Site icon ghibahin.id

Cita-cita Untuk Chester

ghibahin

Photo by Elina Sazonova: https://www.pexels.com/photo/man-and-woman-sitting-on-rock-near-seashore-1914982/

Kamu selalu ingin memutar sebuah film tentang masa depan. Tentang Chester yang harus menemui hidup bahagianya. Tentang kita yang bisa melalui semua ini.

Antara lega dan takut. Senang, tapi khawatir. Dua jam bisa jadi waktu yang sangat lama, bisa jadi terlalu pendek, mungkin tergantung pada cara menikmatinya. Yang penting, ini adalah dua jam yang langka. Tidak ada Chester, tidak ada teriakan dan tidak ada rengekan. Tidak ada drama antara aku dan Chester. Tidak ada peperangan. Duniaku tenang untuk sementara waktu. Aku berharap tidak berdosa karena berpikir seperti ini. Berdosa pun tak apa.

Masih terasa segar di ingatan ketika aku kehilangan jejak Chester di pusat perbelanjaan. Aku hanya beberapa detik menoleh pada deretan kemeja motif bunga, dan dia hilang begitu saja. Seketika itu Chester membuatku berpikir tentang hal buruk dan mengerikan. Jatuh dari eskalator, atau terjepit lift, hilang dan diculik. Aku ingat betul bagaimana Chester sudah membuatku mandi keringat dan tanganku gemetar tanpa henti. Meski pada akhirnya aku menemukannya dengan wajah meringis, seperti selesai puas mengerjaiku.

Tapi kali ini beda. Chester pergi pamit padaku. Dan aku tahu ke mana perginya.

Kaiman, laki-laki yang kemiripannya hampir 95% dengan Chester pun tertawa ketika melihatku berkali-kali menengok ke kamar Chester, melihat ke teras dan halaman. Chester benar-benar tidak ada. Aneh, ini indah sekaligus menakutkan. Rasanya sangat canggung jika dua jam tidak melihat Chester.

“Mari kita nikmati!” ajak Kaiman sambil menggoyangkan kunci motor di jarinya.

“Tapi nanti terlambat jemput Chester.”

“Tenang, ini waktu kita. Waktumu. Kita naik motor berdua, makan bakso, dan senang-senang.”

Belum kusetujui ajakan itu, Kaiman sudah memasangkan helm di kepalaku. Sumpah rasanya tidak enak mengkhianati Chester. Apalagi ini adalah minggu pertama dia sekolah, dan pasti akan banyak penolakan dari Chester ketika di kelas.

“Kosongkan pikiranmu. Jangan pikirkan Chester,” sahut Kaiman.

Nonsense. Imposible. Chester merasuk ke otakku sesaat mendengar kalimat itu. Semakin kukosongkan, semakin dia hadir dengan wujud yang makin dewasa. Bermain-main di otakku. Chester tidak akan membiarkanku melonggarkan pikiran. Dia akan menyelinap di setiap ruang sempit yang kosong dalam otakku. Bertahan di sana dan mulai menyalakan sebuah drama masa depan. Chester mengajakku untuk bercita-cita, ketika aku sudah sangat lama memendam keinginan tentang masa depan. Aku ingin mengusirnya dari otakku, dan semoga saja Kaiman betah dengan ocehanku nanti tentang Chester.

“Aku ingin punya keluarga yang bahagia sampai tua nanti,” jawab Kaiman, laki-laki yang telah membuatku jatuh cinta dengan cara yang tidak biasa. Aku tertarik dengan suaranya, dan kupikir dari kemerduan ciptaan Tuhan itu aku akan menemukan keindahan-keindahan yang lain. Ah, bullshit.

Kaiman dengan rakus menyendok bulatan daging dengan kuah panas, lalu lanjut menggelontori tenggorokannya dengan es kelapa muda, seakan kalimat atas pertanyaan ‘apa cita-citamu nanti?’ bukan sebuah percakapan yang serius. Jawabannya kupikir sangat klise.

Entah bahagia seperti apa yang dimaksud dalam kutipan tadi. Yang jelas, dia tidak tertarik lagi meneruskan obrolan yang kumulai tadi.

Harusnya ini akan jadi sebuah diskusi yang menarik. Karena ini benar-benar masih segar dalam otakku, hasil diskusi bersama Chester di masa depan. Harapanku dia akan balik bertanya tentang cita-citaku. Seperti apa masa depan dalam otakku? Aku sangat ingin ditanya, alih-alih menjelaskan.

“Kalau tentang Chester, bagaimana?” tanyaku pada Kaiman, tentang seorang anak tampan hasil olahan cinta kami.

“Memangnya Chester kenapa?” Kaiman balik bertanya.

“Ya, masa depannya.”

“Memangnya ada masalah apa di masa depannya nanti?”

“Bayangkan saja jadi Chester, Kai. Jawab saja pertanyaanku. Ini penting. Kalau kita tidak siap, kasihan Chester. Chester anak yang spesial.”

“Bahkan hewan pun bisa beradaptasi dengan alam, kenapa Chester tidak bisa?”

“Kamu masih kesal karena nama itu, atau kenapa?”

Aku protes karena hal sepele seperti ini, berbalas dengan kalimat yang sarkas. Nama Chester memang ideku. Aku suka nama itu, apalagi segala sesuatu tentang band rock. Aku tidak banyak berpikir ketika menamai Chester, selain menganggap bahwa itu nama yang keren.

Tentu saja nama itu disematkan sebelum tahu kejadian Chester Beninggton mati bunuh diri karena depresi. Dan setelah itu, Kaiman dengan halus menyalahkanku karena menamai putra pertama kami dengan nama itu. Bagi Kaiman, apa yang dialami Chester-ku, itu terjadi karena aku menamainya dengan nama orang yang punya gangguan mental.

“Kamu pun setuju dengan nama itu. Selama ini kamu selalu menyindirku karena hal ini. Tentang Chester, tentang gangguan perilakunya, tentang aku yang selalu marah-marah.”

Kaiman diam, mengunyah baksonya dengan sangat tenang. Dia berdiri dan mengambil dompet di saku belakang, lalu pergi ke kasir. Bahkan aku belum sepakat untuk menyelesaikan sesi makan siang, tapi dia sudah terburu-buru menarikku pergi setelah menyelesaikan pembayaran. Akhirnya kami saling diam di atas jok motor, dan aku tidak tahu ke mana Kaiman melajukan motor ini.

Sejak mengetahui Chester punya gangguan perilaku, kami seperti kesulitan untuk membangun komunikasi. Dan makin memburuk ketika Chester beranjak menuju taman kanak-kanak. Terlalu banyak masalah yang bermunculan. Chester suka memukul orang, butuh terapi, dia sakit-sakitan, sangat pemilih dalam makanan, butuh susu untuk alerginya, dan ah masih banyak yang lain. Pekerjaan Kaiman sebagai penyanyi band bukan hal yang bisa diandalkan, aku pun ragu mengambil pekerjaan karena tidak bisa meninggalkan Chester.

Wacana menitipkan Chester pun batal gara-gara perilakunya cukup menyulitkan orang lain. Aku tidak bisa menemukan orang yang mampu dan tahan dengan Chester, selain aku sendiri.

“Apa kamu sekarang kecewa dengan pekerjaanku, atau kamu menyesal karena sudah resign dari pekerjaanmu?” Kaiman buka suara setelah sepuluh menit berkendara.

“Aku dari tadi hanya ingin bertanya tentang cita-citamu untuk Chester. Memangnya apa hubungannya? Lagipula, dari Chester lahir kamu sudah meyakinkanku bahwa band-mu akan sukses. Nyatanya? Jadi, iya, aku menyesal keluar dari pekerjaanku. Ah, sial! Kita ini payah soal obrolan. Tidak nyambung.”

“Tentu saja nyambung. Kamu bercita-cita Chester dapat perawatan dan terapi terbaik, dan itu tidak bisa kulakukan dengan gaji sekarang.”

“Bukan itu, Kai!” seruku dengan sedikit kencang. Aku harus meninggikan suara karena pengaruh angin.

“Apa lagi maumu? Chester sudah dapat sekolah yang bisa menerima dia apa adanya. Gurunya pun paham dan mengerti keterbatasan Chester. Sekarang apa lagi?”

“Aku ingin kamu ada untuk Chester!”

“Kamu pikir selama ini aku tidak ada untuk Chester? Apa hubungannya dengan cita-cita untuk Chester? Kenapa kamu sungguh membingungkan, ha?”

Kaiman menarik gas cukup dalam. Aku menjerit, refleks meraih jaketnya karena hampir saja terlempar. Berkali-kali aku protes, tapi Kaiman diam. Sampai akhirnya perjalanan kami berhenti di depan pintu gerbang sebuah taman kanak-kanak tempat Chester bersekolah. Kaiman terlihat gusar ketika menurunkan standart motor, menoleh padaku dengan matanya yang tajam.

“Kamu tahu, harusnya waktu dua jam selama Chester sekolah, cukup untuk mengajakmu bepergian naik motor makan bakso berdua saja. Aku ingin mengembalikanmu pada masa lalu, saat kita pacaran. Bicara tentang hal yang receh, dan kamu selalu tertawa dengan leluconku meski garing. Tapi kamu lagi-lagi dan sekali lagi, melakukan hal itu lagi dan lagi. Bicara tentang cita-cita. Kamu selalu ingin memutar sebuah film tentang masa depan. Tentang Chester yang harus menemui hidup bahagianya. Tentang kita yang bisa melalui semua ini. Itu semua bullshit, Magali! Bullshit! Kalau kamu tidak berhenti mencemaskan Chester di masa depan, aku akan berhenti jadi orang yang setia mengajakmu untuk menyelesaikan kekhawatiranmu.”

“Aku sayang Chester!”

“Kamu pikir aku tidak?” potong Kaiman. “Kamu selalu berpikir bahwa kamulah satu-satunya yang mengkhawatirkan Chester. Kecemasanmu pada Chester sudah tidak masuk akal. Kamu berkali-kali membahas soal pacar Chester di masa mendatang. Sedangkan dia sendiri baru enam tahun, Magali. Enam tahun! Kamu tidak perlu juga mencemaskan bagaimana dia akan menjalani masa pubernya, jangan lagi kamu tanya bagaimana nanti jodohnya. Segala macam bentuk frustrasimu, tidak menandakan kamu sayang pada Chester, Mag! Lama-lama kamu lebih depresi daripada idolamu si Chester Bennington.”

“Iya, karena kamu terlalu cuek! Kamu tidak sensitif pada Chester. Kamu tidak paham Chester. Lalu bagaimana dia bisa belajar kalau bapaknya tidak peduli?”

Dada Kaiman turun perlahan bersamaan dengan helaan napas. Sepertinya dia akan mengalah. Entahlah, aku sebenarnya masih kuat untuk berdebat, tapi dia selalu saja berhenti di tengah jalan. Kini dia berbalik memunggungiku, memandangi pintu gerbang yang masih tertutup.

“Kamu tidak ingin tahu cita-citaku, Kai?”

“Aku sudah lelah untuk menanyaimu. Kenapa tidak bilang saja langsung. Aku capek, Mag.”

Kaiman sedikit menjauh, dan menghindari kontak mata. Pasti dia menghindar lagi dari wacana masa depan. Padahal ini adalah hal yang sangat penting. Aku tidak bisa menahan hal ini. Aku ingin Kaiman tahu cita-cita mulia itu. Menggambarkan kehidupan Chester di masa mendatang, adalah sebuah kenikmatan.

Entahlah, rasanya begitu melegakan ketika melanglang menuju sebuah masa yang sudah tertulis, tapi belum mampu terbaca oleh manusia. Sebenarnya aku hanya ingin Kaiman mengerti bahwa ini hal yang mengasyikkan, tapi sepertinya aku harus kursus merangkai kata agar dia paham tentang cara menggambar masa depan untuk Chester.

“Oke, aku ingin dan sangat ingin sekali, nanti mati duluan daripada Chester. Karena aku tidak akan kuat kalau melihatnya dikubur. Biarkan dia yang menguburku. Dan ketika itu terjadi, aku bercita-cita agar dia sudah mandiri. Mengurus dirinya sendiri. Makanya aku selalu keras agar dia bisa segera mandiri. Aku minta tolong juga, yang bagian Chester dan kemandiriannya, jadikan cita-cita itu terwujud. Kamu harus ikut campur, Kai. Sedangkan kematianku, tidak. Makanya kenapa aku selalu cerewet soal ini. ”

“Egois! Kamu tidak memikirkanku sama sekali!” balasnya tanpa menoleh.

***

Bogor, 28 April 2022

Yesi M.H., penulis kelahiran Nganjuk yang berdomisili di Bogor. Mulai menulis sejak 2019 di beberapa buku antologi. Penulis bisa disapa di Instagram @ecy_mh atau surel yesimeiditama@gmail.com.

[red/yukrasan]

Exit mobile version