Cukup

“Terkadang terlalu banyak pilihan sama dengan tidak ada pilihan.”

Cukup! Cukup sudah berduka. Sebab duka selalu saja meneriaki siapapun tentang menjadi tabah, tapi tanpa memberi arah. Cukup, mengajariku bahwa ada waktu memulai, ada waktu untuk selesai.

Aku melanjutkan langkah menyusuri jalanan Monkey Forest-Ubud yang syahdu. Bali di awal September bagiku masih terasa dingin, angin berhembus cukup kencang menembus kulitku yang hanya berbalut sackdress putih berbahan katun, sepasang sandal jepit warna senada menjadi pilihan favorit setiap keluyuran di sini. Pashmina lebar berwarna biru lembut yang selalu ada dalam tas rotan kecilku, kuambil dan kulilitkan sekeliling bahu untuk memberi sedikit rasa hangat.

Ubud selalu menjadi pilihan untuk melarikan diri dari kesakitan. Villa kecil di ujung jalan adalah saksi bisu gundah dan dukaku dari waktu ke waktu. Walau banyak bertebaran tempat baru, aku selalu memilih tempat ini lagi dan lagi. Seperti ada pertalian magis yang menenangkan. 

Villa kecil ini dikelola oleh satu keluarga secara turun temurun dengan beberapa unit private villa yang saling terhubung dengan sebuah kebun kecil. Sebuah meja sarapan kecil dari rotan dan naungan dancing frangipani, demikian biasanya kami di Bali menyebut jenis pohon Kamboja fosil dengan batang melebar berbentuk meliuk-liuk tampak menyambut hangat.

Setiap unit villa terdapat jendela menghadap ke arah sawah. Kolam renang dengan jacuzzi kecil berada di area bawah, karena tanah di sini memang relatif berkontur. Kebun gaya Bali yang indah akan membuat siapa saja nyaman berenang di malam hari di bawah gemintang. Satu tempat yang mampu membuat benak hening sejenak. Seolah permasalahan hidup berhenti menjadi sesak.

Akhirnya aku berbelok ke arah jalan raya Ubud, ada kafe yang menyajikan makanan dengan porsi tidak terlalu besar dan kopi Bali yang enak. Berjarak beberapa kilo saja dari villa tempat aku menginap. Sepanjang jalan bertebaran galeri lukis, butik-butik artistik apik memanjakan mata, kafe-kafe mungil terselip di setiap sudut. 

Jalanan semerbak, berkelindan antara wangi dupa dan bunga kamboja. Lamat-lamat terdengar lantunan kidung Bali yang dinamis. Ah, senja yang sempurna, semuanya seakan memberi napas. Seolah-olah berkata tidak ada yang perlu aku khawatirkan, begitu lepas, begitu merdeka, mengingatkan ke masa sebelum aku punya rasa gentar.

Bicara tentang gentar, aku jadi teringat pembicaraan dengan Andra, anak lelakiku semata wayang. “Sudah cukup Ma, cerai saja, tinggalkan Ayah, lebih cepat lebih baik. Mama juga berhak bahagia.” Suara baritonnya memecah kesunyian. Ayah adalah panggilan Andra kepada suamiku yang kedua. “Cukup ya cukup, Ma.” lanjutnya. 

“Tapi Ndra, tidak semudah itu, Mama gentar,” jawabku sambil menyesap cangkir kedua kopi Bali-ku yang entah mengapa kali ini terasa ampang. 

“Tidakkah engkau tahu Andra, Mama akan menyandang status janda untuk kedua kalinya,” lanjutku lirih.

“Buat Andra, 3 tahun waktu yang cukup bagi Mama dalam mempertimbangkan untuk mengambil keputusan. Berapa lama lagi yang Mama perlukan?” lembut Andra menatapku. 

Aku tak kuasa menjawab pertanyaannya yang tulus. Kupalingkan pandangan melewati jendela kayu ke arah jalan raya Ubud yang remang-remang namun indah. Benar kamu Andra, tahun dan jarak yang terlewati sepatutnya membuatku merasa cukup. Terkadang terlalu banyak pilihan sama dengan tidak ada pilihan.

“Andra nggak mau lihat Mama terus menerus bersedih, meratapi nasib yang demikian menggiring. Cukup! Cukup sudah berduka,” lanjut Andra karena tak kunjung menerima jawaban dariku.

Cinta memang butuh dipelihara. Bahwa dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan. Dan aku telah gagal. 

Hari itu akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri jalanan Ubud di bawah sinar bulan. Lengannya yang kekar memelukku dalam diam, seakan memberi kekuatan. Bayangan kami menghiasi trotoar, seperti menyatukan dua buah jari telunjuk dan jempol, iya, sungguh seekstrem itu perbandingan fisik kami. 

Waktu begitu cepat berlalu. Baru kemarin rasanya aku menggandeng tangan mungilnya menyusuri jalan yang sama, celoteh riang Andra yang tak henti, berbicara tentang apa saja yang kami temui di sepanjang jalan. Setiap beberapa langkah, dia akan memelukku dan mengucapkan “Fiyu fiyu, Mama.” I love you, maksudnya.

Aku mendongak melihat sosok dewasa yang jauh lebih matang dari usianya. Badan Andra tinggi besar, jauh melampaui ukuran rata-rata orang Indonesia. Sinar bulan seakan mendramatisir hal itu. Rambut ikal, bentuk mata yang cekung, mengingatkanku pada seseorang yang pernah menghiasi mimpi-mimpi indah masa remajaku dulu. 

***

“Selamat sore bu Andira, selamat datang di kafe Batan Waru.” Ucapan pramusaji membuyarkan lamunanku. 

Ternyata tanpa sadar kakiku sudah melangkah masuk ke dalam lounge. “Ibu berkenan duduk di tempat biasa?” Aku mengangguk mengiyakan. 

Karena aku sering sekali ke sini, hampir semua pramusaji mengenalku. Aku memang mempunyai tempat favorit, di pojokan sebelah jendela, menghadap ke jalan utama. Sebuah meja bundar tak terlalu besar dengan kursi berhadapan. Tempat tersembunyi tapi leluasa, mengurai semua rasa.

Ah, bisakah aku melewati semua ini, sekali lagi? Menjadi janda dua kali, walaupun bukan keinginan sendiri, tanyaku dalam hati. 

Aku menjalani hidup seperti menyelam dengan mata terbuka. Kemarin adalah lalu yang terkenang. Kata tersebut menguak kesadaran memaknai cukup. Membuatku sadar bahwa sempurna bukanlah hal yang dapat kukecup.

Georgie T Kadarusman, Desainer Interior penyuka kopi tubruk.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *