Aku, Vetsin, dan Nasi Goreng (Bagian 1)

ghibahin

“Aku memang selalu berkhayal bisa menantang istriku, menatap matanya, alih-alih menundukkan kepala seperti sekarang ini, seperti yang biasanya terjadi. Ah, imajinasi yang selalu menyenangkan batinku, walau hanya sesaat.”

“Jadi, kau mau melumatku atau tidak?”

Aku terdiam. Kuperhatikan tubuh putih langsing itu. Tubuh yang terlihat pasrah dalam balutan transparannya. Ah, kehadirannya selalu saja mengacaukan otakku. Di luar kontroversi yang membesarkan namanya, kuakui ia memang sangat menggoda. Lalu, apakah kali ini ia akan sukses memutuskan keraguanku, meruntuhkan idealismeku?

“Kamu tahu kan, banyak yang mencariku, menginginkanku. Aku, sudah seperti candu tidak hanya bagi hidup-matinya pekerjaan mereka, bisnis mereka, tapi juga hajat hidup mereka. Aku, yang membuat liur mereka menetes. Aku, yang menggairahkan hasrat mereka. Aku!”

Tak tahan dengan gugatannya yang sering meluruhkan batinku, aku memalingkan muka. Aku mulai berpikir untuk menyingkirkannya saja dari ranahku saat ini. Ya, membuangnya mungkin menjadi solusi yang baik.

Tanpa sadar, aku menyeringai. Aku membayangkan apa yang akan kulakukan padanya. Apa aku akan menginjak-injak tubuh mungilnya itu? Meremukkannya, membekapnya dengan plastik hitam, mengikatnya, dan membuangnya ke tempat sampah untuk diendus anjing-anjing liar?

Atau, mungkin aku akan menenggelamkannya saja. Menyeretnya ke dalam bak cuci piring berkerak ini, dan membiarkannya di bawah keran yang terbuka. Kau ingin lumat? Baik, kulumatkan kau dengan caraku. Mampus kau!

Tapi seperti biasa, ia seakan bisa membaca pikiranku. Ia terus saja menyerangku, memojokkanku.

“Kau tidak akan bisa menyingkirkanku dari hidupmu. Kalau kau tidak menggauliku di dapur kotor ini, kau akan menjumpaiku di mana saja. Aku ada di warung-warung kumuh. Aku ada di kafe-kafe cantik. Aku ada di hotel-hotel berbintang. Tidak hanya di sini, di dapur kotor ini. Dan kau tahu itu!”

Aaargh…tutup mulutmu! 

Ingin sekali aku membungkamnya, walau hati kecilku membenarkan semua perkataannya. Tiba-tiba rasa sakit menyergap kepalaku. Ah, ia terlalu kuat. Ia terlalu berkuasa.

Aku tahu itu! Aku tahu! Tapi apakah kau tahu, betapa beratnya bagiku meninggalkanmu? Kau telah hadir di sisiku, bahkan sejak aku belum bercinta. Kau telah menjadi bagian dari tubuhku, mengalir dalam darahku selama 37 tahun hidupku.

Mungkin karena itu aku tidak merasakan imbasmu. Tubuhku sudah kebas akan racun yang kata orang-orang, termasuk istriku dan keluarga besarnya, kau sebarkan.

Kau tahu kan, jauh sebelum aku menikah, keluargaku sudah merestuimu. Menerimamu dengan tangan terbuka, dalam setiap kesempatan.

Tapi tidak dengan perempuan yang akhirnya kunikahi. Tidak dengan keluarga besarnya. Mereka tidak seperti keluargaku yang mencandumu sejak lama. Dan saat ini, aku hidup bersama istriku. Bersama keluarga besarnya. Jadi jangan memaksaku untuk memilih antara kau atau istriku!

“Kalau memang aku berbahaya, mengapa aku tak pernah dibinasakan penguasa? Menurut kau, kenapa? Tidakkah kau sadar hal itu membuktikan betapa konyolnya teori-teori yang menyerangku selama ini?”

Kupejamkan mataku. Seperti ada yang memerintah, otakku mulai mengingat-ingat perkataan istriku beberapa waktu lalu, “Dia itu racun! Masa kau tak paham betapa bahayanya ia bagi dirimu? Bagaimanapun ia akan merusak otakmu, menyakiti organ-organ tubuhmu, sampai kau mati!”

Seperti biasa, aku tak mau mendebatnya. Aku sudah hafal kalimat per kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya, “Ia membuatmu lemas, membuatmu sakit kepala. Ia juga akan mematikan sel-sel hatimu, dan menaikkan tekanan darahmu. Atau mungkin, ia sudah mulai membuatmu lambat berpikir seperti sekarang ini?”

Aku ingat, betapa jengkelnya aku kala itu. Kukirimkan sinyal-sinyal kemarahan melalui kerutan di keningku, tatapan mataku, dan mengerasnya rahangku. Bahkan tanganku siap terayun ke wajahnya. Sayang, semua itu hanya khayalanku belaka. Aku memang selalu berkhayal bisa menantang istriku, menatap matanya, alih-alih menundukkan kepala seperti sekarang ini, seperti yang biasanya terjadi. Ah, imajinasi yang selalu menyenangkan batinku, walau hanya sesaat.

Notifikasi pesan yang berbunyi nyaring di telepon genggam, membuyarkan imajinasiku. Istriku, perempuan berdaster batik di hadapanku ini pun beringsut dari satu-satunya sofa di rumah sederhana kami. Sofa coklat warisan bapaknya, yang sudah mulai robek beberapa jahitannya.

Istriku meraih telepon genggam di hadapannya, membacanya sekilas. Dan sebelum beranjak ke dapur, ia berkata, “Aku tidak sembarangan bicara. Kalau kau tidak percaya padaku, baca saja berita-berita yang sering kuteruskan padamu. tentang pengaruh buruk vetsin, micin, atau MSG yang selalu kau bela-bela itu. Tuh, barusan aku kirim kembali padamu. Baca!”

Aku hanya bisa menghela napas. Nampaknya, ‘sabar’ sudah harus menjadi teman baikku sampai beberapa bulan ke depan, paling tidak sampai waktu persalinan istriku tiba.

Suara peluit teko listrik tiba-tiba menyentak lamunanku.

“Dan, istrimu berharap kau percaya dengan warta-warta yang beredar tentang diriku, yang entah dari mana sumbernya itu? Ha-ha…!”

Aku terkesiap. Ah, ia kembali membaca pikiranku. Bagaimana mungkin? Jangan-jangan, ucapan istriku benar bahwa otakku mulai dikuasai olehnya?

Kulirik sang vetsin yang terselip di antara botol-botol kecap dan saus sambal yang kusiapkan sebelumnya. Walau tersembunyi, namun kristal-kristal itu tampak menyilaukan, seakan berusaha keras menyadarkanku akan kehadirannya.

“Sudahlah, pakai sajalah aku kali ini. Kau toh sudah susah payah menyembunyikan keberadaanku di dapur ini. Pada akhirnya, kau malah ingin membuangku.”

“Ingat, istrimu sedang hamil muda. Anak pertama. Bagaimana kalau nasi goreng yang sedang diidamkannya ini terasa tidak enak tanpa kehadiranku? Apa kau mau dimarahi terus-menerus?”

Ah, aku harus menyetujui kalimat terakhirnya itu. Sejak awal kehamilan, aku memang melihat perubahan-perubahan yang menyertainya. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan fisiknya yang membesar. Tapi aku justru khawatir dengan perubahan perilakunya. Istriku menjadi sangat mudah marah, dan tidak bisa dibantah!

Seperti pagi ini. Aku lelah setengah mati karena lembur semalaman mengerjakan tugas kantorku. Belum cukup tidurku, ketika tiba-tiba saja istriku ingin makan nasi goreng buatanku. Membantahnya dan mengatakan bahwa aku masih mengantuk, sama saja dengan membiarkannya mengganggu tidurku dengan omelannya yang tak putus-putus. Daripada aku juga tak bisa memejamkan mata, dengan sangat terpaksa kuseret langkahku ke dapur. 

Setelah menikah tujuh tahun lalu, aku memang sesekali saja memasak. Berkutat di dapur ini sebenarnya hanya sebagai pelampiasan saja, balas dendam kalau aku sudah bosan dengan masakan ibu mertua, atau masakan istriku, yang menurutku kurang sedap. Tentu saja karena mereka tidak pakai vetsin. Itu yang selalu menjadi pembenaranku.

Tak heran jika buatku, vetsin adalah sahabat, teman hidup, bahkan pahlawan buat masakan-masakanku. Bukannya tanpa sebab. Memasak, aktivitas yang terkait erat dengan gender perempuan ini, jelas tidak menjadi pilihan hobiku sedari kecil. Sepertinya, aku cukup tahu diri bahwa kodratku adalah sebagai penikmat makanan, bukan pembuat makanan.

Bersambung….

Dessy Liestiyani, wiraswasta tinggal di Bukittinggi.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *