Dua Wajah Dosa

Cerpen

“Istrinya bahkan berpamitan baik-baik ketika mandor pelabuhan itu membawanya. Ia masih sempat meninggalkan sepotong senyum untuk suaminya meski rasanya pahit.”

Ketika dihadapkan kepada dua pilihan, antara hidup menderita atau kematian yang penuh ketidakpastian, Dosa merasa bimbang. Lelaki yang dulunya berperawakan kekar itu kini memang tinggal tulang berbalut kulit, namun masih ada sisa semangat yang menyala dalam hatinya.

Ia teringat perutnya yang belum diisi sejak pagi dan sekujur tubuh yang mulai terasa nyeri. Angin malam menghajarnya tanpa ampun, melalui celah papan bekas peti kemas yang disusunnya menjadi rumah. Tentu bukan rumah sebenarnya, hanya tempat berlindung dari udara laut yang dinginnya kian memagut.

Namun Dosa tak ingin mengeluh. Ia menganggap hidupnya yang sekarang susah adalah akibat dari kesalahan tak termaafkan yang dilakukannya di masa lalu. 

Tak ada yang kekal di dunia. Dosa merasa tertampar setiap mendengar kalimat itu. Ia telah banyak membuang keberuntungan di masa muda hingga tak tersisa sedikitpun keberuntungan lagi untuk menyambung hidupnya di usia yang sudah lebih dari setengah baya. Ia terlambat menyadari perputaran roda kehidupannya.

Sebenarnya Dosa belum terlalu tua. Istrinya (haruskah ia menyebutnya mantan istri meskipun mereka tak pernah bercerai?) yang sebaya dengannya pun masih tampak cantik, dengan kulit yang belum sempat keriput. Setidaknya itulah yang diingat Dosa sejak terakhir kali bertemu istrinya sebelum lebaran lima tahun lalu.

Istrinya nampak sumringah ketika mendampingi mandor pelabuhan yang menjadi atasannya, membagikan amplop THR kepada semua kuli pelabuhan, termasuk dirinya.

Tawa renyah istrinya membuat Dosa ingin menyimpan saja telinganya di dalam karung. Ia tak ingin mendengar kegembiraan istrinya, meskipun itu semua hanya pura-pura. Istrinya tak mungkin sekejam itu padanya.

Istrinya bahkan berpamitan baik-baik ketika mandor pelabuhan itu membawanya. Ia masih sempat meninggalkan sepotong senyum untuk suaminya meski rasanya pahit.

Dosa menghibur dirinya dengan memikirkan bahwa istrinya kini mempunyai cukup makanan dan juga kehangatan di rumah mandor pelabuhan. Ia memang ingin istrinya bisa merasakan lagi hidup serba berkecukupan, seperti pada masa kecilnya dulu.

Dosa bertemu dengan istrinya lebih dari dua puluh tahun yang lalu di sebuah kapal pesiar. Waktu itu ia hanya awak kapal biasa, sedangkan istrinya jelas anak orang kaya karena mampu membayar liburan mahal ke luar negeri dengan kapal pesiar.

Awalnya Dosa sering menemaninya di geladak, karena istrinya itu sangat menyukai laut. Ia tak pernah bosan memandang lautan, baik siang maupun malam. Ketika di suatu malam badai datang tiba-tiba, Dosa menemukan istrinya tengah meringkuk ketakutan di buritan dan segera menawarkan penopang.

Kapal pesiar itu tiba-tiba tercemar dosa karena Dosa dan istrinya yang waktu itu belum sah menjadi istri tanpa sengaja melakukan perbuatan dosa. Dosa memang menyukai perempuan eksotik yang selalu dilihatnya sendirian menatap laut dari geladak. Sedangkan istrinya pun diam-diam ternyata sering membayangkan berada dalam pelukan awak kapal berwajah tampan dan berdada bidang.

Dosa tak menyesali perbuatannya, demikian pula perempuan itu yang justru menjadi ketagihan bermesraan dengan dirinya. Ketika kapal pesiar itu bertolak usai singgah di suatu pelabuhan antah berantah, Dosa dan istrinya pun sepakat memutuskan untuk menetap tanpa setahu siapapun. 

Pelabuhan itu bagi mereka tak lagi sekadar tempat persinggahan, tetapi menjadi tempat tinggal. Dosa pun mulai bekerja sebagai kuli panggul pelabuhan untuk menghidupi istrinya. Ia tak berani bekerja di kapal pesiar lagi, takut orang tua istrinya menemukan mereka dan menghajarnya, bahkan bisa saja membunuhnya. Bukankah istrinya adalah anak kesayangan mereka yang telah direnggutnya dengan paksa?

Meskipun istrinya adalah perempuan yang tidak biasa bekerja, Dosa tetap bahagia. Setidaknya begitulah yang terjadi dalam sepuluh tahun pertama pernikahan mereka. Masalah mulai timbul ketika Dosa yang semakin berumur tak kuat lagi menjadi kuli panggul. 

Dengan penghasilan yang semakin menyusut, Dosa berubah menjadi laki-laki pemarah yang selalu kusut. Ia kehilangan kemampuan berpikir jernih. Namun ia masih menyayangi istri yang ditemukannya di kapal pesiar. Sedikitpun ia tak ingin menyia-nyiakan perempuan itu.

Pernah terbersit dalam pikiran Dosa untuk mengembalikannya saja kepada orangtuanya yang kaya, supaya istrinya tidak hidup menderita di sampingnya, namun istrinya menolak mentah-mentah pemikiran itu. Ia sudah terlanjur malu dan merasa bergelimang dosa dengan menjadi anak durhaka.

Mereka memang sempat bertahan. Setahun, dua tahun, tiga tahun … hingga Dosa tak sanggup lagi. Paru-parunya yang keropos dimakan TBC akhirnya menjadi alasan yang mengharuskannya segera bertindak. Ia tak mau istrinya tertular penyakit menahun yang terus menggerogotinya. 

Tak ada cara yang bisa dipikirkannya selain menawarkan istrinya kepada mandor pelabuhan. Ia tahu, mandor gaek yang masih bujangan itu sejak dulu menginginkan istrinya, bahkan sejak pertama mereka tiba di pelabuhan dan menumpang untuk sementara di rumahnya. Ia juga tahu mandor itu orang yang baik, tak pernah terlambat membayarkan upah dan tak pernah menguranginya juga untuk kepentingan sendiri.

“Sudah gila kau rupanya.” Mandor pelabuhan itu marah ketika ia mengusulkan untuk membawa saja istrinya, “Memangnya istrimu itu barang muatan, bisa dibongkar dari satu kapal ke kapal lain?”

“Kasihan istriku, Bang, aku sudah tak kuat memberinya makan.” Dosa pun memelas. Hari itu mereka hanya sanggup memasak bubur dari sisa beras yang dipungutnya di sepanjang jalan, mungkin berasal dari karung berlubang yang dipindahkan ke truk dari kapal. Ia kasihan melihat istrinya tetap makan dengan lahap meskipun bubur itu sendirian di piring tanpa teman.

“Lantas menurutmu, apakah istrimu mau sama aku?” Mandor bertanya dengan ragu. Dosa tahu, mandor pelabuhan itu lama kelamaan akan luluh juga karena sudah terlalu lama mendambakan istrinya. Dosa pun mengangguk cepat, dan sesaat ia melihat sinar mata mandor pelabuhan yang tak seperti biasa. 

Semalam ia sudah berdiskusi dengan istrinya. Ia meminta istrinya pindah ke rumah mandor pelabuhan supaya tidak tertular TBC. Tak lama, hanya sampai dirinya sembuh. Paling lama enam bulan, seperti kata perawat di Puskesmas ketika mandor membawanya berobat. Awalnya istrinya menolak keinginan gilanya itu, namun tak tersedia pilihan lain. 

Istrinya pun menurut. Ia sangat hormat kepada Dosa. Meskipun di mata orang tuanya Dosa adalah seorang pendosa yang tak layak diampuni, namun dimatanya Dosa adalah suami luar biasa yang terlalu menyayanginya hingga rela mengorbankan diri.

Malam belum terlalu pekat waktu itu, masih ada selarik cahaya yang tersisa dari langit senja, ketika mandor pelabuhan dengan girang menjemput istrinya. Dosa mengantarkannya dengan senyuman manis mengukir wajah dan taburan garam yang terasa pedih dalam hatinya.

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman; kadang nulis, kadang main.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *