Site icon ghibahin.id

Dikepung Mimpi

Foto oleh Craig Adderley dari Pexels

“Bergantian wajah muram anak-anakku hadir bak slide foto yang sudah disusun sedemikian rupa.”

Malam merambat lamban, selamban denyut jantungku yang sepertinya mulai kumat koronernya. Sudah dua hari ini kurasakan nyeri yang teramat di dada sebelah kananku. Ya memang belum tentu itu gejala jantung koroner, bisa jadi cuma masuk angin, atau karena kecapekan saja. Tapi siapa yang berani bertaruh dengan penyakit paling mematikan di dunia ini?

Sejak dua ring cinderamata dari BPJS bersarang manja di dadaku, karena penyakit yang membuat jatah usia seseorang semakin nisbi itu, kekhawatiranku akan hidup menjadi berlipat-lipat nyaris mengarah ke paranoid. 

Aku takut, dan tentu saja belum siap untuk meninggalkan mereka yang mencintai dan menyayangiku. Siapa juga yang siap dan sanggup? Meninggalkan atau ditinggalkan, dua-duanya enggak ada yang enak. Jelasnya, manusia memang tidak akan pernah siap untuk sebuah perpisahan. 

Kuputar video konser Om Iwan Fals baru-baru ini, sekadar mengalihkan sesak dan rasa nyeri di dada. Berhasil? Tentu saja tidak! Yang sama-sama kita tahu, rasa sakit menggila seperti sakit gigi misalnya, itu rasa sakitnya tiada akan teralihkan, kecuali ada yang lebih sakit lagi melampaui rasa sakit gigi. Sakit hati mungkin, seperti yang dikatakan almarhum Om Meggi Z. Meski sampai sekarang aku juga engga tahu Om Meggi Z pernah merasakan sakit gigi atau belum. 

Atau, rasa sakit katanya juga bisa terabaikan ketika kita mendapat kabar yang sangat menggembirakan, tiba-tiba dapat undian dua miliar, misalnya, padahal jelas-jelas kita enggak pernah ikut undian. Atau tiba-tiba terdengar berita dari radio, bahwa malam ini, menuju pagi, tepat pukul satu pagi pemerintah menurunkan harga BBM. Misalnya. 

Mohon maaf ini, makin malam makin melantur. Bisa karena suhu di badanku yang teramat panas, meskipun aku sudah berulang kali menempelkan handuk kecil basah ke kening yang langsung kering dalam sekejap. 

Atau bisa jadi karena napasku yang semakin tersengal, hingga jempol ini ikut-ikutan ngawur. Mata, pikiran, hati dan jempol semuanya engga kompak, seperti punya kepentingan masing-masing. Bah! Macam politikus sahaja! 

Pada satu titik, semua seperti samar, suara Om Iwan yang menyanyikan lagu Esek-esek Udug-udug terdengar samar. Wajah bule Raya Rambu Rabbani yang sedang nge-drum tepat berada di belakang Ayahnya juga terlihat samar. Embusan napas pulas istriku yang tertidur di sebelahku terlihat begitu lelah usai merawat dan melayaniku seharian, sangat-sangat samar.

Aku menggelepar, seperti ikan yang dilempar ke darat dengan tiba-tiba. Tanganku menggapai-gapai. Bibirku bergetar, tak sanggup mengeluarkan kata meski itu hanya istighfar. Airmata meleleh tanpa sempat kutahan. Bergantian wajah muram anak-anakku hadir bak slide foto yang sudah disusun sedemikian rupa. Yaa Rabb, tambah basah pipiku.

Kuhanya bisa bermunajat dalam hati, di antara sadar dan tidak, di antara alam nyata dan maya. 

Ya Rabb, ampuni hamba, si paling kotor ini, si paling khianat ini, si paling kufur ini, si paling dhaif ini, si paling jahil ini. Jika boleh hamba meminta, kuatkan anak-anak hamba, lindungi mereka dengan tangan Rahman-Mu. Jadikan mereka pemimpin orang-orang beriman, penuhi dada mereka dengan cinta kepada sesama.” 

Leleh lagi eluh-ku mengalir dari sudut mata ke telinga. Hening. Semua seperti berhenti, seperti video yang di-pause.

Lamat kudengar langkah-langkah kaki tergesa, suara isak seperti paduan suara yang menyanyikan lagu mengheningkan cipta tapi dengan volume yang pelan saja. Aku tak mampu membuka mata, tak kuat menggerakkan tangan, tubuhku seperti ditindih batu besar. Tangan dan kaki seperti terpasung menahun.

“Ayaaah!” Pelan sekali suara itu memanggil. Tapi meresap ke nadi, menggetarkan pembuluh, membuat mataku perlahan terbuka dan dapat melihat dengan buram seraut wajah yang mencoba tersenyum dalam isak. 

“Eneng!”

Wajah anak perempuan itu tiba-tiba berbinar mendengar suara laki-laki yang sangat dicintainya itu, memanggilnya dengan panggilan kesayangan. Dia memeluk tubuh laki-laki yang terbaring di hadapannya seerat yang dia bisa. 

“Ayaah! Aku sayang Ayaah. Ayah jangan kayak gini lagi!” 

Aku tersenyum, damai sekali kumendengar ucapan putri kesayanganku itu. Kuusap wajahnya dengan kedua telapak tangan yang mendadak bisa kuangkat lagi, “Iya Eneng sayang, Ayah pasti bakal jagain Eneng terus!”

“Yah, Ayah! Banguun! Ayoo mimpi apaan? Pakai manggil-manggil Eneng sayang, terus sesenggukan gitu?” 

Astaghfirullah, aku kaget begitu menyadari yang kuusap-usap wajahnya bukan si Eneng, tapi Emaknya. Duh, untung manggilnya Eneng, bukan Darling. 

“Eh, anu, Bu, aku mimpi sedih. Ada Eneng, putri semata wayang kita di mimpi itu. Udah enggak apa-apa, kamu tidur lagi aja. Besok kan mau mengantarku ke rumah sakit!” Jawabku setelah sadar sepenuhnya.

“Kirain, Eneng yang lain. Awas aja!” Ancamnya seraya menarik selimut lagi dan meneruskan lelapnya.

“Aku mendengar suara, jerit makhluk terluka, luka, luka hidupnya …”

Kali ini suara Om Iwan terdengar jelas merayapi telinga dengan tembang Kesaksian-nya. Ah sudah di penghujung konser, lumayan lama juga kuterlelap. Dikepung mimpi yang engga ada asyik-asyiknya. 

Mungkinkah karena ketakutan-ketakutanku yang berlebihan sehingga semua seperti perlu memberi pelajaran, bahkan seutas mimpi? Fuih, sialan betul, jangan sampai aku mengalami mimpi seperti itu lagi. Amit-amit. 

Kering sekali kerongkonganku. Ku bangun perlahan, masih menahan nyeri di dada kanan yang rasanya semakin hebat saja, melewati kamar putri kesayanganku yang terlihat lelap dalam mimpinya, entah mimpi apa? Semoga mimpinya selalu indah, tak seperti mimpi ayahnya. 

Aku seperti dibetot gravitasi yang begitu kuat, menghampirinya, mengecup kening yang mulai disambangi sebiji jerawat itu. 

“Met mimpi indah ya, Neng!” Bisikku. 

Lalu, “BRUK!”

Mohammad Iwan, Laki-laki penuh mimpi.

[red]

Exit mobile version