Bisikan Pohon Mangga

ghibahin

“Lihat, kami ditebangi digantikan dengan beton-beton yang tidak memberi manusia apa pun. Okelah kalau kami digantikan rumah. Tapi lihat gapura perumahan itu? Itu untuk apa? Memberi oksigen tidak?”

Belasan tahun lalu, aku mendengar gumam seekor kucing kala dia terdiam. Juga kudengar kidung malam katak ketika hujan turun. Demikian juga rintihan rerumputan saat diinjak binatang ternak.

Jujur saja, waktu itu bukan telingaku yang mendengarnya. Mungkin imajinasiku. Atau mungkin seperti kata orang, itu kata hatiku.

Hatiku seperti kotak pos. Ia menyampaikan apa pun yang aku lihat. Membisikkan kepadaku rahasia-rahasia yang tidak bisa didengar orang lain.

Pernah suatu hari, aku melihat sebuah nama, dan hatiku (yang sok tahu itu) mengatakan apa pun tentang orang yang punya nama itu. Sayangnya, setelah aku kutanyakan hal itu benar-benar terjadi padanya.

Konon kata ibu, itu adalah kemampuan yang diwariskan ayah kepadaku. Ibu sering bilang bahwa ayah bisa duduk terdiam berjam-jam di depan sebuah pohon. Ibu kerap bertanya alasan ayah melakukan itu.

Masih kata ibu, ayah hanya tersenyum. Ia lalu berkata, “Nanti malam kuceritakan.”

Ayah menepati janji. Kisah tentang bisikan pohon, hewan, atau apa pun itu kemudian terurai. Ternyata ayah mewariskan itu padaku.

Kamu boleh percaya, boleh pula tidak. Warisan itu ada padaku belasan tahun yang lalu. Dan, kini aku tidak pernah mendengar apa pun lagi.

Hingga saat itu tiba. Aku mendengarnya lagi. Bisikan salam dari sebuah pohon mangga.

Perjalanan setiap hari ke kantor tidaklah begitu jauh. Hampir setiap hari, aku melewati pasar yang hanya ramai di hari Minggu.

Orang-orang menyebutnya Pasar Bangau. Ya, karena banyak burung bangau yang mampir di sawah sekitarnya.

Selepas melewati pasar itu, aku melewati bentangan sawah memanjang. Kemudian deretan rumah berjajar hingga ujung jalan.

Tidak ada yang aneh sampai satu bulan yang lalu. Saat itu aku melintas seperti biasa.

Hatiku membisik seperti ada yang menyapa. “Mas ….”

Aku menoleh kanan lalu ke kiri. Kulirik kaca spion. Tidak ada seorang pun yang aku lihat.

Aku meneruskan perjalanan. Kuabaikan panggilan itu. Keesokan harinya aku mendengar bisikan salam itu.

Hal itu terjadi berulang setiap aku berangkat kerja. Aku mencoba mengabaikan dan menganggap itu hanya halusinasiku saja.

Pagi itu begitu dingin. Hujan masih menyisakan embun. Genangan air masih banyak terlihat.

Aku memaksakan diri berangkat kerja dengan memakai jaket. Aku mengendap-endap agar anak pertamaku tidak melihatku berangkat.

Setelah melewati sebuah jalan di pematang sawah, juga Pasar Senggol, sengaja kuperlambat laju kendaraan. Dan benar, aku mendengar bisikan itu lagi.

Aku berhenti. Tak ada seorang pun yang melintas pagi itu. Hanya ada sebuah pohon mangga yang cukup besar di tepi jalan.

Kuperkirakan umurnya sudah kelewat 50 tahun. Aku mengetahuinya dari ukurannya yang tidak mampu dirangkul dengan tangan dewasa.

Sebuah pipa besi berkarat berukuran dua pertiga inci menancap di batangnya. “Itu untuk memanjat.”

Aku terkejut. Siapa yang menjawab penasaran yang melintas di kepalaku tadi?

Angin bergerak perlahan. Kurapatkan jaketku. Kucoba menyakinkan diri bahwa pohon mangga itulah yang berbicara denganku.

“Tidak sakit?” tanyaku begitu saja. Aku harus memastikan memang pohon itulah yang berbicara denganku.

“Tidak. Dulu saat pertama kali ditancapkan aku kesakitan. Kini aku terbiasa. Batang besi itu sudah menjadi bagian dari diriku. Dia hidupku.”

“Kemudian?” tanyaku.

“Ya, aku hanya mengingatnya saat ada manusia yang memanjat menggunakan itu. Sekarang sudah jarang yang memanjat. Aku terlalu tinggi dan sudah banyak semut melindungi tubuhku. Mereka, manusia-manusia itu lebih memilih memakai galah panjang daripada harus naik ke atas.”

“Owh. Jadi kamu, ya, yang sering memanggilku setiap aku lewat?” Aku tahu tak perlu mengajukan pertanyaan itu. Namun, entah mengapa aku tetap bertanya.

“Kamu jangan ge-er. Aku menyapa setiap orang yang lewat. Tapi hanya kamu yang mampir. Duduklah. Itu ada bangku di sampingku.”

Aku memang sengaja berangkat lebih pagi untuk mengetahui siapa yang menyapaku. Aku mengelap kursi bambu dengan kain yang selalu aku bawa di jok motor lalu duduk di atasnya.

“Sekarang, aku di sini duduk mendengarmu. Kamu mau apa?” tanyaku.

“Aku ingin bercerita. Jarang orang mendengarku. Pohon-pohon sekitarku banyak juga yang sebenarnya ingin didengar. Tapi manusia mana yang mampu mendengar pohon berbicara? Kayak orang gila saja.”

Dia benar, aku seperti orang gila. Aku mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajuku, menyalakan, dan menghisapnya dalam-dalam. Aku tidak inggin dianggap orang gila di sini. Minimal aku dianggap sebagai orang yang baru di-PHK, atau apa pun lah.

“Dulu manusia sering duduk-duduk di bawahku. Kebanyakan para petani yang istirahat di siang hari atau sarapan di sini. Mereka menyenangkan, penuh canda tawa dan sangat gembira. Gurauan mereka, kalau kamu tahu, banyak yang seksis. Jika guyonan itu diunggah di media, mereka pasti dirundung. Meski demikian, aku mendengar guyonan itu dan masih ingat hingga sekarang. Ha-ha-ha.”

Aku tersenyum tipis mendengar cerita itu. Bisa kubayangkan gurauan macam apa yang disampaikan para petani itu.

“Mereka membicarakan banyak hal. Dari keluarga, mimpi beristri dua, hingga politik. Aku ingin tertawa. Bagaimana tidak, seorang petani memikirkan konspirasi harga pupuk yang mahal dan mereka mengatakan itu dimahalkan agar banyak orang yang pensiun dari bertani dan memilih menyerahkan tanahnya kepada para investor dan kemudian mereka menjadi buruh pabrik. Ha-ha-ha. Lucu sekali mereka.”

“Sekarang bagaimana?” tanyaku pendek. Pohon itu bagiku kelewat cerewet.

“Kini, sudah jarang petani yang mampir di bawahku ini. Mereka lebih memilih menanam tebu. Iya sih, aku tahu keluhan mereka. Menanam padi saja lebih membutuhkan banyak tenaga daripada menanam tebu. Bayangkan, menanam tebu cukup sekali, kemudian dipupuk cair sekali atau seperlunya dan ditunggu selama setahun kemudian panen. Dan sudah banyak pabrik dibangun di sekitar sini. Aku betul-betul memahami keadaan mereka.”

Angin berembus kembali. Rasa dingin kembali terasa meski tubuhku masih terbungkus jaket.

“Sekarang aku hanya menjadi tempat rujukan COD yang kamu sebut Cash On Delivery itu. Orang sering duduk di sini menunggu pelanggannya. Aku pernah tahu ada yang COD, dia sudah di sini berjam-jam, pelanggannya belum datang juga dia kemudian pulang. Kasihan.”

“Mungkin dia menanti kekasihnya,” kataku..

“Mungkin juga. Oh, ya, mengapa sih orang-orang cenderung membenci pohon?” Pertanyaan yang diajukannya begitu serius. Aku diam.

“Lihat, kami ditebangi digantikan dengan beton-beton yang tidak memberi manusia apa pun. Okelah kalau kami digantikan rumah. Tapi lihat gapura perumahan itu? Itu untuk apa? Memberi oksigen tidak? Dia hanya memberi pemandangan estetik. Taik kucing. Gara-gara gapura itu anakku mati. Dan aku lagi-lagi sendiri.”

Aku mulai kesal dengan segala keluhan Pohon Mangga itu. “Begitulah dunia kadang tidak adil. Biasakanlah!”

“Manusia! Bukan dunia! Alam selalu memberiku keadilan tapi tidak manusia,” sanggah Pohon Mangga.

Dan begitulah hari-hariku, hampir seminggu dua kali aku duduk di bawah pohon mangga itu. Tetap saja, orang melihatku diam melamun.

Namun, aku ramai sekali di dalam sana. Mengenang masa-masa Gestok dan Gestapu dengan pohon mangga itu. Meskipun aku hanya mendengar kisah-kisah itu dari ayahku.

Sebulan ini aku tidak lagi mampir ke Pohon Mangga. Pekerjaan kantor benar-benar melenyapkan waktu senggangku untuknya.

Hingga suatu hari pohon itu menyapa kembali ketika aku melintas. “Mas, berhentilah. Mampirlah sebentar.”

Aku berhenti namun tidak turun dari kendaraan.

“Aku ingin pamit.”

“Apa?”

“Aku ingin pamit.” Dia mengulangi kata-katanya.

“Ya hati-hati.” Anggap saja aku tidak suka basa-basi. Kuputuskan meninggalkan pohon itu.

Keesokan harinya, saat pulang dari kantor, seorang berpakaian pekerja menghentikan jalur para pengendara dengan sebuah bendera merah di tangannya. Dari jauh, aku mendengar deru sebuah mesin mengaung keras. Aku tahu itu adalah gergaji mesin.

Astaga. Aku menepikan kendaraan dan berusaha mendekati pusat suara itu. Pohon Mangga telah tumbang. Badannya terbelah. Aku tidak tega melihatnya.

“Selamat tinggal, Mas.”

Aku mendengarnya bicara. Terakhir kalinya. Dan aku tidak menjawab apa-apa, kecuali air mata. [red/san]

Ahmad Natsir, Pemalas yang membiarkan rerumputan tumbuh subur di rumahnya.

One thought on “Bisikan Pohon Mangga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *