Aku Sudah Terlalu Lelah

Pria lelah

“Maaf, Dhira. Kita sudah bertengkar sepanjang malam. Itu sangat melelahkan. Tapi, aku harus menemuinya.”

“Terserah kalau kamu masih percaya pada cinta. Aku hanya minta kau ingat satu hal saja. Komitmen. Aku sudah terlalu lelah bertengkar denganmu!” Kalimat itu disusul dengan suara pintu ditutup dengan kasar. 

Aku terhenyak. Tak hanya bunyi pintu yang menggelegar itu. Tapi, lebih karena kata-kata yang diucapkan istriku itu.

Ponselku kembali berkedip. Rasanya ingin kuambil lalu kubanting benda itu. 

Telepon beruntun dari nomor itulah yang memicu pertengkaran dengan istriku. Kecemburuannya meletup. Caci makinya berhamburan. 

Kuusap wajahku yang rasanya makin berminyak di usia menjelang enam puluh tahun. Aku melirik sofa di sudut ruang kerjaku. Sudah pasti aku akan tidur di situ kali ini. 

Meja kerjaku berantakan. Buku berserak. Demikian juga catatan yang selama ini kukumpulkan untuk calon novelku. 

Kuambil ponsel. Rentetan telepon yang tidak kujawab itu semua berasal dari nomor Lein. 

Ah, gadis yang merindukan sosok ayahnya itu begitu manis. Tubuh yang mungil dan pembawaan yang ceria membuatnya tampak seperti gadis di usia dua puluh tahun. Meski sebenarnya umurnya justru menjelang empat puluh tahun. 

Aku pertama kali bertemu dengannya enam bulan lalu. Lein yang lucu dan penuh kejutan itu menghadiri peluncuran buku terbaruku. 

Dia rupanya tengah menyelesaikan disertasinya tentang sastra. Pengetahuannya luas membuat diskusi dengannya menjadi sangat menyenangkan. 

Dari peristiwa itulah kami saling mengenal dan semakin akrab. Aku menyukai semua pembicaraan dengannya. 

Semakin lama hal yang kami bicarakan tidak hanya sebatas kepenulisan saja, tetapi berbagai persoalan yang terjadi. Jika kemudian ada benih yang tumbuh, semakin besar, lalu menghasilkan bunga yang bermekaran, rasanya itu memang hal yang bisa diduga siapa saja. 

Setidaknya, komunikasi yang intens dengannya mulai memantik rasa cemburu istriku. Demikian juga banyaknya waktu minum kopi bersamanya yang makin sering kulakukan bersama Lein.

Aku menghela napas. Tatapanku mengarah pada pintu ruang kerja yang tadi ditutup Dhira, istriku, dengan sangat kasar. Perlahan kubuka pesan yang ada dan aku tercekat. 

“Halo?” Aku menyapa begitu sambungan teleponku diangkat seseorang di ujung sana. 

“Ini Pak Ari?” Suara itu tampak ragu dan lega dalam waktu yang sama.

“Ya, bagaimana Lein?”

“Lein ada di ICU. Kondisinya stabil. Pak, maaf. Saya tidak tahu siapa yang harus saya hubungi. Saya hanya tahu dia kerap menyebut nama Bapak. Dan ….”

“Tidak apa.” Aku harus berterima kasih pada siapa pun dia yang menghubungiku ini. 

Lekas aku menanyakan rumah sakit tempat Lein dirawat. Kuambil kunci mobil dan bergegas ke luar. 

“Kau mau pergi ke mana?”

Aku terdiam. Suara Dhira begitu dingin. Tanpa perlu menoleh, aku tahu istriku itu baru saja menyelesaikan tangis. 

“Aku harus pergi, Dhira.”

“Menemui gadis itu? Jadi, kau memutuskan untuk menemuinya? Kau ingin kita berpisah setelah dua puluh tahun bersama demi gadis itu?”

“Dhira, ini bukan tentang memilih. Aku hanya harus menemuinya sekarang.”

“Kau boleh tidak menghargai atau menyakitiku. Tapi, ingatlah Dhimas, anakmu. Kau boleh lupa pernah mencintaiku. Tapi kau tak bisa melupakan cintamu pada Dhimas begitu saja.”

“Ini bukan soal aku tidak mencintaimu lagi Dhira.”

“Kalau begitu, jangan temui gadis itu. Kau sudah melakukannya berkali-kali di belakangku. Kali ini ….”

Aku segera memutus kata-kata Dhira. “Maaf, Dhira. Kita sudah bertengkar sepanjang malam. Itu sangat melelahkan. Tapi, aku harus menemuinya.”

Tanpa perlu melihat ekspresinya, aku tahu dia kecewa. Aku lekas pergi menuju rumah sakit dengan berbagai pikiran berkecamuk. 

Seorang gadis yang tampaknya berusia dua puluh tahun tampak merapatkan jaket. Dari duduknya yang gelisah aku bisa melihat bahwa ia telah mengalami waktu panjang yang mencemaskan. Ia segera berdiri dan mengangguk padaku. 

“Pak Ari, maaf mengganggu malam-malam.” Gadis itu mengucapkan permintaan maaf yang tak perlu disampaikan. 

Aku mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku malah yang harus minta maaf karena tidak segera mengangkat telepon. Bagaimana dia?”

“Kata dokter tadi sudah stabil.”

“Hmm, kamu?”

“Arin, adik Leina.”

Aku mengangguk. Leina sering bercerita tentang Arin. Meski tak pernah bertemu langsung dengan Arin, aku tahu gadis itulah yang selama ini mendampingi Leina. 

Kami duduk bersisian. Rumah sakit begitu tenang. 

“Saya benar-benar minta maaf menghubungi Bapak malam-malam. Pastinya mengganggu. Meski saya tahu tidak sopan terus menerus menelepon. Saya tahu jika telepon tidak diangkat, kemungkinan besar Bapak sedang sibuk. Namun, kakak saya menyebut nama Bapak.”

Aku terdiam. Hal semacam ini yang tak ingin kuhadapi. Ada rasa nyeri tak terkira ketika mendengarnya. Nyeri itu makin terasa karena aku menyadari di rumah Dhira pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku atau apa yang kulakukan malam ini bersama Lein.

Aku berdiri dan menatap Lein dari kaca yang ada di pintu. Tak bisa jelas kulihat ekspresinya. Namun, aku tahu gadis itu berjuang antara hidup dan mati. Lagi. 

Lein tak pernah memberitahuku apa yang salah di tubuhnya. Aku hanya tahu dia alergi dengan beberapa makanan. 

Kondisinya yang ringkih itulah yang kupikir menjadi salah satu penyebab aku begitu ingin menjaganya. Meski aku tahu, ini bukanlah cinta menggebu seperti perasaanku pada Dhira sebelum dan di awal-awal tahun menikah.

Aku mengaguminya. Aku menyayangi dia dengan cara yang sedikit berbeda. 

Memandangi Lein membuatku merasa ditarik-tarik pada dua perasaan yang berbeda. Perasaan ingin meninggalkan. Sekaligus perasaan ingin berada di sisinya setiap saat. 

Aroma kopi membelai indra penciumanku. Arin mengulurkan kopi dalam cangkir kertas. 

Rupanya gadis itu sempat meninggalkanku untuk membeli kopi. Aku menerima kopi itu dan berterima kasih. Setelahnya, kami duduk bersisian.

“Pak, bolehkah saya mengatakan sesuatu?”

Aku menoleh dan mengangguk perlahan. Mungkin gadis itu ingin membicarakan hubungan ganjilku dengan Lein. Cepat atau lambat situasi semacam ini memang akan terjadi. 

“Saya tidak tahu apa yang terjadi di antara Bapak dan kakak saya. Tentu saya menduga sesuatu yang istimewa terjadi. Namun, tentu bukan hak saya untuk bertanya atau menghakimi hubungan ini. Saya tahu Bapak sudah berkeluarga.”

Arin menghela napas. Ia memberi jeda pada kata-katanya dengan menyesap kopi. 

Aku menyadari dia memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. Saya tahu Bapak sudah berkeluarga.

Aku menyesap kopi yang rasanya tidak enak. Mungkin karena situasi yang kuhadapi di rumah sakit ini memberi kesan bahwa segalanya tidak enak. 

Arin berdeham. “Jika boleh saya menyampaikan sesuatu, ada baiknya Bapak tidak lagi menghubungi kakak saya. Kakak saya begitu tergantung dalam perspektif yang berbeda dengan Bapak. Tapi, hubungan ini menyebabkan salah paham. Bapak pasti paham maksud saya.”

Aku mengangguk. “Kalau kamu memintaku menjauhinya, kenapa kamu meneleponku?”

Aku menyadari hubungan kami terlihat tidak mungkin. Aku tahu banyak yang berpikir aku dan Lein telah menerabas batasan-batasan. Bukankah banyak orang tidak percaya adanya persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan?

“Saya hanya ingin memberi waktu Bapak.”

“Memberi waktu apa?” Aku sungguh tak suka teka-teki. 

“Besok, Kak Lein akan dipindahkan ke rumah sakit lain untuk perawatan lebih lanjut. Dan saya berharap ini adalah pertemuan Bapak yang terakhir dengannya.”

Bukankah kondisi Lein stabil? Jadi untuk apa dia dipindahkan? Untuk apa dia dijauhkan dariku? 

Aku ingin mengajukan berbagai pertanyaan. Namun, bibirku kelu. Rasanya aku harus merasa cukup puas dengan penjelasan seadanya itu.

Jadi, aku mengangguk saja. Aku sudah terlalu lelah bertengkar dengan Dhira. Aku pun sudah lelah mengingatkan diriku untuk terus menempatkan Lein di posisi yang seharusnya. Aku sudah terlalu lelah dengan semua ini. [red/san] 

Tresiana Sari Diah Utami, Ibu dua anak, pengajar, sesekali menulis.

One thought on “Aku Sudah Terlalu Lelah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *