Aku, Vetsin, dan Nasi Goreng (Bagian 2)

Cerpen

“Aku seperti melihat sang vetsin terbahak menertawakanku. Ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, tubuh kristalnya seakan saling bertumbukkan, berguncang hebat.”

Baca bagian 1

Sampai pada masa di mana aku berada dalam kondisi merantau, nun jauh di ujung barat pulau Sumatera untuk mendapatkan gelar pendidikan yang diharapkan orang tuaku. Ketika jenis makanan yang kutemukan di perantauan ini rata-rata bersantan kental, atau didominasi rasa pedas, aku pun memutuskan untuk mencoba membuat sendiri makanan rumahan ala kampung halamanku, masakan Jawa.

Aku mulai coba-coba memasak sayur bening bayam, bacem tahu-tempe, dan tentu saja, nasi goreng. Awalnya, tentu saja rasa masakanku awut-awutan. Seperti kurang bumbu yang entah apa, aku juga tidak tahu. Segala takaran bawang, garam, dan lainnya sudah kutambahkan. Tetap saja aku selalu merasa kurang pas tanpa kehadiran vetsin, sang penyedap rasa. Dia lah yang menjadi penyelamat masakanku sampai saat ini.

Bahkan saat itu aku pernah sampai kewalahan menerima banyaknya pesanan dari teman-teman yang pernah mencicipi nasi goreng buatanku. Katanya, nasi gorengku enak. Dan mereka berkenan membayar demi menikmati sepiring nasi goreng buatanku. Memasak, yang awalnya merupakan aktivitas yang tak kulirik, saat itu justru menjadi penghasilan tambahan buatku.

Tapi ketika istriku yang memintaku memasak nasi goreng seperti sekarang ini, jelas aku merasa bersalah jika menambahkan vetsin ke masakanku. Ke-antipatian-nya pada ‘pahlawan’ ku ini sudah membentuk sugesti yang negatif. Kalau suatu saat kami terpaksa makan di restoran, atau sedang menghadiri undangan, ia selalu mengeluhkan cepat haus, atau tenggorokkannya yang tiba-tiba terasa gatal. 

Dan tertuduhnya sudah jelas, kandungan vetsin di makanan yang baru saja dikonsumsinya. Padahal, kan kami juga tidak akan tahu apakah hidangan tersebut benar mengandung vetsin atau tidak. Atau bisa saja tenggorokkannya gatal karena minyak pada masakan, atau faktor lainnya. 

“Nasi gorengnya sudah selesai atau belum sih? Aku kelaparan ini! Lama sekali!” Teriakan istriku mengagetkanku. Dari jendela dapur aku bisa melihatnya berkacak pinggang di halaman belakang kami. Mukanya masam. Tangannya kasar menyentak handuk biru yang terjatuh tertiup angin.

Aku seketika panik, membayangkan bila istriku tiba-tiba menyambangiku ke dapur ini. Bagaimana bila istriku melihat bungkusan vetsin yang terselip di antara botol-botol itu? Ya Allah!

“Sudah cepat selesaikan aku. Kau belum melakukan apa-apa padaku, kecuali menghempasku bersama bumbu-bumbu bau nan kasar, dalam kubangan minyak panas ini.”

Hah, ada apa ini? Nasi dalam wajan pun ikut-ikutan menyerbu benakku, menuntut penuntasan?

“Badanku masih putih. Aromaku tak karuan. Penampilanku berantakan. Lakukan tugasmu! Selesaikan aku! Harumi aku, buat aku menjadi pusat perhatian. Cepatlah!”

Aku seperti melihat sang vetsin terbahak menertawakanku. Ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, tubuh kristalnya seakan saling bertumbukkan, berguncang hebat.

“Kau! Suami yang selalu saja takut dengan istrimu. Suami yang selalu saja menuruti perkataan istrimu, melakukan apa saja keinginan istrimu, walaupun itu bertentangan dengan hati nuranimu. Kau! Suami yang bahkan memutuskan untuk pakai vetsin atau tidak saja, kau tak bisa!”

“Bukankah kau sendiri selalu merasa bahwa berita-berita buruk tentang vetsin, pahlawanmu itu, adalah propaganda dunia barat yang takut masakan mereka kalah bersaing dengan masakan Cina? Bukankah itu yang selalu kau jadikan tameng untuk membungkam para anti-vetsin?”

“Kalau kau merasa vetsin menjadi penyelamat masakanmu, ya pakai saja. Tapi kalau kau merasa tak bisa menghadapi kemarahan istrimu karena tahu kau menggunakan vetsin, ya sudah, tak usah dipakai. Jangan menunda-nunda menggarapku hanya karena kau tak pernah berani menunjukkan apa maumu di hadapan istrimu!”

Aku merasa, nasi goreng setengah jadi itu terus saja mencercaku. Mengata-ngataiku. Sementara tawa sang vetsin terasa membahana menguasai isi kepalaku. Tiba-tiba aku merasa lemas. Limbung. Aku muak. Aku tertekan. Batinku tak siap menerima hujatan ini terus-menerus.

Ketika aku merasakan ada gelombang besar dalam diriku yang hampir memecahkan kepalaku, kusingkirkan botol-botol yang menghalangi pandanganku. Kuambil bungkusan putih itu, dan mulai menuangkannya ke dalam wajan. Tidak sedikit. Tapi banyak. Banyak sekali. Jauh melebihi takaranku yang biasanya.

Ha-ha! Kubungkam kau sekarang, nasi goreng jahanam! Kau ingin jadi pusat perhatian? Kau ingin dipuja-puja orang yang menyantapmu? Kau ingin orang memintamu lagi, dan lagi? Sadarlah! Bukan kau yang diminta para penyantapmu. Tapi vetsin! Dan dengan kandungan vetsin sebanyak ini, aku yakin, penyantapmu tidak akan memujamu. Bisa saja mereka malah mual, atau merasakan tenggorokkannya kering setelah menyantapmu. Dan pada akhirnya, mereka akan membuangmu! Rasakan!

Kuselesaikan masakanku dengan cepat. Kuambil mangkuk, kutuang nasi goreng padat-padat ke dalamnya. Kuletakkan piring melamin biru di atasnya. Sigap, kubalik posisinya. Kuangkat mangkuk perlahan, dan aku tersenyum puas melihat nasi goreng yang tercetak indah. Tak lupa, kusempurnakan penampilannya dengan telur mata sapi, irisan timun, dan tomat.

Kuhantarkan hidangan itu ke satu-satunya meja kayu yang kami punya. Istriku sudah menantiku di sana. Aku tak peduli dengan wajahnya yang masih saja tertekuk. Konsentrasiku terpusat pada piring nasi goreng ber-vetsin melimpah di tanganku ini. Apa yang akan terjadi?

Kuperhatikan istriku saat ia menyuapkan nasi goreng itu. Sendok pertama. Dahinya sedikit berkerut selama kunyahannya. Sendok kedua. Sendok ketiga. Aku seperti mendengar nafasnya tercekat, dan matanya mulai membesar. Istriku meraih gelas di sampingnya. Tergesa, diteguknya air putih hangat itu sampai habis setengahnya. 

Reaksi selanjutnya tepat seperti yang kubayangkan sebelumnya. “Kau! Kau ingin membunuhku? Berapa banyak kau taruh vetsin di makanan ini, heh!” Matanya melotot ke arahku. 

Sedetik kemudian, dilemparnya piring melamin biru itu ke arahku. Aku berdiri, mengelak. Prang! Piring itu menghantam dinding dibelakangku. Butiran-butiran nasi goreng menghujani meja kayu kami, kursi kami. Noda coklat kemerahannya mengotori dinding rumah kami, lantai rumah kami.

Dan aku hanya menyeringai. Sampai akhirnya aku tertawa. Tawa yang lama kurindukan kehadirannya. Tawa yang mampu membebaskan tekanan batinku beberapa bulan terakhir ini. Ya Tuhan, aku tertawa bahagia! Dan tawaku pun semakin keras ketika kulihat istriku berlari menuju kamar mandi dan berusaha memuntahkan isi perutnya.

Tapi tentu saja, semua itu hanya imajinasiku belaka. Karena kenyataannya saat ini adalah istriku menyantap nasi goreng dengan rakusnya. Nasi goreng tanpa vetsin yang dilahapnya tanpa jeda, tanpa peduli kehadiranku yang menunduk di hadapannya. Seperti biasa.

Dessy Liestiyani, wiraswasta tinggal di Bukittinggi.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *