Cinta Paradoksal

“Meski Anantara suka sekali memaki, hati lelaki kekasihku tak pernah sampai tega mengancam orang.”

“Sialan, virus itu sudah merampas banyak kesempatanku!” 

Lelaki kurus tinggi berambut ikal itu mengumpat di perjumpaan kedua, setelah sekian tahun kami hanya bisa berjumpa lewat suara. Biasa. Seperti itulah bahasa komunikasi dia yang paling jujur. Hanya orang terdekat yang dikenainya, dan itu aku. 

“Kau lihat, tidak? Sejak kita dipaksa memenjarakan diri di dalam rumah dua tahun ini, entah bagaimana orang-orang jadi bersemangat memuntahkan diksi dan mengaku bisa menulis.” 

Aku hanya mampu mendengar. Ingin kutuntaskan rasa rindu setiap kami bertemu, tetapi biasanya aku hanya bisa diam tanpa berkomentar. Seperti itulah cara dia menjalin relasi dengan orang lain, termasuk denganku. Hanya orang yang bisa menjadi pendengar tanpa menanggapi, yang mampu berdekatan dengannya. 

“Tulisan mereka, jujur ya kayak orang sedang nyampah! Kisah cinta senantiasa perumpamaan pungguk merindukan rembulan, perselingkuhan tanpa adab, atau kebalikannya, sok bermuatan moral, berjudul religi padahal isinya tak lebih dari dosa perempuan-lelaki. Yang opini, mengutamakan judul clickbait yang isinya kosong, jauh dari analisa. Mereka pelan-pelan menggerogoti dunia sastra dan literasi. Kalau tak karena honor sebagai editor atau fee juri, sudah kuhapus itu semua tulisan yang masuk ke dalam drive.” 

Kata-katanya membuatku terdiam. Seperti itulah ucapannya kerap merobek-robek logika dan hati pendengarnya. Hanya aku … aku yang lentur tanpa terkoyak, menampung tumpahan kata, rasa termasuk hasrat, tanpa satu pun hendak kutolak.

Dia, Anantara Noer. Aku seketika tertawa mendengar suara baritonnya memperkenalkan nama itu sebagai nama asli, bukan anonim. Dia merengut. Buru-buru aku berujar, “Pas dengan kepiawaianmu merangkai tuturan indah.” 

Wajahnya seketika memerah, senyum khasnya yang biasa terpampang di helaian koran bacaanku kini hanya sedepa jaraknya dari aku berdiri. 

Sejak perkenalan itu, Anantara dan aku seperti tubuh dan bayangan. Berdekatan dengannya membuatku larut terpikat bacaan dan perpustakaan. Tak ada tempat kencan lebih romantis dari sudut perpustakaan kota setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. 

Percakapan kami tak jauh dari tulisan atau malah buku si anu, ini dan itu. Lebih dalam lagi, mengulas tulisannya yang akan tayang, bergantian di koran A, B, C, D dan entah sampai alfabet yang mana. 

Ketika mulutnya mulai terkatup, jemarinya menari indah di atas keyboard laptop yang kerap didapatnya cuma-cuma dari prestasi juara. Tentu yang dipilih untuk digunakannya, yang termahal dan tercanggih. 

“Kamu tahu, Ratih? Cara menang dari sebuah kompetisi itu banyak metodenya. Salah satunya membaca dan mempelajari kesukaan juri.” 

Kata-katanya mengembalikanku pada ruang perpustakaan ini. Bola matanya yang senantiasa menghipnotisku, kini berbinar-binar. Tanda percaya dirinya sedang membuncah. Bagaimana tidak? Baru saja namanya tercantum dalam jejeran pemenang perhelatan lomba menulis berskala Asia Tenggara. Mengedepankannya lagi sebagai salah satu penulis muda yang lagi-lagi diidolakan. 

“Boleh dibagi kiatnya kepadaku?” Suara kupelankan agar tak berkesan terlalu mengagungkan dirinya, meski aku ingin dan senang membuatnya semringah setiap kali kupuji. 

“Bacalah karya para juri, perhatikan kesamaannya. Entah mereka punya kalimat pembuka yang menggedor-gedor keingintahuan kita untuk membaca, atau mereka luar biasa mahir bermain metafora. Dari situ kita tahu apakah karya kita akan bisa memikat mereka.” Anantara begitu serius menjelaskan dengan tangan terangkat-angkat ke udara. 

“Pernahkah tidak berhasil?” Kini suaraku terdengar serupa bisikan karena cemas dia salah menduga aku meragukannya.

“Jelas pernah, aku juga masih pembelajar, masih tertatih mensejajarkan diri dengan maestro.” Kalimat pendek itu diikuti matanya yang seketika berkilat tak ramah. Aku menunduk. Merasa pertanyaanku salah waktu dan tempat. Akan tetapi, jarinya mencuil daguku untuk mendongak dan menatapnya. Ya, ciri khas lelaki itu setiap kali hendak didengar dan diperhatikan. Kami harus bertatapan, bak kewajiban yang harus dituntaskan. 

“Karena yang menang sekali itu ternyata bersiasat dengan juri utama. Kau tahu ‘kan si Baskoro. Selalu mengekor ke mana aku bergerak. Ketika banyak media yang memuat karyaku, dia memintaku menulis surat rekomendasi kepada pemimpin redaksi atau editor agar mau memuat karyanya yang diakunya sebelas dua belas denganku. Ketika lomba juga demikian. Tak bisa terus menerus menang, dia mendekati juri utamanya yang notabene masih kerabat dekat yang banyak berutang budi dengan keluarganya. Jelas menang deh, dianya.” 

Kedua telapak lelaki itu mengepal erat sampai buku-buku jarinya memutih. Aku tahu Baskoro. Aku paham bagaimana lelaki satu klub kepenulisan dengan Anantara itu saling bersaing ketat sejak kelompok itu bermula. 

Mulutnya kemudian meracau bahwa kini ada banyak penulis serupa Baskoro-Baskoro lain yang herannya berkarakter sama, bahkan lebih buruk melakukan pencurian karya.

“Kau tahu nggak kasus plagiasi yang viral akhir-akhir ini. Yang menjiplak novel best seller untuk dipindahkan ke platform demi mengeruk keuntungan. Tak tahu malu, berkelimpahan dari kerja keras orang lain. Awas aja kalo berani plagiasi karyaku, akan kucari dia dan kutemui.” 

Ancaman itu baru sekali ini kudengar dari bibirnya sepanjang cinta kami bersemi. Meski Anantara suka sekali memaki, hati lelaki kekasihku tak pernah sampai tega mengancam orang. Mulutnya saja seperti lepas kendali, hatinya malah kuasumsikan lebih baik, bahkan lebih murni dari hatiku. 

Ketika kutanyakan apakah dia mengenal orang yang melakukan plagiasi novel best seller itu, dia cepat-cepat menggeleng tanpa suara. Kucoba tepis dugaan bahwa tindakan itu dilakukan penulis-penulis yang berada dalam circle komunitasnya, karena Anantara segera mengalihkan topik pembicaraan, menanyakan cerpen terbaruku. 

Seusai itu, keheningan tetiba menyergap. Energi lelaki pujaanku seperti hanyut tak bersisa setelah tumpah ruah pemikirannya tentang dunia literasi. 

Jujur kesunyian itu sedemikian menakutkan. Memandangi sosok penulis ternama kesayanganku itu tafakur, kecemasan menggerogoti hatiku. Apalagi beberapa kali desahan napasnya terdengar, petanda melepaskan keresahan. 

Tanganku perlahan kuulurkan untuk menangkup telapak tangannya yang memegang tepian meja. Ada kehangatan yang saling bertukar dan membuat matanya seketika menatapku dengan rasa tak tergambarkan. 

“Bagaimana bila suatu saat aku yang melakukan plagiasi atas karyamu? Apa kamu sampai hati mempermalukanku juga?” 

Wajahnya berubah pasi, tangannya pun menjauhi tanganku. 

“Kamu pasti membunuhku kalau begitu!”

Kuraih tangannya lagi, mencoba meredakan emosinya agar tak terekskalasi. 

Andai dia tahu … marahkah bila terbongkar rahasia yang tak juga berani aku tuturkan kepadanya bahkan sampai cerpen ini selesai kutulis.

Berkat ilmu, diskusi, tips dan trik yang dia berikan, mampu memposisikanku sebagai penulis hantu dari beberapa tulisan indah penulis ternama yang terlampau sibuk membuka kelas berbayar dibanding mengisi rutin web komunitas sastra terkenal di kota kami. 

Aku tak perlu sanjungan tulisanku bagus, inspiring atau indah seperti halnya Anantara. Hanya honornya yang lumayan mampu membantuku bertahan hidup. Bahkan bisa membuatku leluasa setiap saat diminta mendampinginya, menjadi pendengar setia yang mau memahami semua idealisme maupun keluh kesahnya tentang sastra dan literasi.

Kalau demi cintaku yang besar kepada Anantara, salahkah aku melakukan hal-hal busuk seperti yang dibencinya? 

Ivy Sudjana. Ibu dua anak, suka membaca, menulis, dan travelling.

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *