Anakmu Bukan Anakmu

“Wajah bayi itu jelas terlalu mungil untuk bisa menampung semua kelebihan ukuran dari wajahmu.”

Aku kasihan padamu. Sudah berguru pada terlalu banyak guru, namun tak satu pun bisa membantu mengikis kebodohanmu. 

Sejak dilahirkan, kau memang tak pernah pintar. Sekarang pun kau masih saja menjadi manusia bodoh yang mau saja dibodoh-bodohi oleh istrimu dan keluarga istrimu yang mirip rombongan sirkus itu.

Adik iparmu seperti gajah yang berjalan lambat-lambat mengelilingi arena seakan tak memahami di mana dia tengah berada. Dia hanya senang mendengar orang lain tertawa tanpa mengetahui bahwa dirinyalah yang tengah mereka tertawakan.

Mertuamu seperti singa betina tak bersurai namun suka mengibas-ngibaskan kepala seakan tak ada makhluk lain yang lebih berkuasa darinya. Apakah dia tak tahu bahwa masanya sudah lama berlalu?

Istrimu? Perempuan itu jelas seperti badut yang tak henti-hentinya tertawa tanpa tahu apa yang tengah ditertawakannya. Namun aku menyukainya. Dia tak pernah terlihat sedih meskipun hidupnya bersamamu pasti teramat menyedihkan. Dia adalah perempuan yang cantik dengan kulitnya yang mulus berwarna cerah serta bibirnya yang merah merekah. Namun, dia memiliki suami sepertimu yang serupa keledai. Miris sekali, bukan?

Perempuan itu baru saja melahirkan anak yang sama cantiknya dengan dirinya. Tak ada sedikit pun terjejak dirimu di wajah bayi itu. Syukurlah.

Aku sendiri kesulitan membayangkan bila anak itu terlahir dengan lubang hidung melebar, dahi lebar, telinga lebar dan mulut lebar sepertimu. Wajah bayi itu jelas terlalu mungil untuk bisa menampung semua kelebihan ukuran dari wajahmu.

Tapi aku menyukaimu. Kau adalah lelaki dungu yang baik hati. Bukan hanya kepadaku, namun kepada semua orang di dekatmu. Ketika aku datang ke rumahmu, kau membelikan aku jajanan yang rasanya lumayan. Katamu, kau membelinya di pasar yang lumayan jauh jaraknya dari rumahmu dengan harga yang lumayan murah.

Pantas saja, kau pergi cukup lama waktu itu, dan membiarkan aku menunggu di rumahmu yang luas dan sepi hanya berdua saja dengan istrimu yang cantik itu.

Istrimu sangat menyenangkan, sama sepertimu. Dia tak berhenti menawariku berbagai hal yang ada di rumahmu hanya untuk membuatku nyaman. Terkadang dari mulutnya terselip basa-basi, “Anggap saja rumah sendiri ….”

Aku pun membuka lemari, mengambil botol susu bercampur madu dan mengisapnya seperti di rumah sendiri. Aku juga membaringkan diri di tempat tidurmu yang empuk dengan nyaman seakan berbaring di kamarku sendiri. Aku suka rebahan. Aku bahkan sempat terlelap sebentar ketika menunggumu kembali dari pasar membeli jajanan.

Kau tak pernah membiarkan aku lapar. Tiap kali mulutku kosong, kau segera menyodorkan sesuatu untuk dikunyah. Ketika jajanan yang kau beli habis, kau pun menyodorkan lenganmu.

Aku masih setengah mengantuk dan lenganmu nampak empuk. Aku sempat tergoda merebahkan kepala. Tapi tidak, aku lebih memilih bersandar di lengan istrimu yang kenyal dan ringan. Istrimu mengusap rambutku hingga aku kembali terlelap. Kemudian kau membopongku kembali ke rumah pembantu dan menyerahkanku yang tengah terlelap pada ibuku.

Sejak hari itu, ibuku melarangku tidur siang lagi di rumahmu. Ada kode etik yang dianutnya bahwa seorang pembantu tak semestinya merepotkan majikannya. Aku pun sudah semakin besar. Badanku telah tumbuh dengan pesat, bahkan melesat melebihi usiaku. Ini jelas salahmu, karena selalu memberiku jajanan.

Ibuku cemas melihat pertumbuhanku yang terlalu cepat. Hanya istrimu yang tampak senang melihat tubuhku yang tinggi menjulang, melebihi tinggi badanmu. Namun istrimu memang perempuan periang. Tak ada apapun di dunia ini yang bisa membuatnya sedih. 

Istrimu mungkin terlupa bahwa aku bukan lagi bocah kemarin sore yang sering ketiduran di kamarnya. Terkadang, bila kau sedang tak di rumah, istrimu memintaku tinggal, menemani tidur siangnya. Tampaknya dia menyukai bentuk tubuhku yang baru, sehingga tak henti-hentinya menyuruhku membuka baju. 

Aku tak keberatan, tentu saja. Sudah kukatakan istrimu cantik. Aku menyukainya sejak aku masih kanak-kanak, ketika referensiku tentang perempuan cantik hanya terbatas pada sosok ibuku, pembantu di rumahmu, yang tak mengenal gincu, serta teman-teman sekolahku yang suka cekikikan itu.

Dibandingkan mereka semua, istrimu seperti seorang dewi. Rambutnya yang panjang bergelombang selalu menghamburkan aroma wangi tiap kali ia menyibakkan rambutnya dengan sengaja. Aku sering diam-diam menyisipkan tanganku di antara helai rambutnya yang halus itu dan mencium tanganku sendiri yang tiba-tiba beraroma melati. Tentu saja aku selalu ketahuan olehnya, namun tak sekali pun dia menepis tanganku.

Masa kecilku telah kembali serupa dejavu, ketika aku menyadari kehadiranku yang semakin kerap di rumahmu. Kau sendiri yang mengatakan bahwa aku sudah seperti anakmu sendiri. Kau menyuruhku lebih sering datang untuk menemani istrimu yang sudah semestinya kuanggap sebagai ibuku sendiri. Itu satu-satunya analogimu yang tak pernah berhasil kusepakati.

Belakangan ini, kau menjadi lebih sering pergi dan semakin jarang kembali. Kau hanya tinggal sebentar ketika langit mulai memerah dan bergegas pergi ketika senja telah sempurna menanggalkan jejaknya. 

Dari bisik-bisik ibuku dan para pembantu, katanya diam-diam kau sudah berpisah dari istrimu. Kau menginginkan buah hati, tapi istrimu tak menghendaki. Istrimu memang luar biasa. Caranya berpikir tak pernah biasa. Tak seperti perempuan lain yang menyukai banyak urusan dan gemar mengurusi urusan-urusan yang bukan urusannya. Istrimu justru tak ingin memperumit hidupnya dengan urusan manusia lain. Bahkan ketika manusia lain yang dimaksudkannya itu terlahir dari dirinya sendiri.

Ibuku dan para pembantu itu pasti salah memprediksi penyebab perpisahan istrimu dengan dirimu, ketika kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri tubuh istrimu yang mungil itu mulai membesar. Istrimu menjadi panik luar biasa. Sudah kukatakan bukan bahwa dia tak ingin menambah kerumitan baru kepada kehidupan yang sudah teramat rumit itu?

Kau yang telah pergi diam-diam selama sembilan bulan, kembali lagi ke rumahmu. Rupanya kau tak ingin istrimu menjadi gelisah dan terbelit pikiran kusutnya yang tak pernah sempurna terurai.

Kau mengajari istrimu lebih banyak bersyukur ketika memelihara kehidupan yang tumbuh dalam dirinya. Kali ini istrimu menurut, padahal dia adalah perempuan yang paling suka berbantah denganmu.

Ketika istrimu melahirkan, kau menjaganya siang dan malam. Bayi yang dilahirkan istrimu itu, seperti kataku sebelumnya, sangat cantik. Sedikit pun tak terjejak dirimu di wajahnya. Hidung bayi itu panjang seperti hidungku, bukan lebar seperti hidungmu. Matanya pun sipit sepertiku, bukan mata yang selalu membelalak sepertimu. 

Kulit bayi itu juga eksotik, berwarna kecokelatan. Sungguh berbeda dengan kulitmu yang putih dan juga tak serupa dengan kulit istrimu yang berwarna terang. 

Perlahan aku menundukkan kepala, memandangi kakiku yang telanjang kecoklatan.

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman, pernah bercita-cita menjadi guru.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *