Dia yang Kupanggil Teman

“Cara berjalan dan pandangan matanya seolah menunjukkan dia memiliki dunia sendiri yang tidak bisa diganggu dan dikuasai oleh orang lain.”

Namaku Bagas. Hanya Bagas. Aku tak punya nama tengah atau pun nama belakang karena pemilik panti asuhan yang dulu menemukanku di depan pintu gerbang panti, tidak mau berpikir terlalu berat hanya untuk sebuah nama. Dan aku pun tidak pernah protes. Bayi kecil umur seminggu yang dibuang begitu saja memang tidak seharusnya protes.

Di panti ada banyak yang seperti aku. Ada Agus, Bagus, Budi, Santoso, Setyo, Yanti, dan masih banyak nama-nama lain yang tidak bisa kuingat lagi. Selain itu banyak yang punya nama sama. Kalau itu biasanya aku bedakan sendiri dengan memberi ciri fisik di belakang namanya. Jadilah ada Agus Kucil, Agus Tlolor, Agus Tompel, Agus Kidal, dan bahkan Agus Mencret.

Namun, tidak ada yang bertahan selama aku di panti itu. Yang mendekati sepertinya cuma Santoso, yang berada di panti itu selama lima tahun. Bandingkan denganku yang sampai 15 tahun ada di sana. Ada beberapa yang diangkat anak oleh pasangan suami istri baik hati yang menikah lama tapi tidak punya momongan. 

Sebagian lainnya melarikan diri dari panti karena sudah tidak kerasan, tapi sebagian besar dari mereka tidak pernah terlihat lagi setelah dibawa oleh pemilik panti ke sebuah ruangan besar di bagian belakang panti. Tidak pernah ada yang tahu apa yang ada di dalam ruangan berpintu putih gading itu.

Namaku Bagas. Hanya Bagas. Kata pemilik panti, buat apa memberikan nama tengah ataupun nama belakang untuk satu sapi perah. Dan seperti yang kukatakan tadi, lima tahun adalah jangka waktu terlama bagi sapi perah-sapi perah seperti kami. Setelah itu kami akan dijadikan sapi potong.

Hampir tidak pernah aku memanggil anak-anak panti lain dengan sebutan teman. Yah … kecuali seorang anak kurus berkacamata yang rambutnya selalu disisir dengan rapi. Serapi bajunya yang selalu dimasukkan ke dalam celana pendeknya. Anak yang kupanggil dengan sebutan teman itu bernama Setyo. Hanya Setyo. Tanpa nama tengah ataupun nama belakang. 

Namun Setyo beda kasusnya denganku. Dia sebenarnya punya nama tengah dan belakang, bahkan ada embel-embel bin yang menandakan nama bapaknya. Hanya saja kecelakaan yang merenggut nyawa bapak, ibu, dan adik kecilnya yang masih bayi, telah merenggut kebahagiaan seorang Setyo. Tak memiliki kerabat dekat, akhirnya terdamparlah Setyo di tempat ini.

Saat pertama kali Setyo masuk ke tempat ini, aku langsung menyukainya. Cara berjalan dan pandangan matanya seolah menunjukkan dia memiliki dunia sendiri yang tidak bisa diganggu dan dikuasai oleh orang lain. Di usia yang masih begitu muda, dia begitu … apa ya istilahnya? Mandiri. Independen.

Aku tidak pernah mau bermain dan berteman dengan anak lain, dan itu membuatku selalu dipanggil sebagai si Aneh, alih-alih memanggilku dengan namaku sendiri, Bagas. Aku pun tak pernah ambil pusing, toh mereka memang bukan temanku.

Satu kejadian membuatku mendapatkan teman sejati. Kejadian yang tak pernah kulupakan. Saat itu aku meminta satu roti lagi ke pemilik panti, namun tidak diberi. Lalu aku meminta ke seorang anak panti lain. Aku masih ingat kalau aku meminta dengan baik-baik ke anak itu. Hanya saja dia tidak terima dan memanggil teman-temannya dan mengatakan kalau aku merampas rotinya. Aku lebih besar dari mereka semua, tapi melawan hampir dua puluh anak, aku pun dihajar habis-habisan.

Untungnya seseorang mau membantu dan berkelahi bersama-sama. Walaupun kami berdua tetap kalah dan babak belur, aku tahu kalau aku sudah mendapatkan teman sejati. Dan anak itu adalah Setyo.

Kami mendapat julukan si Aneh dan si Rapi sejak saat itu. Kemana pun kami selalu berdua. Tak terpisahkan, dan tanpa terasa tiga tahun telah berlalu. Hingga di suatu pagi ketika aku pergi ke tempat tidurnya yang ada di lantai dua, namun dia sudah tidak ada di sana. Tempat tidurnya sudah rapi. Begitu juga barang bawaannya yang sudah tak ada lagi. 

Aku bertanya ke anak-anak yang sekamar dengannya –satu kamar bisa berisi 20-25 anak– di mana Setyo?. Semuanya terdiam ketakutan. Bahkan sampai aku menjerit histeris menanyakan keberadaannya, mereka malah melompat ke tempat tidurnya masing-masing dan menutupi telinga mereka dengan bantal. Anak-anak itu ketakutan, dan itu hanya berarti satu hal!

Aku berlari kesetanan ke arah bagian belakang gedung. Lalu, di depan ruangan besar berpintu putih itu aku menjerit-jerit dan menangis histeris. Tak kuhiraukan lagi air mata dan ingus yang bercampur tak karuan. Rasanya tak pernah sekalipun dalam hidupku sebelum ini aku merasakan ketakutan dan keputusasaan seperti ini. 

Lalu pintu putih itu pun terbuka. Si pemilik panti sama sekali tidak kaget atau pun heran dengan keberadaanku di sana. Dia hanya menyuruhku untuk bersiap-siap karena seminggu lagi adalah giliranku. Aku bingung dengan perkataannya. Giliranku? Giliran untuk apa?

Pemilik panti kemudian berjalan melewatiku. Diikuti oleh seorang perempuan yang membawa kotak kecil yang biasanya dipakai untuk membawa es batu. Aku penasaran apa yang ada di dalam kotak itu. Setelahnya ada dua orang yang menggotong tandu kecil. Dari tandu itu menetes cairan berwarna merah. Darahkah itu?

Saat tepat di depanku, terlihat sebuah wajah yang sangat kukenal. Wajah yang selalu menemaniku selama tiga tahun ini. Wajah yang selalu riang gembira dan selalu bercanda mengajak taruhan soal siapa yang nanti akan menikah duluan. Tapi saat itu, wajah itu begitu pucat. 

Aku menjerit sangat keras. Kurasakan sakit luar biasa di seluruh jariku. Seolah kuku-kuku yang ada, berebutan untuk keluar dari jariku. Sakit! Aku melompat ke arah pembawa tandu di bagian belakang. Saat itu aku masih ingat kalau tangan kananku menjebol perutnya dengan sangat mudah. Lalu semuanya berubah gelap.

Keesokannya, panas matahari yang begitu menyengat membangunkanku di sebuah tempat yang sangat asing bagiku. Ada banyak air di mana-mana. Sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku?

***

Tahun-tahun berlalu dengan begitu cepatnya. Saat pertama kali melamar kerja sebagai mitra di Gagah Hero, Bos Jo tidak bisa menerimaku karena aku sama sekali tidak bisa memperlihatkan kekuatanku. Namun karena dia membutuhkan seorang staf sekaligus penjaga malam yang mau dibayar murah dan mau melakukan apa saja, dia akhirnya menerimaku. Aku, di lain pihak, tentu saja senang karena akhirnya memiliki tempat tidur sendiri.

Namaku Bagas. Hanya Bagas. Aku akan membuat satu pengakuan. Aku punya satu alter ego. Kuberi nama Setyo. Entah sudah berapa kali dia muncul dan menyelamatkan nyawaku yang sedang terancam dengan cara mengambil alih kepribadianku. Untuk itu, tiada kalimat yang bisa kukatakan kepadamu selain daripada, “Terima kasih, teman.” 

Nanang Ardianto. Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *