Site icon ghibahin.id

Bumerang

“Hanya satu yang masih membebaninya. Asih belum juga bertemu dengan jodohnya.”

Tangisan semalam Asih dirasakan belum tuntas. Dia masih melanjutkan isaknya di kamar usai salat subuh. Ada sebuah pertanyaan yang mengganjal sekaligus menakutkan dalam hatinya hingga tidak mampu memejamkan mata beberapa menit saja. “Haruskah ini terjadi dan benar-benar menimpaku?” bisik hatinya berkali-kali.

Sambil meredakan isak tangisnya, ia berusaha untuk melupakan percakapan beberapa tahun silam antara ibu dengan Ratmi sahabatnya, ketika suatu hari sepulang Ratmi jalan-jalan dan mengantar Asih pulang. Tak banyak orang tahu apa yang pernah diucapkan ibu kepada Ratmi pada saat itu sehingga ucapannya bagi Asih sulit dilupakan.

Asih masih melamun di kamar dan tidak ia pedulikan panggilan ibunya yang sedari tadi sudah sibuk di dapur menyiangi sayur-sayuran bahan untuk membuat pecel. Tak biasanya Asih bersikap demikian. Bahkan ia pura-pura tak mendengar ketika ibunya memanggil dia berulang, hingga ibunya sedikit heran ada apa dengan putri semata wayangnya itu. 

Semalam hati Asih hancur. Farhan memutus hubungan secara sepihak. Asih tak bisa menerima dan apa yang dikuatirkan akhirnya terjadi juga. Apalagi alasan Farhan hanya karena takut secara finansial tak mampu membahagiakan Asih. Dia tak pernah menuntut apa pun pada Farhan. Asal Farhan mau menerima dia apa adanya itu sudah lebih dari cukup.

Farhan adalah lelaki kampung sebelah yang sudah enam bulan dekat dengan Asih. Mereka berdua sudah cukup usia bila masuk ke jenjang pernikahan. Namun harapan Asih pupus sudah. Lagi-lagi pria yang ia cintai harus dilepasnya dengan rela hati. Sakit, sudah pasti.

Dua kali gagal telah membuat Asih minder untuk memulai hubungan dengan lawan jenis. Farhan adalah lelaki ketiga yang kepadanya ia gantungkan harapan setelah beberapa waktu berusaha membuka hati. Tak mudah baginya untuk kembali jatuh cinta. Dia termasuk gadis yang sulit untuk melupakan orang yang pernah ia cintai.

“Sudahlah, Nduk, mungkin ini sudah suratan untukmu. Lebih baik kau bersabar karena orang yang sabar lebih disayang Allah.” Tiba-tiba ibu sudah di bibir pintu kamar Asih. Entah dari mana ibu tahu kalau Asih telah putus hubungan dengan Farhan.

Asih hanya mendongak sebentar lalu kembali memandangi sekeliling kamar dengan mata yang masih sembab. Dinding kamar menjadi saksi kegundahan hati, kerinduan akan kekasih dan segala aktivitas di kala sepi. Kembali ia pandang ibunya tanpa mengucap sepatah kata dan ibunya sudah hafal bahwa Asih hanya butuh waktu untuk sendiri beberapa saat. 

Sebenarnya Asih tak sampai hati melihat ibunya banting tulang sendiri agar dapur tetap mengebul. Bapak Asih sudah tiada dua puluh tahun lalu ketika Asih berusia sepuluh tahun. 

Sejak itu ibu menekuni buka warung jualan nasi pecel tiap pagi.

Bagi ibu, pasang surut jualannya sudah tak dipikirkan lagi. Hanya satu yang masih membebaninya. Asih belum juga bertemu dengan jodohnya. Padahal teman-teman sebayanya sudah menikah dan bahkan ada yang sudah memiliki beberapa anak.

Kadang ibu tak mampu memejamkan mata hanya karena selalu memikirkan nasib putrinya. Rasa prihatin selalu mendera, bahkan seolah diingatkan oleh memorinya atas ucapan dari bibirnya beberapa tahun silam kepada seorang gadis tetangga yang ia sebut sebagai perawan tua. Ada sesal yang tak mudah dihilangkan begitu saja. 

Bagaimanapun, Asih adalah putri tunggalnya tempat bergantung di hari tua. Seiring bertambahnya usia Asih, bertambah pula usia ibu menuju manula. Kelincahan dan ketangkasannya sudah pasti berkurang.

Usia Asih yang menginjak tiga puluhan bukan tak luput dari kekhawatiran ibu menjalani hidup berumah tangga atau tidak. Setiap ada pria yang mendekati ternyata hanya sebentar dan berakhir kandas. Padahal Asih termasuk gadis solehah yang manis, ramah, murah senyum dan santun terhadap siapa saja.

Kepada Ratmi sahabatnya semenjak kecil, Asih selalu membagi curahan hatinya. Mereka berdua sama-sama yatim di usia SD. Ratmi gadis lincah yang sedikit centil memiliki banyak teman dari laki-laki maupun perempuan. Usia Ratmi terpaut lima tahun lebih tua dari Asih. Ibu Asih kadang tak suka dengan kecentilan Ratmi dan ketidaksukaannya sering diutarakan kepada putrinya.

“Pagi Bu, Asih ada?” Suatu pagi Ratmi datang dengan tampilan rapi ingin mengajak Asih jalan-jalan bersama motor barunya. Sebagai salesgirl sebuah produk kosmetik, dia terbiasa dituntut untuk tampil cantik, ceria dan menyenangkan siapa pun. Saat itu kedewasaan usia Ratmi sudah terlihat.

“Hem.” Hanya itu jawaban ibu sambil memandang Ratmi sejenak lalu melanjutkan melayani pembeli pecel yang pagi itu tak terlalu ramai. 

Sesaat kemudian mereka berdua sudah meluncur manis setelah berpamitan dengan ibu. Mereka terlihat sangat bahagia. Wajah kedua gadis itu merona dan ibu sempat menangkap pemandangan tersebut. Sejauh ini hubungan persahabatan mereka sudah seperti kakak dan adik.

Hingga sore menjelang malam Asih dan Ratmi belum juga pulang. Ibu gelisah bukan kepalang dan berbagai prasangka buruk pun berdesakan di hatinya. Antara ketidaksukaannya dengan perangai Ratmi yang centil dan kekhawatirannya jika Asih telah ikut-ikutan centil seperti Ratmi.

Adzan Magrib sudah lewat, mereka belum pulang juga. Ibu nyaris tak bisa menguasai diri. Duduk tak nyaman, dia mondar-mandir keluar masuk pintu berharap setiap deru sepeda motor yang lewat adalah motor Ratmi. Ingin marah kepada Asih, dia sangat menyayangi putrinya melebihi rasa sayang kepada diri sendiri. Marah kepada Ratmi, gadis itu satu-satunya sahabat Asih yang setia dan sering main ke rumah.

Persis ketika orang-orang baru pulang dari Masjid usai salat Isya, Asih dan Ratmi pulang. Ada keletihan yang tersirat di wajah mereka berdua.

“Assalamualaikum,” mereka berdua serentak mengucap salam bersamaan meski tanpa aba-aba. Masih sambil tersenyum mereka mencium tangan ibu bergantian.

“Wa’alaykumussalam,” ibu menjawab tanpa ekspresi, “sini, kalian duduk dulu. Ibu mau bicara.”

Asih dan Ratmi merasa terkejut dengan sikap ibu yang tiba-tiba seolah hilang kelembutannya. Wajahnya tampak tegang dan serius.

“Asih, Ratmi, ibu sangat menyayangi kalian. Tapi ibu sudah tak tahan dengan omongan orang-orang yang menyebut kalian berdua sebagai perawan tua.” Sampai di sini ucapan ibu terhenti seolah tak mampu dilanjutkan lagi. Tenggorokannya terasa kering dan kaku.

Asih dan Ratmi hanya saling berpandangan dan tak berani mengucap sepatah kata pun. Padahal sedari tadi Asih mau memberitahu ibu bahwa mereka berdua baru pulang dari rumah budenya Ratmi yang rumahnya lumayan jauh. Melihat roman muka ibu, Asih tahu saat seperti ini ibu tak butuh keterangan itu.

“Ibu tidak suka kamu berdua keluyuran.” Kali ini ucapan ibu agak ditekan.

“Dan kamu, Ratmi, biarlah Asih di rumah. Kau tak perlu lagi mengajaknya ngalor-ngidul karena aku khawatir Asih mengalami berat jodoh seperti dirimu.” Sambil beranjak dari kursi ibu berkata dengan ketus tanpa dilandasi perasaan, kelembutannya benar-benar hilang.

Mereka berdua tak menyangka akhirnya terlepas juga ucapan ibu yang seolah tanpa kontrol. Bak tertusuk belati tajam, hati Ratmi berdarah, perih. Namun baginya tak kan mengurangi nilai persahabatannya dengan Asih.

Di kampung, jika ada seorang gadis yang terlambat menikah memang sering menjadi perbincangan orang-orang yang gemar membahas urusan orang lain. Desas desus itu sudah lama dan ibu awalnya tak terlalu menghiraukan. Tapi ketika Asih putus hubungan dengan kekasih yang kedua, kasak kusuk itu kembali berembus. Masyarakat menilai hal itu sudah wajar terjadi dan menimpa Asih sebagai karma atas ucapan ibunya dahulu.

Ibu Asih lupa dan tak menyadari ucapannya adalah doa. Doa bagi diri dan anaknya. Di mana pada saat itu Allah sedang mengabulkan semua doa hamba-Nya termasuk kata-kata atau ucapan seorang ibu yang detik itu pula dikabulkan.

Perlahan Asih bangkit dari dipan sederhana di mana dia biasa terlelap dalam mimpi indah maupun mimpi buruk. Dia harus sabar dan tetap tegar apa pun yang terjadi. Ucapan ibu seolah menjadi bumerang baginya. Namun Asih tetap semangat karena kehidupan ini harus terus berlanjut berjodoh atau tidak.

——

*Nduk: panggilan sayang untuk anak perempuan.

Wurry Srie, Ibu rumah tangga yang suka menulis.

[red/san]

Exit mobile version