Cokelat untuk Ibu

Hari ini, Martha akan ikut denganku ke Sekolah Raya. Setelah sarapan, kami mencuci piring dan bersiap untuk berangkat. Kuingatkan untuk membawa alat makan buat makan siang bersama, dan botol minum, tentu saja dengan isinya, bukan botolnya saja. Begitulah budaya di Sekolah Raya, fasilitator dan anak-anak sama-sama perlu membawa alat makan.

“Mon maap, nih. Agak repot juga, ya. Kalau lupa gimana?” tanya Martha sambil
memasukkan piring aluminium ke dalam tasnya.

“Kalau anak-anak kan sudah ngumpulin alat makan di awal semester. Kalau kamu yang lupa, ya, nggak usah ikut makan,” candaku.

“Walah, kejam betul. Eh, bolehkah aku berbagi cokelat buat anak-anak? Tapi aku cuma punya lima bungkus, jadi dimakan sama-sama, gitu. Boleh?” tanya Martha.

“Tentu aja boleh, anak-anak pasti suka. Oh, tenang aja. Satu batang pun bisa dibagi-bagi untuk satu kelas, kok. Sudah biasa begitu. Bakpao satu aja bisa dibagi buat anak sepuluh. Ya, kuecil-kuecil gitu motongnya,” jawabku menenangkannya.

“Oleh-oleh dari Temanggung juga, kan?” sambungku.

“Iya. Baiklah. Kayak Yesus aja ya, bisa bagi lima roti dan dua ikan buat lima ribu orang.
Hahaha. Yuk, ah, mari kita berangkat. Eh, boleh foto-foto juga, ya?” tanya Martha.

“Nanti, izin langsung ke anak-anak, ya. Consent. Kan anak LSM, ngerti dong kudu gimana,” jawabku.

Kami berpamitan pada ibu. Kusampaikan bahwa kami mungkin pulang telat. Rencananya, Martha ingin mampir ke Gereja Santo Antonius di Kotabaru seusai sekolah nanti.

Perjalanan 45 menit tak terasa lama, Martha mengoceh tentang segala sesuatu yang
dilihatnya. Ia seperti anak kecil yang kegirangan karena diajak ibunya berjalan-jalan.

“Udah sampai?” tanyanya ketika motor kubelokkan ke parkiran Sekolah Raya. Kuabaikan pertanyaan retoriknya.
“Lewat mana?” tanyanya lagi.
“Ya, lewat sini. Jangan norak, dah,” kataku terus berjalan lewat pematang sawah.

Sebentar-sebentar Martha berhenti, memotret sawah. Sesekali ia berswafoto. Sungguh terlihat gembira. Aku tertawa melihatnya.

“Kenapa ngetawain?” tanyanya.
“Norak. Kayak orang-orang yang sering kunjungan ke sini,” kataku.

“Ye, namanya juga berkunjung ke sekolah istimewa, sekolah impian. Wajar, dong, ingin mengabadikan,” balasnya.

“Alah, bahan konten,” tukasku sengit.
“Iya, iya, dah. Masih aja sama. Si julid yang sinis pada dunia. Pantes masih tak punya pacar.”

Untung ada Haka, salah satu anak yang kudampingi di kelas 3. Ia berlari ke arahku dan mengajakku tos. Kalau tidak, mungkin sudah kudorong Martha ke galengan.

“Wah, Mbak Hayu bawa teman. Halo, Mbak. Kenalin, aku Haka,” kata Haka. Ia memang anak dengan kemampuan komunikasi sosial yang sangat baik. Ia selalu ramah dan senang menyapa siapa pun di Sekolah Raya.

“Halo, aku Martha. Eh, aku bawa cokelat, nih. Kamu mau?” tanya Martha pada Haka.
“Nanti saja, Mbak. Sama teman-teman.”

Kami berjalan menuju ke ruang kelas 3. Di sana, tim musik sudah menanti. Hari ini ada kelas musik. Artinya, kami akan banyak bernyanyi dan bertepuk tangan mengikuti tempo lagu.

“Mau lagu apa hari ini?” tanya Pak Adi pada anak-anak.

“Kepompoooong!” sahut anak-anak serempak.
Kelas musik berlangsung sedikit lebih lama. Lagu-lagu lawas mereka nyanyikan mulai dari
“Kepompong” karya Sind3ntosca hingga lagu-lagu soundtrack Petualangan Sherina.
Anak-anak ini memang cukup unik selera lagunya. Kurasa, pengaruh orang tua mereka
yang kebanyakan berasal dari angkatan generasi milenial.

Sesi musik akhirnya berakhir, berganti menjadi sesi istirahat. Anak-anak duduk melingkar. Martha berkenalan dengan cara yang asyik menurutku. Ia membagikan potongan coklat ke masing-masing anak sambil berjabat tangan, saling menyebutkan nama.

Anak-anak tampak gembira menikmati cokelat dari Martha. Hanya Haka yang tak tampak sibuk mengunyah. Beberapa temannya terlihat mengerubunginya.

“Nanti leleh, lho. Gek dimaem, cepet.” Kudengar suara Dewa berusaha membujuk Haka,
meski suaranya terlalu keras dan lebih mirip memerintah alih-alih membujuk.

“Emoh!” Haka sedikit berteriak. Ia tampak cukup emosional, tak seperti Haka yang biasanya.

“Kenapa, je, Haka? Kok Haka nangis,” tanyaku sambil berjalan mendekatinya.
“Ini, Haka mau kasih buat Ibuk, Mbak. Ibuk pasti senang kalau Haka bawakan makanan enak ini.” Ia mengusap ingusnya.

Aku menawarkan pelukan padanya. “Cerita sama Mbak. Sebenarnya ada apa? Kalau hanya soal cokelat, mengapa kamu begitu sedih?”
“Ibu, kemarin bertengkar, ta-tapi Mbak Hayu janji jangan bilang Ibuk kalau aku cerita?
Rahasia, ya,” katanya sambil menatapku dengan mata basah.
“Iya, Mbak janji.”
“Ibuk bertengkar dengan Bapak. Ibuk minta Bapak pergi cari uang, agar ada makanan enak untukku dan Ibuk. Bapak gak boleh balik kalau gak bawa uang.”

Haka menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tersedu. Martha membisu. Ia menatap ke arahku.

“Aku mau bawa coklat enak ini buat Ibuk. Ia selalu bekerja. Ibuk sering membawa jajan buatku sepulang berjualan jus keliling pasar. Tapi gak ada yang membawakan Ibuk jajan
yang enak. Aku mau bawa ini buat Ibuk.” Haka terus menangis.

Aku merangkulnya. Martha mendekat pada kami. “Haka, Mbak masih punya sebungkus
utuh. Ini untuk Ibukmu. Yang kecil ini makanlah di sini. Ia bisa leleh kalau terlalu lama di udara bebas. Mbak takut, kau nanti semakin sedih, kalau cokelat ini leleh sebelum kau berikan pada Ibukmu.”

Haka mengusap air matanya. Lalu ia memeluk Martha dengan sangat erat. “Terima kasih, Mbak Martha,” ucapnya tulus.

Aku terdiam. Anak-anak ini punya hati yang begitu tulus. Cinta mereka begitu besar dan
murni bagi orang tuanya. Betapa beruntungnya aku, bisa mengalami peristiwa sedalam ini, di sini, di Sekolah Raya. Entah pelajaran apalagi yang akan kudapat dari teman-teman kecil esok hari.

Nona Mawa Tirah, suka menulis.

[red/TC]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *