Gandengan

ghibahin cerpen

Tapi bagaimana lagi, rasa penasarannya sudah hampir memecahkan kepalanya, menggedor-gedor hatinya.

“Apa salahnya sih kalau kita gandengan?”

Akhirnya, pertanyaan itu keluar juga dari mulut Tono. Sudah cukup satu tahun ini benaknya mencoba mereka-reka apa jawaban atas pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan itu pada Tini. Apalagi satu tahun ini status mereka jelas, pacaran. 

Tapi, Tono merasa Tini tidak nyaman kalau ia gandeng. Ia memang tidak langsung menolak, atau menepis tangan Tono. Tapi Tono merasa Tini akan mencari-cari alasan untuk menarik tangannya saat digenggam. Entah tiba-tiba wajahnya gatal sehingga perlu menggaruk, atau tiba-tiba saja mencari sesuatu di dalam tasnya yang menurut Tono nggak perlu-perlu amat. Pokoknya, ada saja yang tiba-tiba harus dikerjakan Tini dengan tangan yang sedang digenggamnya!

“Kamu kayaknya nggak suka aku gandeng ya?” desak Tono, melihat Tini yang seperti tak peduli dengan pertanyaannya. Atau mungkin, kehadirannya? Tini, yang sedari tadi menekuni telepon genggamnya pun mendongak, “Kamu kenapa sih? Kok ngomongnya gitu? Salah makan obat?”

Sialan. Bukannya dijawab, malah ngeledek. Tapi nggak apalah. Yang penting, aku sudah berhasil mendapatkan perhatiannya untuk menyinggung masalah ini. 

Tono hanya bisa berucap dalam hati. Benaknya tiba-tiba terasa didesak oleh rasa ingin tahu yang telah dipendamnya selama satu tahun terakhir itu. Otaknya pun berpikir cepat, memilah-milah apa yang harus ia tanyakan terlebih dahulu untuk memanfaatkan kesempatan memuaskan rasa penasarannya ini. 

“Kenapa sih kamu sepertinya nggak suka aku gandeng? Emangnya salah ya kalau orang pacaran gandengan?” tanya Tono dengan tatapan yang tajam dan menyudutkan. Tini terlihat terkejut. Ia berusaha tenang, walaupun merasa tidak nyaman dengan situasi ini. 

“Mengapa kamu ingin kita bergandengan tangan?” Tini balik bertanya. 

“Yaaa karena orang pacaran kan gandengan.” Asal saja Tono menjawab. Yak, dimulailah peperangan ini. Rasa sesal tiba-tiba menjalar di hatinya, merasa menjadi penyebab rusaknya momen kebersamaannya dengan kekasihnya sore ini. 

Tapi bagaimana lagi, rasa penasarannya sudah hampir memecahkan kepalanya, menggedor-gedor hatinya. Bangku semen tempat mereka duduk di pinggir kali Sunter ini tiba-tiba seperti menusuk-nusuk pantatnya, memaksanya untuk menggeser-geser bokongnya itu mencari posisi duduk yang pas.

“Memangnya aku pernah melarangmu menggandeng tanganku? ‘Kan enggak. Kita juga pernah gandengan ‘kan?” Tini mulai mengatur strategi menghadapi Tono, yang mulai terlihat gelisah seperti cacing kepanasan itu. ‘Kan dia yang mulai ngajak berantem, kok malah dia yang grogi. Diam-diam Tini menyimpan kegeliannya melihat Tono yang jadi salah tingkah. 

“Hmmm … iyaa sih. Kita gandengan kalau pas nyebrang jalan, kalau pas kakimu keserimpet, kalau pas kamu kesandung batu, atau pas kamu mau nengok sepatumu lagi nginjek taik atau enggak.” Tono mulai memaparkan fakta-fakta yang disimpan dalam memorinya. 

Spontan Tini memalingkan muka. Ia tidak mau kepergok sedang tersenyum lebar kala Tono sedang memuntahkan amunisi-amunisinya itu. “Terus, masalahnya di mana? ‘Kan yang penting kita pernah gandengan.” Tini tidak tahan untuk tidak menggoda kekasihnya itu. Hilang sudah emosinya melihat raut sang kekasih.

“Yaaa ‘kan penginnya kita gandengan nggak cuma kalau lagi ada perlunya aja dooong. Kalau kita lagi jalan-jalan, lagi ngopi di warungnya Pak Samin, atau lagi boncengan motor, kenapa kita nggak gandengan?” Tono sadar, semakin lama sepertinya dalih yang dikeluarkannya semakin kacau. Ah, kampret! Kenapa jadi begini? Apa nggak ada contoh lain? Buyar sudah siasat yang telah tersusun rapi di benaknya tadi. Ia berharap, kali ini Tini tidak menyadari ketololannya itu. Tapi tentu saja, Tono salah.

“Hahaha … gandengan pas lagi ngopi itu buat apa? Buat megangin cangkirmu biar nggak ngegelundung? Terus gandengan pas lagi boncengan motor itu, gimana caranya, Yang? Kamu mau pamer bisa akrobat pegang stang motor satu tangan gitu ya?” Tini sudah tidak bisa lagi menyembunyikan tawanya. Segini aja nih argumennya? 

“Ya paling nggak kalau kita lagi jalan-jalan aja deh. Pas abis turun angkot, pas selesai bayar bubur ayam, atau pas lagi nemenin kamu ke kamar mandi di mal. Eh maksudnya, nganterin kamu sampai depan pintu kamar mandinya. Gitu lho.” Mendengar tawa Tini, ada sedikit perasaan lega di hati Tono. Horeee, dia ngakak. Fix deh nggak jadi berantem. 

“Seperti abege gitu?” tanyanya sambil memandang Tono.

“Ah, kakek-nenek juga ada yang gandengan kok,” jawab Tono sambil balas menatap Tini dengan mesra. Tangannya terangkat mengelus rambut kriwil Tini. Ah, biasanya momen tatap-tatapan begini bakal diakhiri dengan ciuman. Hohoho … mimpi kamu, Ton. Lha wong digandeng aja nggak mau, terus kamu ngarep dia mau ciuman sama kamu di pinggir kali begini?

“Jadi, kamu maunya seperti abege, atau kakek-nenek?” balas Tini sambil tersenyum, mengacak-acak benak Tono yang mulai berpikir tidak pada tempatnya itu.

Tono hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Duh, iya juga ya. Jadi sebenarnya aku mau pacaran seperti abege, atau kakek-nenek ya? Lah, kok jadi kesini sih arah persepsinya? ‘Kan aku cuma pengen gandengan aja, gitu.

“Memangnya kenapa sih, gandengan saja dipermasalahkan?” ujar Tini lagi. Sepertinya kali ini gantian ia yang penasaran dengan Tono. 

“Lho, gandengan itu ‘kan salah satu bentuk ungkapan rasa sayang, rasa cinta. Aku pengin gandeng kamu karena aku suka dengan sensasinya ketika kulit kita bersentuhan. Ketika menggandengmu, aku merasa jadi orang yang selalu melindungimu, yang selalu ada buatmu. Selain itu, ya jelas supaya orang-orang tahu kamu tuh pacar aku.” Akhirnya, Tono berhasil menyampaikan keluh kesahnya. Kali ini ia merasa lega sekali.

“Halah, sepenting itu ya,” ujar Tini, seperti tak memperdulikan perasaan Tono saat itu.

“Lha iya dong. Memangnya kamu malu kita pacaran?” Tono tak bisa menyembunyikan keheranannya.

“Ya enggak laaah. Tanpa perlu menggandengku, aku percaya kok kalau kamu akan selalu melindungiku, akan selalu ada buatku. Dan dengan kita sering jalan berdua saja orang-orang pasti sudah bisa menebak kalau kita pacaran, ‘kan? Kenapa mesti diperjelas dengan gandengan? Apa suatu saat kamu akan menciumku juga di depan orang-orang, untuk menunjukkan kalau kita pacaran?” seloroh Tini tiba-tiba.

“Boleh?” goda Tono. Senyum mengembang di wajahnya. Nantangin, nih? 

“Eh. Hmmm … izin dulu nanti ya. Lihat situasi.” Dan mereka berdua pun tergelak bersama. Ah, beruntungnya mereka yang bisa menikmati debar-debar cinta di dadanya.

“Terus, apa aku harus meminta izin terlebih dahulu untuk memegang tanganmu?” Tono seakan tak mau lagi membiarkan pertanyaan ini kembali ke benaknya. Ia sadar, Tini belum memberikan jawabannya.

“Udah ah. Ginian aja dibahas. Gak penting, tauk! Tuh ada abang cilok. Beli yuk.” Sebelum Tono sempat berkata apa-apa, Tini sudah berdiri dan berjalan menghampiri sang penjual cilok. Tono hanya bisa memandanginya. Lesu. 

Tapi tiba-tiba kekasihnya itu berhenti. Seperti tersadar kalau Tono tidak mengikutinya, Tini pun berbalik badan, dan menjulurkan tangannya ke arah Tono, “Jadi, kau mau menggandengku atau tidak?” 

Senyum Tono pun mengembang lagi.

Dessy Liestiyani, wiraswasta, tinggal di Bukittinggi.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *