Site icon ghibahin.id

Buih

Foto oleh Craig Adderley dari Pexels

“Kalau kau merasa diperlakukan tidak adil, biar Tuhan yang membalasnya.”

Pernahkah kau perhatikan buih-buih di dekatmu? Mungkin, saat kau sedang menggosokkan sabun ke tubuhmu? Atau saat kau membersihkan tanganmu di restoran cepat saji? Atau mungkin juga saat kau melihat para bocah yang asyik meniupkan air sabun di tempat-tempat wisata?

Buih-buih itu seakan menjadi pahlawan yang menyelamatkanmu dari sesuatu yang kotor, sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, atau bahkan dari rengekan bocahmu yang bosan. 

Tapi, pernahkah kau merasa terancam dengan kehadiran buih-buih bening nan mungil itu? Ketika tiba-tiba saja, kau merasa buih-buih itu berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Seperti sekumpulan bulatan hitam nan kelam, dengan tangan-tangan berkuku panjang yang tumbuh dengan cepat dan siap mencekikmu. Tapi, ancaman itu justru melegakanmu, membuatmu merasa terbebas dari kondisi hidupmu yang brengsek?

Kondisi itulah yang sedang dirasakan Renita, seorang mahasiswi tingkat satu. Menjadi buruh cuci baju di tempat kos teman-teman kampusnya adalah lakon yang dipilihnya untuk bertahan hidup di Bogor, kota tempatnya menimba ilmu. 

Keluarganya memang sangat miskin. Bapaknya harus menjual becak yang menjadi tumpuan hidup keluarga, demi uang saku Renita kala anak gadisnya itu pamit mengejar gelar sarjana. Entah bagaimana Bapak menghidupi Ibu dan adiknya saat ini, untuk sekadar membayangkannya saja Renita tidak berani.

Renita sering merasa melihat keluarga kecilnya itu pada buih-buih sabun cucinya. Ada senyum ibu, ada wajah lelah bapak, dan kadang juga raut polos Bayu, adiknya yang masih belia, memantul-mantul di gumpalan buih itu. 

Buih-buih itu seakan menjadi media yang menghadirkan mereka di sana, menemani Renita. Memandangi buih-buih itu saja sudah bisa membuatnya bahagia. Bisa memuaskan sedikit rasa rindu Renita pada keluarganya. 

Tapi sore itu, ia memandangi bagaimana buih-buih sabun yang mengitari kakinya, yang bergumpal di dekat lubang air, dan yang terpisah-pisah di dekat tumpukan ember itu bertransformasi menjadi sesuatu yang buas. Sesuatu yang sepertinya jahat, namun memberinya secercah harapan untuk membalas dendam. 

Saat itu, Renita sedang memilah-milah baju kotor, dan menemukan kemeja bersalur biru milik Abi, teman sekampusnya. Diperhatikannya bagian kerah kemeja itu. Ada sedikit noda hitam di sana. Dirasakannya kembali bahan kemeja tersebut. Kemeja katun biasa. Dengan menyikatnya sedikit, noda hitam di kerah kemeja itu akan hilang. Sedikit sikatan saja, yang tidak terlalu keras supaya tidak rapuh dan sobek. Renita berniat melakukannya setelah ia merogoh saku kemeja itu. 

Hei, apa ini? 

Renita merasakan tangannya memegang sebuah benda keras. Tipis. Bertepi. Tanpa perlu menarik tangannya pun ia tahu benda apa itu. Sebuah kartu ATM. Ditelitinya kartu berwarna kuning emas itu. Tertera nama sang pemilik baju, Abiya Wulandari. Spontan saja ia membalik kartu ATM tersebut, sambil berharap sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin terjadi, namun mungkin saja bisa terjadi.

Dan ketika hal itu benar-benar terjadi, Renita pun menyambutnya dengan tawa keras. Hahaha … dasar bodoh kau, Abi! 

Ya, ia merasa teman kampusnya itu sama bodohnya dengan bude Jariyah, kakak ibunya di kampung, yang menempelkan 6 kombinasi angka di setiap kartu ATM-nya. Siapapun juga bisa menebak kalau angka-angka tersebut adalah kode pin kartu ATM tersebut.

Tiba-tiba, ingatannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu, kala Renita mencuci baju Abi yang lain. Saat itu, dalam saku bajunya ternyata masih tersimpan sebuah pena. Dan ketika baju tersebut sudah terendam dalam ember penuh sabun, barulah Renita melihat kalau tinta pena tersebut sudah menyebar, meninggalkan jejak biru di saku baju Abi.

Tampang masam Abi melihat kemejanya bernoda, masih saja terbayang oleh Renita. Walaupun sudah beribu kali Renita meminta maaf pada Abi, tetap saja Abi memintanya untuk mengganti kemeja tersebut dengan uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Saat itu, uang di dompet Renita tinggal tiga puluh ribu rupiah, dan harus dihematnya sampai akhir minggu, atau paling tidak sampai upah mencuci mingguannya dibayarkan. 

Dan karena Renita tidak bisa memberikan dua ratus lima puluh ribu rupiah ke Abi, maka ia menawarkan untuk mencucikan baju Abi selama satu bulan penuh tanpa perlu membayar. Untungnya, Abi mau menerima penawarannya, namun untuk jangka waktu dua bulan.

Kejadian tersebut masih sangat membekas di hati Renita. Ia merasa terluka, walaupun ia sadar kalau ia berada di posisi yang lemah karena kesalahannya. 

Lalu, apakah orang yang bersalah memang harus menerima nasibnya untuk diinjak? 

Saat itu, ia seperti melihat wajah Bapak di buih-buih sabun. Tatapan Bapak seperti semakin menusuk hatinya.

“Sadarlah posisimu, Ren. Kita ini orang miskin. Tanpa membuat kesalahan pun, kita sudah berada dalam kondisi yang selalu diinjak. Dan kau sudah harus siap itu, Nak. Serahkan semuanya ke Tuhan. Kalau kau merasa diperlakukan tidak adil, biar Tuhan yang membalasnya. Karena sebagai orang susah, kita bisa apa?” Suara bapak seperti memenuhi isi kepalanya.

Dan memegang ATM Abi saat ini, membawa kembali kenangannya akan kejadian itu, akan tutur bapak yang menyuruhnya pasrah menerima takdir sebagai orang susah. Renita menggigit bibirnya. 

Apakah itu berarti orang susah nggak boleh berbuat salah, Pak? Apa orang-orang seperti kita ini harus selalu berbuat yang baik, berbuat yang benar? Baik menurut siapa, Pak? Benar menurut siapa, Pak?

Renita berharap ia bisa menuntut Bapak. Ia mencari-cari wajah bapaknya melalui buih-buih sabun di dekat kakinya. Namun, tidak ada wajah Bapak di sana. Ia terus mencari sang Bapak, bahkan sampai gumpalan buih yang meluber dekat pancuran air. Tapi ia tidak menemukannya. Tidak ada wajah Bapak, tidak ada wajah Ibu juga. Ke mana mereka?

Berbagai pikiran kemudian berkecamuk di benak Renita. Apa yang harus kulakukan? 

Di satu sisi, seperti ada bagian dari hatinya yang menuntut untuk tetap berlaku baik, walaupun kepada orang yang telah menyakitinya. Tapi, sampai kapan ia akan menawarkan kebaikan, sementara Abi sendiri bersikap seenaknya padanya? 

Sudah bagus kutawarkan jasa mencuci bajunya satu bulan gratis. Eh, Ia malah minta lebih lama lagi. Apa dia pikir, posisiku sebagai pesakitan pantas dijadikan pijakan untuk menenggelamkanku dalam rasa bersalah?

Kemudian saat itulah ia merasa buih-buih itu berubah. Kejernihannya perlahan memudar. Tidak ada lagi buih bening yang memantulkan wajah-wajah keluarganya. Buih itu bahkan semakin lama terlihat kelam dan kemudian menghitam.

Bagaimana jika ini adalah peluangnya untuk membalas perlakuan Abi padanya? Bagaimana jika inilah ‘balasan Tuhan’ seperti tutur Bapak dalam benaknya?

Ia perhatikan lagi buih-buih sabun di sekelilingnya. Dan di mata Renita, buih-buih hitam itu mulai menumbuhkan sesuatu. Sesuatu seperti jari-jari tangan yang kotor, dengan kuku-kuku hitam yang panjang dan tajam. Jari-jari itu kemudian semakin tumbuh membesar, dan seperti siap mencekiknya. 

Walaupun terlihat menakutkan, namun entah mengapa, Renita mulai merasakan sesuatu yang menyenangkan menjalar perlahan di hatinya. Seperti rasa nyaman kala meringkuk di balik selimut tebal di saat hujan, bahkan senyaman pelukan sang Ibu yang dirindukannya. 

Ah, bagaimana bisa buih-buih itu membawa kebaikan, tapi juga kebatilan? 

Menimang ATM Abi di tangannya, Renita bukannya tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Tapi ia ingin menikmati perasaan nyaman itu lebih lama. Perasaan yang seperti membuatnya terbebas dari predikat ‘pesakitan’, ‘orang miskin’, ‘orang susah’. Perasaan yang membuatnya merasa menang. Walaupun ia sendiri tidak bisa mendeskripsikan, 

Memangnya aku sedang berperang dengan siapa? Abi? Atau malah dengan diriku sendiri yang menolak dibilang orang miskin, orang susah?

Dan ketika buih-buih bertangan hitam itu semakin mendekati dirinya, Renita merasa mendengar bisikan-bisikan syahdu di telinganya. Bisikan yang kemudian menguasai benaknya, dan mengiyakan Renita untuk menguras ATM Abi. 

Dessy Liestiyani, wiraswasta, tinggal di Bukittinggi.

[red/san]

Exit mobile version