Buku Catatan

Buku Catatan

“Kehilangan lelaki itu saja sudah membuat Mami terluka. Setelah tiada pun terus dicerca keluarga termasuk Ibunya.”

Sejak Papi tak ada lagi di tengah-tengah keluarga kami tiga tahun yang lalu, aku punya buku kecil untuk mencatat. Bukan … bukan buku utang, karena keluarga besar Mami terlalu malu bila kami sampai terpaksa berutang kepada orang lain. Hal itu terlalu mustahil akan mereka biarkan. Mau tahu buku catatanku berisi apa? 

Di dalamnya kubuat tabel bergaris dengan kolom untuk menuliskan tanda rumput, yang akan kuisi setiap kali Ibu melakukan …. 

***

“Apa Bapaknya begitu sibuk sehingga enggak bisa hadir, Bu?”

“Jauh kerjanya?” 

Mami mencoba tersenyum walau terlihat tak elok tarikan sudut bibirnya di mataku. 

“Bapaknya pulang ke negara asalnya. WNA ‘kan ya … nggak mau balik ke Indonesia. Agak repot prosedur imigrasi dan lain-lain, Bu.” 

Orang yang bertanya hanya bisa diam, terpaksa mengiyakan dengan mengangguk kecil meski aku menduga ia tak sungguh-sungguh paham. 

Setelah jauh dari orang dan ruangan tadi, aku mencoba melontarkan pertanyaan kepada Mami. 

“Mam, kenapa nggak ngomong kalau Papi …” 

Tangan Mami sontak menutup bibirku. Sambil berbisik dia berkata, “Psttt … kamu diem aja. Roy aja bisa diem kalo Mami lagi ngomong gitu sama wali kelasnya.” 

Sejujurnya aku bingung. Pertama karena tak mengerti mengapa alasan yang sama disampaikan Mami lagi, entah sudah keberapa kalinya kepada orang lain. Kedua makin tak mengerti mengapa orang seketika bungkam ketika Mami menyampaikan alasannya. Dan, yang terakhir, mengapa aku harus tutup mulut dan tak dibiarkan jujur saja?

Meski aku kebingungan, yang jelas malam nanti rutinitasku mengisi buku itu lagi mutlak adanya.

Bertahun-tahun seperti tradisi, siapapun yang bertanya, kemana pun Mami pergi selalu mereka diberikan jawaban yang sama, tanpa satu orang juga mau mencari tahu atau malah memperdebatkan.

Kata Mami, kakakku Roy saja tak secerewet aku mempertanyakan bila dia berulang-ulang mengutarakan ucapan yang sama lagi kepada wali kelas maupun pelatih basketnya. 

Perempuan yang melahirkanku itu menambahkan, makin lama benaknya makin cemas akan risiko aku membongkar rahasianya suatu hari nanti.

Ternyata kekhawatirannya benar, nyaris terjadi. 

Suatu siang setelah bel sekolah berbunyi, Bu Titi-wali kelas-mengingatkanku lagi perlunya kehadiran kedua orang tua untuk pembicaraan mengenai peluang beasiswa universitas yang bisa aku peroleh saat lulus dua tahun lagi.

“Sebaiknya Bapak juga ikut datang ya, Ratna!”

“Oh, Papi ….” 

“Kenapa Ratna, apa Papimu begitu sibuknya sehingga tak bisa duduk bersama membicarakan pendidikan lanjutan anaknya?” 

Bu Ade yang notabene Kepala Sekolah kami tiba-tiba muncul dari arah belakang dan ikut nimbrung ke dalam percakapan. 

Ucapannya membuatku gugup, jari jemariku dingin beberapa saat, dan …

“Papi itu sudah ….” 

“Sudah memutuskan bahwa saya yang mengurus semuanya, Bu Titi dan Bu Ade. Maaf saya sedikit terlambat menjemput Ratna.”

Ucapanku disambar Mami yang tiba-tiba menyelonong lalu berdiri di samping kiri dan segera merangkul erat bahuku. 

Cengkeraman jemari tangannya di bahuku lebih terasa mengancam daripada upaya melindungi. 

“Bapaknya memilih pulang ke negara asalnya, ‘kan WNA ya … Beliau milih enggak balik ke Indonesia. Agak repot prosedur imigrasi dan administrasinya juga. Jadi, semua masalah anak-anak adalah tanggung jawab saya.” 

Bu Titi menghela napas, seperti juga Bu Ade. Keduanya tak sanggup mengutarakan apa-apa lagi. 

Beberapa detik langkah kami keluar dari gerbang sekolah, Mami seketika memarahiku. Kata bodoh, sembrono, sok jujur berhamburan dari bibir berlipstik warna ruby kesukaannya. Aku diam saja. Karena sungguh menyadari nyaris saja kecerobohan sikapku menggagalkan alasan jitu Mami. Seperti juga membatalkanku memberi centang di buku catatan itu.

Sambil terus menunduk di samping Mami yang menyetir jip tua peninggalan Papi, aku berhitung dalam hati.

Frekuensi Mami beralasan makin banyak saja, yang berarti makin berkurangnya kolom kosong di buku catatan. Sejalan dengan itu pemahaman orang-orang di sekitar tentang citra Papi tiga tahun ini, makin tercipta dengan sempurna.

Papi yang pergi dari Indonesia, Lelaki yang tega dan rela meninggalkan keluarganya hanya karena enggan berurusan dengan tetek bengek administrasi imigrasi. 

Orang-orang makin teryakinkan dengan nama Papi yang masih tiga kata, Liu Xue Yi. Pelafalannya saja sulit, tak hanya bagiku melainkan juga bagi kebanyakan lidah orang Indonesia lainnya.

Oleh karena itu nama belakangku dan Roy mengikuti nama Mami. Yenita Karyono, dengan dua anak Roy Karyono dan Ratna Karyono. 

“Mereka baru bisa sekolah, dan mengurus segala hal administrasi yang lain, karena ikut nama saya. Kalo ikut nama Bapaknya yang asing, repot. Harus ada surat ini dan itu.”

Demikianlah hari-hariku berlalu. Tak ada tempat dan waktu bersedih untuk merindukan Papi, malah disibukkan mendukung Mami atas perbuatannya. 

Sampai suatu ketika …

Tanganku baru saja menyentuh grendel pagar, ketika dari dalam rumah terdengar suara keras perempuan-perempuan selain Mami, yang telah biasa kehadirannya di rumah kami sejak kepergian Papi. 

Saling berteriak, sahut-sahutan menjerit sambil menangis. Semua bercampur baur dengan volume memekakkan telinga.

Perasaanku berkecamuk karena merasa cemas sekaligus takut akan hal apa lagi yang menyulut pertengkaran hebat ketiganya, Mami, Popoh, dan Tanteku.

Sambil berjingkat-jingkat aku mendekati pintu rumah. 

“Makanya ya … gua udah bilang dari mula. Kalian tuh shionya ciong, unsurnya berlawanan. Pernikahan kalian tuh enggak mungkin bisa lama.”

Suara Popoh terdengar melengking dan bergetar seperti menahan murka.

“Elu juga Yen, jadi perempuan kok bawa sial sampai suaminya mati muda.” 

Suara Tanteku terdengar menyela. 

“Dulu gua liat elo galak sama si Xue Yi. Siapa juga laki yang mau jadi Papi barunya Ratna sama Roy, kalo tahu bakal sial milih elo sebagai bini!”

Sekali ini suara Popoh diikuti teriakan Mami. 

“Siapa juga yang tahu gua bakal jadi janda? Siapa juga yang tahu Xue Yi yang sehat dan gagah, tahu-tahunya sakit parah? Gua juga enggak mau muda-muda jadi janda, Ma.” 

“Kenapa elo marah sama gua? Lihat kelakuan elo, Yen. Enggak bakalan ada laki yang mau milih elo lagi … kalo elo sama gue ngelawan mulu. Sadar … sampe umur berapa gue musti bantu nanggung hidup elo, Ratna sama Roy, ….” 

Sebelah tanganku erat memegang tembok sebelah pintu, tangan yang lain meremas seragam SMA-ku. 

Pandangan mataku mengabur sering air mataku yang menganak sungai mendengar perkataan demi perkataan mereka. 

Kini terjawablah alasan Mami tak mau diketahui sudah ditinggal mati Papi. Kehilangan lelaki itu saja sudah membuat Mami terluka. Setelah tiada pun terus dicerca keluarga termasuk Ibunya.

Bagaimana hatinya tidak akan hancur kalau ditambah lagi godaan maupun tatapan menyelidik ketika orang mengetahui status Mami sebagai janda, seperti lelucon buruk yang sering kubaca di media sosial terhadap para ibu tunggal.

Sungguh aku tak tahu, sampai kapan tabel alasan penuh dusta di buku catatan Mami akan tertulis penuh, lalu musti dibelikan buku yang baru. [red/han]

Ivy Sudjana, ibu dua anak, suka membaca, menulis, dan travelling.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *