teman-temannya.

“Kemarin sih bilangnya mau dateng, apalagi ada Puspa! Pasti semangat dia. Kita tunggu aja sampai jam setengah tujuh.” Remaja pria di depannya menanggapi.

“Apa dia enggak tahu kalo kita janjian di halte satunya, bukan di sini?”

“Kayaknya tahu.”

Selesai sholat, dengan terburu-buru Ali menuju ke halte, tapi bukan halte tempat dia tadi menunggu, di mana teman-temannya saat ini sedang resah menunggu. Ali pergi ke halte satunya.

Tiba di halte yang dituju, Ali kembali kecewa. Temannya tak ada juga. “Jangan-jangan, gue dikerjain nih.” Gerutu Ali, yang mulai berprasangka. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore lebih tiga puluh menit. Teman-temannya di halte lainnya sudah berdiri di tepi jalan, menunggu minibus jurusan Depok.

Setengah putus asa Ali mengumpulkan sisa semangatnya. “Oke, gua coba ke halte yang tadi, kalau nggak ada juga, gua cabut aja, kayaknya emang gak boleh ikut tahun baruan,” keluh Ali yang tak bisa lagi menutupi kekecewaannya, wajahnya tegang. 

Andai saat itu ada anak STM yang coba-coba malak dia, kayaknya Ali enggak ragu-ragu untuk berduel, satu lawan tiga juga enggak masalah, ketahuan sakitnya. Ketimbang kayak gini, mau marah, marah sama siapa? Sama keadaan? Kalau keadaan ada wujudnya, sudah dari tadi digebukin Ali. 

Sialnya, malah wajah Puspa yang kembali melintas, senyumnya manis sekali meski Ali merasa ada yang berbeda.

Ali tiba di halte yang pertama kali ia datangi hanya berselang beberapa detik setelah teman-temannya naik ke dalam minibus. Dengan langkah gontai Ali memutuskan untuk pulang. Untuk jalan ke telpon umum terdekat saja dia sudah tak ada tenaga, lagipula dia mau menelpon siapa? Sebuah ketololan yang terlambat ia sadari, dia enggak pernah menanyakan nomer telepon rumah Santi.

Tepat jam sembilan malam, saat Emak berteriak memanggil Ali, ada telepon untuknya.

“Halo!” Ali memulai obrolan.

“Halo, Ali?”

“Iye, sape nih?”

“Gua Santi, elu tadi nggak dateng ke halte?”

“Dateng, cuma nggak ketemu anak-anak.”

“Masa sih? Lah ini anak-anak, tadi katanya nunggu elu sampe maghrib di halte 53. Terus, pas maghrib dia cari elu ke halte satunya, yang ke arah Bogor. Elu gak kliatan batang idungnye, kata anak-anak.”

Ada rasa kecewa yang begitu dalam di hati Ali. Semesta yang semula seolah mendukung malah menikung. Tapi dia juga enggak tahu harus ke siapa rasa kecewa itu dialamatkan. 

“Berarti kita selisih jalan, gua dari jam lima-an malah nunggu di halte yang ke arah Bogor. Habis maghrib gua jalan ke halte 53. Sorry ya San, mungkin gua emang nggak boleh ada di situ?”

“Iya elu disayang Allah, Li.”

“Maksudnya?”

“Puspa datang sama cowoknya!”

Ali sudah tak lagi berselera mendengarkan suara Santi di seberang sana. Seperti ada ribuan lebah yang mengerubungi kepalanya. Tapi penjelasan Santi terus bergaung. “Elu disayang Allah, Li.”

Ah, benarkah?

Mohammad Iwan. Laki-laki kikuk.

[red/sansan]

2 thoughts on “Halte yang Lain

  1. Salahkan dishub, kenapa bikin halte banyak banyak, khan bingung jadinya janjian di halte mana? Waqwaqwaq
    Btw, settingnya ini waktu hape belum ngetrend kayaknya, kalau sekarang nggak jaman lagi janjian di halte.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *