Delapan Duri di Setangkai Mawar Putih

Kemeja putih yang sewarna dengan mawar di tangannya, Jordan kenakan saat kami bertemu. Sementara celana dan sepatunya sama-sama merah kehitam-hitaman. Paduan warna yang aneh dan sangat lucu. Aku sampai tidak sanggup menahan tawa. Aku geli. Campur malu juga untuk melihat wajahnya. Alhasil yang aku lakukan malah berjongkok sambil terkikik. Namun, Jordan tidak ikut tertawa. Mengapa, ya? Sulitkah untuk menertawakan diri sendiri? Dan, kurasa humornya tidak pernah bertambah. 

Aku tidak bisa berdiri rupanya. Sebab terlalu lama menekuk lutut untuk menyembunyikan wajah yang tertawa. Jordan tidak berkata apa-apa. Malah seperti menunggu diriku puas, mungkin membuat merah wajah. Aku mendongak karena dia menepuk kepalaku menggunakan setangkai mawar. Ini lagi. Makin geli. Menurutku tidak perlu ada mawar segala. “Mawar ini aku dapat gratis dari rekanku. Dia tau aku akan berkencan sepertinya. Dia juga mengantarku ke sini. Lalu apanya yang lucu? Mawar ini juga tidak berwarna merah.” Aku sudah berhasil berdiri dibantu olehnya, walaupun Jordan juga agak kesulitan menahan tubuhku. Untung, bobot tubuhku tidak membuat kami sampai jatuh, hanya kehilangan keseimbangan sedikit. 

Perhatikan saja soal konsep gila di dalam diriku. Dikarenakan tidak bisa tertidur, aku malah memandangi mawar itu sepanjang malam. Aku letakkan di dekat jendela. Dalam vas bunga berukuran segenggam. Meski aku memandanginya sepanjang malam, tidak ada yang berubah dari mawar ini. Malah mataku yang memanas karena serangan kantuk. Menguap beberapa kali tetapi enggan untuk tidur. Suara burung hantu terdengar di telingaku. Udara juga dingin. Sapuan angin bersamaan rintik hujan merayapi jendela. Hari gelap sementara kepalaku benderang. Aku tidak ingin menidurkan pikiran.

Tangkai mawar itu memiliki 8 duri. Sudah aku hitung dengan betul. Tidak mungkin salah. Sampai jariku tertusuk dan berdarah. Lalu tetesannya aku peras sampai habis dan mawar itu jadi sedikit merah. Terkena bercak darahku yang menitik. Tidak banyak memang, namun terlihat ada perbedaan dari semula. Aku sengaja kemudian menusuk sampai beberapa kali. Lebih mending pikirku, ketimbang mengiris. Jadinya, mawar putih berbintik merah. Menyenangkan sekali, sebuah perubahan.

“Aku pikir itu baju favoritmu. Ternyata memang tidak ada yang bisa kamu kenakan untuk kita berkencan dan hanya itu gaun paling baru di lemarimu. Pengakuan yang lucu. Aku suka,” kata Jordan saat pertemuan kali kedua terjadi. Kini dia yang membalas dendam dengan balik menertawakanku. Pelayan kafe sepertinya sangat memperhatikan gerak kami. Namun, memanglah hanya kami yang duduk berkunjung. Jadi, pelayan itu pura-pura tak acuh sambil memasang celemek. 

Aku pikir memang bukan masalah untuk menceritakan sesuatu yang “sentimentil” untuk dipertaruhkan dalam sebuah pertemuan. Memecahkan celengan di hari Senin untuk janji temu. Hitungan ke berapa pun aku masih ingat dalam koin-koin yang berjejer di lantai. Memanglah Jordan ingin membiayai semuanya. Mungkin benar dia ingin menunjukkan betapa “lelaki” dirinya bila bertanggung jawab tentang semua tagihan di pertemuan kami. Namun begitulah, tidak semua harus dikemas dalam hadiah. Wanita juga ingin ambil andil besar untuk menunjukkan “ada sesuatu” di dalam dirinya.

Pujian Jordan, aku tuai. Katanya, aku cantik. Lelaki itu juga tidak keberatan bila kami bertemu masih dengan pakaian yang sama. Asal dicuci, begitu katanya. Aku ralat dengan menambahi, asal kering. Dia membenarkan lagi. Soalnya Jordan tidak suka memakai jaket. Bila aku kedinginan menggunakan baju basah? Ya, aku tahu ini lawakan. Jordan akhirnya banyak tertawa.

Gaun berwarna putih pudar dengan bunga-bunga yang berbaur merah muda dan kecokelatan. Aku tidak mau terlihat kekanak-kanakan juga tua. Sangat berharap begitu. Sangat hati-hati sekali aku mencucinya. Pasalnya renda di bagian bawah seperti terbuat dari serat kapas paling lembut. Jadi takut sekali bila rusak. Tidak mungkin kiranya aku beli serupa. Aku gantung saja di dalam lemari. Aku pastikan juga tidak ada tikus atau rayap. Sudah aku bersihkan lemari yang rapuh itu. Gaunnya pun aku bungkus dengan plastik putih seukuran panjang kain bila digantung. Ya, sekarang aku bisa tidur dengan tenang. Beserta pujian Jordan yang bergema di kepala.

Pertemuan ketiga tidak lagi di kafe, hanya di taman kota. Di rerumputan yang dinaungi daun-daun rimbun dari sebuah pohon besar. Entah pohon apa ini, yang jelas ranting dan daunnya sangat rimbun hingga membuat kami yang ada di bawahnya sama sekali tak merasakan panas. Lalu, Jordan mendekat ke arahku. Mengarahkan tangannya supaya aku genggam. Aku memang agak telat berpikir. “Aku sanggup mengajakmu berdansa. Sekali pun terlihat aneh di mata orang lain. Atau mungkin aku memang ditakdirkan mewujudkan hal itu denganmu. Ya, ya, ya. Ini bisa saja kita lakukan. Cuma berputar kesana-kemari. Goyang pinggul. Seperti pesawat yang baling-balingnya berantakan terkena angin. Kita bisa berdansa bebas tanpa ikut aturan dari tarian anak muda bukan?” Jordan terlihat serius. Aku sampai tidak berkedip menatapnya. Diriku juga kehilangan selera untuk tertawa. Ini malah air mataku ingin merangsek keluar.

Lelaki itu tidak diam meski aku belum menerima uluran tangannya. Jordan bergerak sendiri. Berputar-putar mengikuti arus angin yang mungkin menggelitik pinggangnya. Dia gerakkan kedua tangan. Kakinya pula. Tidak ada alunan musik berdansa di sore hari. Hanya suara angsa sangat keras seperti melihat ular di dalam air dan mengganggunya berenang. Dia sangat serius. Aku malah bergeming. Sebab dia kelihatan makin asyik bergerak kesana-kemari sambil sesekali mengulurkan tangannya mengajakku menari. Akhirnya aku terpancing. Menerima uluran tangannya dan menari  sambil meneteskan air mata.

Kami sungguh berdansa. Aku dan Jordan seperti jarum jam. Meski jarumnya dihentikan, waktu akan terus berjalan. Jadi buat apa diam? Inilah waktu kami. Belum tentu dalam detik berikutnya kami dapat melakukan hal yang sama. Matahari seperti terbenam, lalu balik muncul kembali. Begitu berulang-ulang. Sampai kami lupa sudah berapa lama berdansa. Tubuh kami sama-sama terhempas di atas rumput. Kami haus tetapi tidak mungkin meminta hujan. 

“Apa ini kencan paling romantis?” tanya Jordan. Lelaki itu terengah-engah sambil menepuk dada dan keringat jelas sekali mengucur. Aku mengusap peluhnya dengan menarik ujung gaun di pergelangan tangan. Jordan tersenyum dan suara napasnya lebih pelan dari sebelumnya.

“Ini sedikit buruk,” jawab diriku. Senyum Jordan tandas seketika. Mungkin karena ucapanku.

 “Mengapa begitu?” tanya Jordan.

Aku meluruskan kaki sambil menatap senja. Terasa kram dan membuat diriku berdesis pelan. Jordan bergeser untuk merapat ke arahku. Padahal aku sedang gerah-gerahnya. Ternyata dia mencondongkan tubuh untuk meraih betisku untuk memberikan pijatan. Untung kesemutannya sudah mereda. Kalau tidak, aku pasti kesal karena disentuh. “Apa kau sungguh melupakan istrimu?”

Mata Jordan kelihatan membulat seketika. Mungkin terkejut karena pertanyaanku. “Aku sama sekali tidak berniat mengikat kehidupanku dengan kuburan. Aku sudah lebih berkabung atas kematiannya lebih dari yang kau tau!”

“Mengapa kau jadi marah? Nanti makin tua. Aku sekadar bertanya saja. Lagian aku sudah 58 tahun dan kau 68…sepertinya kita memang punya angka 8. Mawar itu juga memiliki 8 duri. Bukan, bukan itu intinya. Setelah delapan tahun meninggalnya istrimu, kapan lagi aku mendapat bagian bersamamu bila bukan saat ini?”

Jordan memegang kedua bahuku dengan tangan bergetar. “Tahunku memang lebih banyak bersama raga orang lain, tetapi hatiku tetap berada di tempat yang sama. Jalanku jauh. Akan tetapi, tetap meminta pulang ke rumah yang pertama. Tahukah sisa umur memberiku hadiah sebesar ini?” Jordan terlihat seperti kembali pada usia 20 tahun. Sangat pandai berkata manis tetapi tidak mudah mengubah hubungan kami menjadi mekar. “Diperkirakan kita akan 200 tahun ke depan bersama.”

Kepalaku jadi dipenuhi Jordan lagi. “Kakek-kakek perayu,” ucapku.

“Supaya tidak lupa tua,” jawab Jordan. Dia tertawa lagi. Lebih kencang dibandingkan saat di kafe. Kerutan di wajahnya jadi tertarik semua. Gigi bagian bawahnya yang sudah tanggal dua, makin kelihatan. Ubannya belum penuh dan Jordan punya alasan untuk protes, katanya tidak bisa dikatakan tua bila ada rambut masih hitam meski sehelai saja. Soal cinta juga boleh bersambut kapan saja. Tidak ada akhiran klise baginya. Mungkin memang benar, namanya juga kakek-kakek yang sedang dimabuk asmara.

***

Desa Kerang, 2/2/23

Firda SofiaZu, penulis “Ada Abu-Abu Di Antara Hitam dan Putih” (kumpulan puisi, 2020) dan “Hilang Sepetang” (novel, 2021).

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *