Site icon ghibahin.id

Bui

“Aku tak menyalahkan kamu, Asih. Kalau aku jadi kamu, aku pasti melakukan seperti yang kamu lakukan,” kata Mira tiba-tiba sambil memelintir rambutnya yang sebahu. Dia teman baru yang kukenal di dalam sebuah ruang tahanan polisi. Aku hanya diam sambil menatapnya sekilas ketika dia mengatakan itu. Dia ditahan karena apa, aku belum tahu dan entah mengapa aku malas untuk bertanya.

Hari ketiga di tahanan, aku masih membisu jika tidak ditanya oleh petugas. Entah dari mana Mira tahu tentang aku, aku tak peduli. Meski selama berdekatan dengannya dia ramah dan cukup perhatian padaku, tapi untuk sekadar ngobrol aku merasa harus hati-hati. Dia juga menghiburku ketika aku tak menyentuh jatah makanan yang seharusnya aku makan.

Aku yakin orang-orang di sekitar rumahku tak akan percaya atas apa yang telah aku perbuat. Mereka hanya tahu aku sosok pendiam dan tipe gadis pekerja keras. Apalagi setelah ibu tiada karena direnggut Corona, aku lebih banyak menutup diri. Setiap pulang dari kerja seharian di sebuah pabrik kabel, aku di rumah saja. Begitu pun esok harinya. Di pagi buta aku sudah berangkat dengan sepeda butut peninggalan bapakku.

Satu tahun usai ibu berpulang, kakakku satu-satunya menikah dengan lelaki pilihannya, seorang karyawan sebuah koperasi. Kak Ima, kakakku, berprofesi sebagai guru di sebuah SD dan masih honorer. Kami bertiga menempati rumah ibu dengan kesibukan masing-masing di setiap harinya. Aku, kak Ima dan Parlan, abang iparku.

“Sore ini aku tak memasak, kita beli mie ayam saja, ya?” Kata kak Ima kepadaku dan minta suaminya keluar beli mie tanpa menunggu jawabanku.

Sembari meletakkan tas dan melepas kaos kaki, aku hanya mengangguk pelan saat kak Ima memandangku. Mie ayam panas kurasa cocok dengan cuaca dingin usai hujan deras. Saking dinginnya, mau mandi saja aku masih pikir-pikir. Mending menyantap mie ayam dulu baru mandi, begitu pikirku.

“Saudara Asih, ada yang ingin bertemu denganmu,” seorang petugas membuyarkan lamunanku lalu membawaku menemui orang yang dimaksud.

“Kak Ima ….” , sapaku. Pandangan mata kak Ima tampak dingin. Aku ingin memeluknya tapi tak bisa karena terhalang kaca. 

“Aku datang hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” kak Ima berkata sangat pelan hingga hampir tak terdengar. 

Nada suaranya bergetar seolah tercekat di tenggorokan. Selain dingin, ada sorot marah sekaligus sedih di matanya. Namun di balik itu, aku masih bisa melihat secara samar rasa kasih di wajahnya yang keibuan.

Sejenak kami saling diam. Kak Ima memainkan jemarinya di atas meja sambil menunduk. Aku memandangnya, menunggu barangkali masih ada beberapa patah kata untukku. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri tak tahu apa yang hendak kukatakan.

Tiba-tiba kak Ima berdiri, berlalu dan menjauh. “Kak!” Aku memanggilnya, tapi dia terus berjalan tanpa menoleh. Sebelum hilang dari pandangan, seorang petugas membawaku kembali ke ruang tahanan.

Aku tahu kakakku marah juga sedih tak terkira. Dia tidak tahu adiknya telah terluka lahir dan batinnya dengan sangat dalam. Jika bukan karena menghormati sang kakak, tentu sudah terkuak kebusukan orang yang dicintai sekaligus dihormatinya. 

Kesibukannya mengurus ini itu berharap lolos menjadi pegawai pemerintah kadang membuatnya lelah badan dan pikiran. Tak sempat lagi menanyakan hal-hal remeh sehubungan dengan pekerjaanku. Tak pernah pula menanyakan aku sudah punya pacar atau belum, aku sedang bahagia atau tidak.

“Kamu membolos kerja, kenapa?” Tanya kak Ima suatu pagi menjelang pergi mengajar ketika mendapati diriku meringkuk di kamar, padahal bukan hari libur.

“Tak enak badan, Kak. Paling-paling besok sudah baikan,” kataku berbohong.

Sengaja aku rahasiakan apa yang terjadi tengah malam sebelumnya di kamar mandi. Badanku lemas nyaris pingsan ketika beberapa gumpal darah keluar dari tubuhku. Dalam hitungan menit warna merah yang disertai bau anyir itu masih terus mengalir diantara kedua pahaku. Seolah menguras habis jatah dua bulan yang seharusnya.

Masih segar di ingatanku bagaimana lelaki bajingan itu merampas kehormatanku secara licik. Mie ayam sialan telah membuatku tak sadarkan diri dan sejak saat itu tak setitik pun rasa hormatku tersisa untuknya. Hanya ada kebencian yang makin hari semakin memuncak dan meronta menginginkan sebuah pelampiasan.

Satu-satunya yang membuatku masih mampu mengendalikan diri adalah sosok kakakku sendiri. Aku selalu jatuh iba bila melihat wajahnya yang lesu tampak kelelahan. Dia belum menyadari bahwa di rumah kami ada bom yang setiap saat akan meledak dan aku sudah siap andai itu terjadi.

“Beberapa hari ini kamu terlihat murung, adakah salah kakak terhadapmu?” 

“Tidak, Kak, aku hanya letih saja. “

Aku masuk kamar. Kukunci pintu dan berusaha untuk menyembunyikan gemuruh di dada yang serasa mau meledak oleh rasa benci, marah dan sakit hati yang selama ini kusimpan rapi.

Di rumah, hubungan kami bertiga semula baik-baik saja, saling menyayangi dan saling menghormati. Namun sejak tragedi usai santap mie ayam malam itu, aku jarang berbicara dengan kak Ima maupun dengan Parlan suaminya. Mungkin ada yang dirasa ganjil dan tidak biasa sehingga kak Ima akhirnya menanyakan itu padaku. 

Setiap kali berada di rumah, hatiku sulit untuk diajak berdamai. Setan-setan seakan membisikkan agar aku segera membuat perhitungan dengan lelaki jahanam yang seharusnya kuhormati sebagai abang yang mampu melindungiku. Hampir setiap menjelang tidur, hatiku selalu dihantui trauma hingga pintu kamar aku cek berulang kali untuk memastikan sudah terkunci atau belum.

Tidak sampai seminggu dari kejadian di kamar mandi, aku sudah bekerja kembali dengan perasaan tenang dan penuh semangat. Mungkin karena terlalu semangat itulah membuat tidur malamku lebih cepat dari hari-hari sebelumnya.

Di tengah tidur nyenyakku yang entah sudah berapa jam, aku terjaga karena ada sesuatu yang terasa dingin dan ditekan dengan kuat tepat di bawah telingaku. Sontak aku terkejut namun tak mampu bangkit. Sesosok tubuh sudah menindih badanku sambil mengancam dengan menempelkan sebilah belati di leherku.

Aku sadar nyawaku terancam. Aku juga sadar apa yang harus aku lakukan. Ada semacam kekuatan tersembunyi yang menuntunku untuk bersabar dan tidak melawan. Ya, aku harus bermain halus namun penuh perhitungan. Ini kali kedua lelaki yang paling aku benci itu, hendak memangsaku.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku meski ada tanda tanya besar mengapa dia bisa masuk ke kamarku. Aku yakin sudah mengunci pintunya. Segera kubuang dulu pertanyaan itu dan aku pura-pura pasrah. Aku pura-pura kalah. Ada binar kemenangan di wajah tengilnya ketika tahu aku hanya diam.

Seolah di atas angin kala nafsu binatang tengah menguasainya, dia pun tampak tidak sabar hingga terlena. Dia lengah dan dalam hitungan detik belati sudah berpindah di tanganku. Sekali gores dengan kekuatan penuh dari tangan perempuan yang hatinya masih terluka, membuatnya menjerit dan mengaduh sambil berlari keluar dari kamarku.

Tak aku pedulikan darah segar dari pangkal pahanya berceceran di lantai malam itu. Bahkan aku juga tak peduli kak Ima mendengar jeritan suaminya atau tidak. Secepat kilat aku segera berganti pakaian lalu menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat.

“Saudara Asih, ada tamu dari Komnas Perempuan ingin bertemu dengan Anda,” petugas di ruang tahanan memberitahuku tepat satu jam usai kak Ima menjengukku. 

Seorang perempuan paruh baya bernama bu Rita, berusaha mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku dengan lemah lembut. Aku menjawab setiap pertanyaannya dengan jujur dan penuh santun. Dia mengatakan bahwa aku terjerat kasus penganiayaan sehingga mengakibatkan orang lain cidera. Namun dia berjanji akan mendampingiku hingga kasusku selesai.

Sempat kudengar berita dari bu Rita, luka Parlan cukup serius dan masih di rumah sakit. Aku ingin dia jera, malu dan tak lagi semena-mena terhadap perempuan. Tak ada sesal di hatiku karena aku sudah siap dengan apa yang telah aku perbuat. Termasuk siap jika ternyata harus merasakan sensasi hidup di bui.

Wurry Srie. Ibu rumah tangga yang suka menulis.

[red/han]

Exit mobile version