Beha

“Untuk yang kesepuluh kalinya aku mau tanya, kamu nggak pakai beha lagi, ya?”

Jengah rasanya Tono melihat bagian dada Tini, kekasihnya itu. Hampir setiap kali ngapel, matanya seperti dipaksa untuk bersirobok dengan dua bulatan hitam yang berbayang di baju Tini. Seperti malam Jumat ini, jadwal rutin pacaran mereka di teras rumah Tini.

“Kan aku udah sebelas kali bilang, kalau aku nggak doyan pakai beha saat di rumah. Gerah, panas, bikin sesek napas. Coba aja kamu yang pakai,” balas Tini tak acuh. Wajahnya didekatkan ke bungkusan mi instan yang hampir kosong. Bola matanya bergerak-gerak, seperti sedang meneropong ke sudut-sudut terdalam lipatannya.

Jiaaah, tetap saja hitungan dia lebih banyak. Sejak kita mulai pacaran itu sudah sepuluh kali aku nanya masalah nggak pakai beha ini. Bukan sebelas kali! Huh. Nggak mau kalah banget, sih. Tono hanya bisa membatin dalam hati. Gondok maksimal sebenarnya. Tapi sayang, Tini tidak bisa merasakan kemangkelan Tono, karena yang ada di benak Tini saat itu hanyalah menandaskan mi instan mentah bertabur bumbu itu. Pokoknya, jangan sampai ada remahan mi ataupun micin-micin yang terlewat kumakan.

 “Lah, kan yang perempuan itu kamu. Masa aku yang disuruh pakai beha.” Tono berusaha memasang tampang sok bingung, sambil berharap bahwa pernyataannya barusan itu bisa men-skak mat Tini.

“Makanya, kalau nggak pernah tahu gimana rasanya pakai beha, nggak usah nyuruh-nyuruh orang pakai beha. Kecuali kamu punya pengalaman,” ujar Tini kalem. Mulutnya kemudian sibuk mengulum jari-jemarinya satu persatu, menjilati serpihan bumbu yang menempel di sana. 

“Hush. Jangan sembarangan kalau ngomong. Nanti jadi doa. Emangnya kamu mau aku pakai beha?” Kali ini Tono tak bisa menyembunyikan senyumannya. Ah, gemas sekali Tono melihat kekasihnya ini. Kadang ia merasa Tini suka memancing-mancing birahinya. Seperti sekarang ini nih. Ya, masa iya pacarnya datang dia nggak pakai beha? Tapi kalau disosor duluan, pasti Tini ngomel. “Nggak baek nyosor-nyosor tanpa permisi. Akunya belum siap-siap.” Begitu katanya setiap kali Tono menciumnya diam-diam. Yaelah, emangnya perlu persiapan apa sih?

“Jadi, kamu mau aku pakai beha?” Tono terpaksa mengulang pertanyaannya melihat Tini malah memelet-meletkan lidahnya ke dalam bungkus mi yang sudah lecek itu. 

“Idiiih. Ya enggak laaah. Eh, tapi ada loh kaum pria yang menutupi putingnya pakai plester supaya nggak nyeplak di bajunya. Daripada seperti itu, mending pakai beha aja. Kan fungsi dasarnya sama, menutupi puting. Kamu kebayang nggak kalau pas plesternya itu dicopot, apa nggak ngilu?” Tini ngikik. Kikikannya pun “menular” ke Tono. Mereka pun ngikik bareng. Kikikik.

 “Nah, itu kamu sadar kan kalau beha itu buat nutupin puting. Terus kenapa kamu nggak pakai beha? Emangnya kamu nggak malu kalau ada orang lain yang ngeliatin puting yang nyeplak di bajumu itu? Apa kamu mau pakai plester aja?” Penasaran juga Tono. Apakah Tini memang mau menggantikan peran sang beha dengan plester ya?

“Ogaaah. Kan, aku nggak pakai beha kalau di rumah aja. Mama, papa, Mbok Siren, nggak pernah ada yang protes tuh. Lah, kok malah kamu yang sambat? Emangnya, hmmm… putingku keliatan, ya? Kan aku sudah pakai baju warna hitam begini. Kok ya, kamu masih bisa ngeliatin puting aku sih? Kamu aja kali yang ngeres otaknya,” ucap Tini sambil memperhatikan oblong hitam yang dipakainya. Memangnya beneran nyeplak? 

“Loh, kok malah nyalahain otak aku?” Tono kebingungan. 

“Lah, iya dong. Lagian kamu ngapain juga sih sampai ngeliatin bagian dadaku? Kan jadinya kamu berimajinasi di mana lokasi kedua putingku, yang pada akhirnya merasa putingku kelihatan karena imajinasimu yang semakin kuat dan seolah terlihat nyata. Gitu, kan?” Celotehan Tini kali ini benar-benar membuat Tono ngakak.

“Hahaha… kayaknya kamu lagi mabok micin, ya? Itu putingmu emang nyeplak, Sayaaang. Mana mungkin aku nggak lihat? Kamu memang pakai baju hitam. Tapi baju hitammu ini warnanya udah pudar gini. Udah usang. Mana bahannya tipis bener. Ya wajar saja kalau toket-mu jadi ikutan eksis. Itulah gunanya beha diciptakan. Untuk menutupi bagian yang seharusnya ditutupi. Begitu.” Tono memberikan petuah, berlagak sok bijak di hadapan Tini. 

Tini manggut-manggut, berlagak sok manut. Padahal ia sedang berpikir, amunisi apa yang bisa dimuntahkan ke kekasihnya saat ini. Aha! Aku tahu. 

“Kamu tahu nggak, Ton. Dokter Fafifu dari Rumah Sakit Babibu pernah bilang kalau pemakaian beha itu bisa menghambat aliran darah dan oksigen. Jadi, apa kamu akan membiarkanku kekurangan oksigen, demi puting yang tertutup?” Sepertinya, tembakan Tini ini sukses membuat kening Tono berkerut. 

“Yaaah, kan bisa dicari beha yang nggak bikin sesak napas. Nggak usah pakai yang ada busa-busanya atau kawat-kawatan gitu laaah. Yang biasa-biasa saja. Kan ada tuh beha yang buat olah raga, namanya sport bra kalau nggak salah. Atau, pakai miniset aja. Yang penting kan ketutup, nggak berbayang gitu,” ucap Tono bangga karena merasa bisa jadi problem solver perkara per-beha-an ini.

“Hah? Pakai miniset? Emangnya aku anak SMP yang baru mens apa? Ogaaah! Lagian, kok kamu tahu-tahunya sih jenis beha yang pakai busa, beha pakai kawat lah, sampai sport bra segala. Tahu dari mana? Kamu suka nonton bokep, ya? Hayo ngaku!” Penuh selidik Tini menyerca kekasihnya.

“Duh, kamu ini, ya. Main nuduh aja. Kamu lupa, ya, kalau adikku enam biji, eh, enam orang cewek semua? Perkara jenis beha doang mah, aku khatam. Lah, yang jadi tukang cuci baju orang serumah kan aku. Biasanya mereka suka jejeritan kalau beha kawatnya aku cemplungin ke mesin cuci. Lagian beli beha yang ada kawatnya. Udah nggak bisa dicuci pakai mesin, terus apa nggak takut ketusuk-tusuk? Aneh banget, deh. Sumpah!” Tono menumpahkan keheranannya.

Tini ngakak. Tiba-tiba ia membayangkan kekasihnya itu kebingungan di depan mesin cuci sambil membentangkan beha berkawat milik salah satu adiknya. “Makanya… mending aku kan, nggak pakai beha. Aman. Nggak ketusuk-tusuk kawat,” ujar Tini kembali mencari pembenaran diri.

“Tapi kan kamu sekarang ini hidup di negara yang masih menjunjung tinggi adab dan nilai-nilai kesopanan. Kalau kamu nggak pakai beha, bisa-bisa kamu dianggap kurang sopan, atau malah dikonotasikan yang enggak-enggak.” Tono berharap, penjelasannya kali ini bisa diterima Tini. Kalau lagi nggak kebanyakan micin seperti sekarang ini, biasanya sih dia bisa terima. 

Tini terdiam. Yes, mikir juga nih anak. Tono sudah bersiap-siap nyengir lebar ketika Tini tiba-tiba berkata,”Kalau gitu, aku punya cita-cita suatu saat nanti aku mau tinggal di Amerika aja.”

“Loh, kenapa?” tanya Tono, nggak jadi girang.

“Dari yang kulihat di film-film itu, mereka sepertinya nggak terlalu ngurusin gimana penampilan orang. Mau pakai baju sobek-sobek kek, pakai baju keliatan udel kek, orang nggak akan peduli. Sepertinya aku bisa bebas kemana-mana nggak pakai beha. Hahaha….” Tini tertawa sampai hampir terjungkal dari kursi rotan yang sedang didudukinya.

Dengan sigap Tono bangkit. Tini mengira, Tono akan menangkap dirinya supaya tidak jatuh, atau paling nggak, menahan pantat Tini supaya nggak gelosor. Siapa tau, kalau kulit sudah saling senggolan begitu, next-nya bakalan ciuman. Aseeek!

Tapi sepertinya Tini-nya aja yang ge-er. Karena Tono ternyata nggak punya pikiran ngeres yang sama dengan Tini saat itu. Tono bangkit, kemudian merogoh saku belakang celana jins-nya sendiri, dan mengambil dompet hitam. Dikeluarkannya selembar uang berwarna ungu, dan diberikannya pada Tini.

“Daripada jauh-jauh ke Amerika, nih aku kasih kamu uang sepuluh ribu. Beli plester aja sana,” ucap Tono.

Kali ini, Tini benar-benar terjengkang dari kursi reyot itu akibat tawanya yang membahana. Bhahaha….

***

Dessy Liestiyani, wiraswasta, tinggal di Bukittinggi.

[red/TC]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *