Site icon ghibahin.id

Anak Toilet

“Aku hanya bisa berlindung di toilet, menenangkan diri dengan pandangan buram karena air tak hentinya mengalir dari mataku dengan hidung berlendir.”

Mereka kerap memanggilku anak toilet dengan kesan merendahkan. Kendati demikian, toh, aku pun tak peduli selama hal-hal yang aku anggap penting tak mereka usik.

***

Mula-mula aku tertarik dengan toilet di kamarku; lembab, basah, dan tenang. Tempat itu dapat membuatku merasa seolah berada di tengah hutan dikelilingi pohon pinus sesaat sebelum fajar menyingsing. Persis seperti yang pernah aku alami di dalam mimpi yang tampak sangat nyata di hadapanku.

Ketika muak dengan pertengkaran orang tuaku, aku akan mengurung diri di toilet kamarku. Aku akan duduk di atas kloset dan menunggu beberapa waktu hingga mereka usai, sembari mendengar tetesan air dari mulut keran dan memikirkan hal-hal yang mengusik hatiku.

Biasanya, aku akan keluar setelah ibuku menyeretku dari sana dan mengomeliku dengan alasan entah apa. Kurasa ia melampiaskan seluruh kemarahan yang ada dalam dadanya padaku. Namun, sebentar kemudian ketika ia usai dengan omelannya, aku akan kembali ke dalam toilet, ke dalam dunia kecilku.

Kadang saat menikmati kesendirian di toilet, entah mengapa tiba-tiba air mulai mendesak keluar dari mataku, lalu hidungku pun penuh lendir. Aku selalu berharap jika semua hanyalah bagian dari mimpi buruk yang akan segera sirna setelah aku bangun. Tapi pada kenyataannya, tidak demikian.

Aku rutin membersihkan toilet, tempat pelarianku itu. Sekali dalam sehari, aku menyikat lantai dengan cairan pembersih beraroma segar. Aku menyikat tanpa melewatkan noda sedikit pun. Aku juga menguras airnya jika dasarnya mulai tampak keruh. Semakin bersih toilet, semakin nyaman aku di tempat itu. 

Kebiasaan membersihkan toilet lantas mempengaruhi pandanganku, jika setiap toilet harusnya bersih agar orang-orang merasa nyaman saat berada di sana. Kebiasaan itu pula yang terbawa hingga ke SMP tempatku menempuh pendidikan. Aku rutin membersihkan toilet di sana, sehingga saat kelas rampung aku menghabiskan sedikit banyak waktuku di toilet. 

Toilet di sekolahku jelas jauh beda dengan toilet di kamarku. Toilet di sekolah, luasnya lebih kecil. Lalu pada lantainya terdapat noda di sana-sini. Ventilasinya pun berukuran sebesar kotak pensil, membuat cahaya matahari yang masuk terbatas sehingga cukup sulit mengukur tingkat kejernihan air di bak. Namun, setelah aku berpayah-payah membersihkan tempat itu, kini aku cukup merasa nyaman di sana.

Pak Haerul Hamid yang merupakan cleaning service di sekolah itu juga merasa terbantu dengan tindakanku. Satu dua orang guru bahkan menjadikanku contoh yang patut diteladani dalam hal kebersihan. Namun, tak sedikit juga teman sekolahku yang menganggap jika tindakanku hanyalah upaya menarik simpati dan pujian. Salah satunya, teman sekelasku yang merupakan anak guru di sekolah itu.

Mereka yang tak sepakat dengan tindakanku lantas memberi gelar anak toilet dan bertingkah jail kepadaku. Mereka juga mengotori toilet. Mereka dengan sengaja menginjak lantai yang sudah bersih, menggunakan sepatu penuh lumpur. Mereka mencoret-coret tembok toilet. Mereka juga buang air kecil tanpa membilas sehingga menimbulkan bau pesing menyengat.

Kali waktu amarahku keluar. Seperti air bocor dari lubang kecil di kantong yang terus menerus diisi air. Tak sanggup menampung kesabaran lagi. Situasi itu lantas memicu perkelahian di antara kami. Kami saling mengadu bogem dan dua tiga orang maju mengeroyokku. Perkelahian tak imbang berlangsung. 

Kendati demikian, masing-masing berakhir dengan muka babak belur. Beberapa teman sekelasku tampak kasihan melihatku. Mereka menanyai kondisiku dengan air muka prihatin. 

Pihak sekolah memanggil orang tuaku karena aku dianggap memulai perkelahian. Sepulang dari sekolah, ibu kembali mengomeliku dengan suara meledak-ledak dan meninggalkan lebam-lebam di wajahku. 

“Dasar anak tolol! Ngerepotin orang tua!” pekik ibuku dengan mata melotot dan suara menyalak.

Tak ada seorang pun yang peduli denganku, seolah aku memang layak mendapatkan semua itu. Ayahku hanya menyaksikan itu dengan pandangan tidak acuh. Tidak ada niat ayah untuk membelaku. 

Ayah ibuku berubah setahun belakangan ini. Padahal dulu mereka selalu memperhatikanku, hadir setiap saat, senantiasa menyemangati, dan mendukung segala keputusan-keputusan positif yang kuambil. 

Namun belakangan ini, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga mereka jarang berada di rumah. Daeng Ngai, yang bekerja paruh waktu di rumahku mengurusi segala perkara domestik; membersihkan rumah, mencuci baju-bajuku, atau menyiapkan makanan. Hanya beberapa jam setiap hari, sebelum ia pulang ke rumahnya lagi untuk menuntaskan urusan domestik keluarganya.

Sedangkan saat orang tuaku punya waktu di rumah, mereka layaknya anjing dan kucing. Tak pernah akur. Mereka saling memekik dengan kalimat-kalimat kasar. Yang satu menuduh yang lain memiliki hubungan gelap di luar sana, begitu pula sebaliknya. Itu yang aku tahu saat mencuri dengar dari balik pintu toilet yang kubiarkan sedikit terbuka. 

Tidak jarang sehabis pertengkaran orang tuaku, aku lantas jadi sasaran kemarahan ibuku. Aku seperti samsak tinju untuk melampiaskan kekesalannya. 

Aku hanya bisa berlindung di toilet, menenangkan diri dengan pandangan buram karena air tak hentinya mengalir dari mataku dengan hidung berlendir. Aku muak, berharap meninggalkan dunia ini sesegera mungkin. Toh tak ada yang peduli kepadaku. Tak akan ada yang meneteskan air mata atau meraung sedih saat aku lenyap dunia ini. 

***

Sudah hampir sehari aku duduk di atas kloset toilet kamarku. Aku sudah mengunci pintu kamar dengan rapat, begitu juga dengan pintu toilet. Aku yakin perlu usaha besar untuk sampai ke dalam sini. 

Aku sudah membersihkan toilet ini dengan sangat teliti; menggosok lantai dengan cairan pembersih, mengganti air di bak yang sudah keruh, dan menata beberapa peralatan mandi yang ada di situ dengan rapi. Sehingga bisa kukatakan, inilah kondisi paling sempurna yang bisa kuusahakan. 

Sambil menikmati suasana toilet yang basah, lembab, dan tenang, aku mengamat-ngamati tubuhku yang lain. Tubuh itu berada persis di belakang pintu toilet dengan mulut berbusa dan tampak kaku. Di sisi kanannya tergeletak cairan pembersih lantai dengan tutup terbuka. Yah, tidak salah, itu adalah tubuhku yang konkret. Aku telah melewati batas konkret itu untuk selamanya berada di dunia kecilku ini. 

Munawir Mandjo, Menyukai Musik dan Buku.

[red/brsm]

Exit mobile version