Site icon ghibahin.id

PARENTING: Asupan untuk Pertumbuhan Jiwa Anak

ghubahin

Photo by Ketut Subiyanto: https://www.pexels.com/photo/photo-of-girl-hugging-her-mom-while-doing-yoga-pose-4473609/

“Sama seperti tugasku kini bukan lagi menyuapinya dengan bubur bayi bagi pertumbuhan fisiknya, demikian juga aku musti sigap menyuguhkan aneka sajian ide dan gagasan bernutrisi bagi pertumbuhan budinya.”

Gadis kecilku terlihat begitu menawan dengan pakaian serba merah jambu dan pita rambut lucu yang terikat di kedua kepangnya. Kukenakan mantel tebal pada tubuhnya, kulingkarkan syal mengelilingi lehernya, kututup rapat kepalanya dengan topi bulu yang lembut, berharap dia akan merasa hangat.

“Ayo dek pakai sepatu bootnya,” seruku. Kami berjalan kaki menuju sekolah kakaknya yang hanya berjarak satu kilometer dari tempat tinggal kami.

Ternyata di sekolah, kakaknya tidak berbusana setebal Senna, adiknya. Sigi hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek serta sepatu trainer.

“Sigi, mengapa jumpernya tidak dipakai? Memangnya kamu tidak kedinginan?” tanyaku khawatir. “Enggak, kok. Tadi aku habis olahraga makanya keringatan,” dia menjawab sambil berlarian kecil menggendong tas punggungnya. Kami bertiga berjalan menuju sebuah taman bermain tidak jauh dari sekolah Sigi. 

Taman bermain itu sudah riuh dengan celoteh riang bocah-bocah beraneka rupa. Ada penduduk asli sana, pun banyak pula pendatang seperti kami. Sigi dan Senna terjun ke tengah-tengah mereka, mengawali petualangannya dengan menaiki sebuah seluncuran berukuran sedang. 

Baru sekali meluncur, Senna sudah tidak betah dengan semua aksesoris yang dipakainya. Dilucutinya satu persatu mulai dari topi bulu, mantel, sepatu boot, bahkan pita imutnya. Ternyata dia merasa lebih leluasa bergerak tanpa banyak balutan busana, pemanis, dan penghangat. 

Mereka berdua berlari kejar-kejaran sambil menghirup sejuknya udara musim semi sore itu. Dada mereka mengembang menandakan paru-parunya puas dipenuhi oksigen. Mereka tertawa-tawa riang tanpa beban, melompat ke sana kemari bergabung dengan beberapa anak kecil lain di taman itu.

Semua aksesoris tempelan yang kupasangkan pada Senna memang sempat membuatnya mempesona, terlihat imut, dan menggemaskan. Tapi ternyata itu bukanlah hal yang dibutuhkan raganya untuk bertumbuh dan menjelajahi dunianya. Pesonanya justru keluar lebih alami dan murni ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi; udara bersih, santapan yang bernutrisi dan bervariasi, olahraga dan istirahat, serta tentunya teman tertawa. 

Demikian juga dengan jiwanya, akan lebih leluasa bertumbuh saat kebutuhan utamanya terpuaskan. Kebutuhan jiwanya bukanlah tontonan Disney, YouTube, atau permainan dalam layar kaca, bukan pula simulasi-simulasi masa kini untuk bisa baca kilat atau lincah berhitung. Bahkan dulu kukira serangkaian pelatihan jasmani dan pengalaman indrawi untuk mengasah motorik kasar dan halusnya adalah makanan bagi akal budinya. Ternyata aku keliru. 

Jiwanya tetap kelaparan karena tidak diasup dengan gagasan. Tak heran bila banyak manusia yang memiliki kehidupan yang nampak berhasil di mata dunia, namun ternyata miskin jiwanya. Perilaku dan karakternya busuk, sekalipun tertutup rapat oleh megahnya keindahan raga, toh pada akhirnya tercium juga aroma busuknya. 

Seorang pendeta besar akhirnya jatuh tatkala terkuak dirinya memiliki kehidupan ganda, terjerat pada kemolekan wanita. Para pejabat populer yang terkenal santri dan cendekia, akhirnya terseret korupsi.

Banyak contoh di media, betapa manusia yang secara kasat mata tampak megah raganya, namun betapa kurus hingga busung lapar jiwanya. Dipuaskannya jiwa yang lapar itu dengan aneka makanan rohani yang sama sekali tak bernutrisi, justru melukai. Tontonan, bacaan, diskusi, yang justru menjerumuskan kepada perusakan budi.

“Karakter seseorang tidak dibangun dari luar, tapi dari dalam, karena dia itu pribadi yang hidup. Segala rupa teknik dan aktivitas pendidikan yang bersifat eksternal, sekalipun dimaksudkan untuk membentuk wataknya, hanya akan menjadi tempelan pemanis, tapi tidak menetap sebagai bagian vital dalam dirinya.” Tulisan Charlotte Mason ini menggema di benakku. 

Pikiranku tertuju pada beberapa pengalamanku kini bersama kedua murid kecilku. Aneka literatur lisan mereka asup secara rutin setiap hari lewat diskusi kami, ritual dan tradisi keluarga besar, pun juga atmosfer yang melingkupi rumah kami sepanjang hari. Tapi ternyata itu tak memadai, kurang mencukupi untuk tumbuh kembang jiwanya yang sedang dahaga. 

“Kita memakan ide dari budi orang lain; dan ketika pemikiran dipertemukan dengan pemikiran, akan lahir pemikiran yang lain lagi, lalu kita menjadi semakin berpikir.” (Charlotte Mason).

Anak-anak itu sedang dalam masa pertumbuhan, mereka memerlukan suguhan makanan bernutrisi yang bukan hanya bervariasi namun juga berlimpah jumlahnya. Namun kita tak boleh gegabah. Sama seperti makanan jasmani, anak perlu dilatih makan mulai dari porsi kecil secara rutin lalu meningkat secara bertahap. Pun demikian dengan makanan rohani. Bayi hanya minum ASI sepanjang hari karena makanan itulah yang paling mudah dicerna olehnya. 

Makna “mudah dicerna” tentu berbeda dengan “sudah dicernakan”. Bayi akan belajar mengunyah dan mencerna makanannya, hingga ketika usianya makin bertambah kemampuan mencernanya juga semakin baik. Bahkan kini Sigi yang berusia hampir 9 tahun sudah bisa memisahkan duri ikan yang terbawa masuk ke dalam mulutnya, namun Senna belum bisa. 

Akal budipun begitu, bila kita rutin dan rajin melatihnya berpikir, mengunyah, dan mencerna sendiri gagasan yang kita suguhkan, maka jiwa pun akan turut peka. Mana gagasan yang layak untuk ditelan dan mana yang patut masuk tempat sampah.

Kepekaan ini tak tumbuh dalam semalam. Namun ketika kemampuan berpikir, memilah, memilih, mengunyah, mencerna, dan menyerap sudah terlatih, maka anak menjadi mandiri dalam mengasupi budinya. 

Sama seperti tugasku kini bukan lagi menyuapinya dengan bubur bayi bagi pertumbuhan fisiknya, demikian juga aku musti sigap menyuguhkan aneka sajian ide dan gagasan bernutrisi bagi pertumbuhan budinya.

“Tentu saja kita hanya punya sajian budi terbatas, tapi kita tahu kemana harus mencari suplainya; semua pemikiran terbaik yang ada di dunia telah disimpan dalam buku-buku; kita harus membukakan buku-buku bagi anak-anak itu, buku-buku terbaik; tugas kita hanyalah memiliki stok berlimpah dan menyajikannya secara bertahap.” (Charlotte Mason).

Eliani Angga Safitri, Ibu rumah tangga, homeschooler dari dua anak.

[red/maz]

Exit mobile version