Balok di Dada Ibu

“Balok itu datang ke dadaku karena melihat Ibu bicara sendiri. Lalu, balok di dada Ibu, dari mana datangnya?”

Mata Ibu berair dan memerah. Di bawahnya ada kantung, penyimpanan air sebelum keluar. Ketika bangun tidur, aku melihat kantung itu mengendur dan bengkak. Kalau ditusuk, mungkin airnya akan muncrat.

Aku belum melakukan apa-apa. Namun, air itu sudah keluar. Mungkin kantung mata Ibu tidak mampu menampung. Lalu terjadilah kebanjiran. 

Aku menyeka air itu dengan ujung rok yang kukenakan, tapi ibu menghentikan. Mungkin rok tidak cocok untuk mengelap air yang keluar dari mata. Lalu, kusodorkan tisu. Namun, Ibu menolak dan mengatakan, “Tidak apa-apa.” Ibu tersenyum, tapi tidak seindah dulu.

Ibu memelukku erat. Air itu makin deras mengalir seperti air yang keluar dari mataku saat menangis. Apa Ibu menangis? Kurasa tidak karena tidak ada suara merengek atau meraung. 

“Mata, Ibu, kenapa?”

“Kemasukan debu ketika membersihkan langit-langit rumah kita,” jawab Ibu sambil menunjuk ke atas.

Langit-langit rumah tidak setiap hari dibersihkan, tapi mata Ibu masih saja berair.

***

Pada suatu malam, aku terbangun. Tidak kutemukan Ibu di samping. Jarum pendek jam dinding masih ada di angka dua, itu artinya belum waktunya Ibu memasak atau pergi bekerja. 

Aku belum sekolah, tapi sudah mengenal angka satu sampai angka duabelas. Ibuku yang mengenalkan. Ibu berjanji akan mengenalkan sampai angka seratus, tapi semenjak Ayah sakit, Ibu melupakan janjinya. 

Sekarang Ayah sudah sembuh. Ibu bukannya lebih tenang, justru makin sibuk dan semuanya berubah. Aku sering ditinggal dan tidak ada lagi dongeng sebelum tidur. 

Kulihat jam di pergelangan tangan Ibu juga sudah longgar. Padahal jam itu bukan diganti dengan yang lain. Apa mungkin jamnya yang bertambah besar? 

Aku beranjak ke kamar sebelah, mencari Ibu. Tidak ada. Aku merasa takut. Takut jika Ibu pergi mencari Ayah baru. Tetangga sering mengatakan itu.

Ternyata Ibu ada di ruang keluarga. Rasa takut berganti menjadi sedih kala melihat Ibu berbicara sendiri sambil memegangi foto Ayah. “Sudah sembuh penyakitmu sekarang, Yah?” Hanya itu yang kudengar.

Kata-kata yang persis sama dengan kata-kata Ibu ketika Ayah tertidur di tengah rumah kami bulan yang lalu. Ayah tidur sangat tenang, berbeda dengan malam sebelumnya –di mana Ayah meringis-ringis karena kesakitan. 

Kutanyakan, “Kenapa Ayah tidak bangun-bangun?”

Ibu menjawab, “Ayah perlu tidur yang tenang agar tidak mabuk sebab perjalanannya jauh. Sangat jauh. Menembus langit ketujuh. Sampai ketemu satu tempat yang sangat indah bernama sorga.”

Melihat Ibu bicara sendiri, aku teringat orang gila yang sering lewat dari depan rumah dan diolok-olok anak-anak. Sekarang, air dari mataku mengalir padahal tidak ada suara yang keluar dari mulut. Namun, di dadaku seperti ada balok kayu yang mengganjal.

Berarti di dada ibu juga ada balok maka air sering keluar dari mata Ibu tanpa suara. Balok penyumbat suara, tapi pemancing air dari mata. Balok itu datang ke dadaku karena melihat Ibu bicara sendiri. Lalu, balok di dada Ibu, dari mana datangnya?

***

Keesokan harinya, ketika Ibu bekerja, kubuang semua foto-foto Ayah. Aku menduga foto-foto itulah yang menghadirkan balok di dada Ibu.

Ada satu foto yang sulit kujangkau karena dipajang di dinding. Jaraknya lebih dekat dengan langit-langit –yang ditunjuk Ibu tempo hari– ketimbang dengan lantai. 

Aku menyeret kursi plastik. Naik dan menjinjit untuk menggapai. Belum berhasil. 

Aku butuh benda yang lebih tinggi. Aha! Meja makan. Aku mencoba mengangkatnya, tapi terasa begitu berat. Usaha untuk mendorong juga tidak berhasil, hanya bergeser sedikit saja.

Bajuku basah. Bukan karena air dari mata, tapi dari seluruh tubuh. Tidak apa asalkan aku bisa menyingkirkan balok dari dada Ibu.

Aku menumpuk dua kursi plastik dan dua bantal di atasnya. Belum cukup tinggi juga. 

Aku menyesal karena tidak kuat makan agar cepat tumbuh tinggi seperti yang sering Ibu katakan. 

Tetiba aku melihat sapu. Ya, sapu yang tangkainya lebih tinggi dari badanku. Aku mengambil benda itu. Lalu, naik ke kursi dan kedua tangan memegang sapu untuk menjolok foto Ayah. 

Di foto itu, Ayah tertawa. Tawanya seolah nyata, mengejek jolokan pertama yang gagal. Aku geram. Saking geramnya, kuayunkan sapu dengan sekuat tenaga. Bukan foto yang jatuh, tapi kursi, bantal, sapu dan tidak ketinggalan badanku juga terpental di lantai. Lalu, semuanya gelap.

***

Setelah bangun, sudah berada di rumah sakit. Aku mengetahuinya karena di punggung tangan kiriku ada jarum. Jarum yang dihubungkan pipa kecil dengan kantong air yang tergantung di tonggak besi. Persis sama dengan sinetron yang pernah aku tonton.

Aku meraih ponsel yang ada di samping tempat tidur. Hendak melihat waktu karena di ponsel Ibu, bisa melihat jam walaupun tidak ada jarum yang berputar seperti jarum jam dinding di rumah kami.

Selain melihat jam, di ponsel Ibu, bisa juga berkaca seperti yang kulakukan sekarang. Ternyata kepalaku dibalut dengan perban, sebagian perban tersebut berwarna kecokelatan sama dengan perban di kepala Ayah dulu, ketika sakit karena kecelakaan.

“Cepat sembuh, ya, Sayang,” kata Ibu.

Kata-kata yang juga diucapkan Ibu ketika Ayah sakit. Namun, semenjak Ayah sembuh semenjak itu pula mata Ibu menjadi merah. Berarti kesembuhan Ayahlah penyebab ada balok di dada Ibu. 

Aku tidak mau sembuh karena tidak ingin menambah balok di dada Ibu.

“Tidak, Bu. Aku tidak mau sembuh!” teriakku. 

Ibu tidak menjawab, tapi ada air keluar dari matanya.

Ibu segera menekan tombol merah di dinding. Tak lama kemudian seseorang berbaju putih datang dan memeriksaku. Sebenarnya, ada tulisan di bajunya, tapi aku belum bisa membaca.

“Sabar, ya, Bu. Anak ibu pasti sembuh,” kata orang itu.

Ibu memelukku erat. Air itu makin deras seperti air yang keluar dari mataku saat menangis. Apa Ibu menangis? Kurasa tidak karena tidak ada suara merengek atau meraung.

Riris Ronni Lumbantoruan. Seorang pengajar yang senang membaca dan menulis.

[red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *