Site icon ghibahin.id

Maudy Ayunda dan Kesempatan-Kesempatan yang Tak Selalu Datang

ghibahin

Photo by cottonbro: https://www.pexels.com/photo/sky-fashion-man-love-10545227/

“Artinya, kita tidak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain. Mengejar pencapaian Maudy boleh saja, tapi jangan terlalu berharap bahwa hasilnya akan selalu sama.”

Saat mendengar nama Maudy Ayunda, yang saya rasakan adalah kagum, bangga, iri, dan juga insecure. Jauh sebelum itu, saya juga sudah sering merasakan perasaan-perasaan tersebut, ketika beberapa teman saya mendapatkan prestasi yang bertubi-tubi, atau ‘tak terbendung’, istilah kerennya. 

Di antara mereka, ada yang menjuarai berbagai kompetisi, ada yang menghadiri konferensi hingga luar negeri, ada juga yang mendapat penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi dan menjadi kebanggaan kampus. Seringkali saya menangis melihat semua itu.

Saya pernah menggugat Tuhan, mengapa mereka bisa begitu sedangkan saya tidak? Bukankah saya juga berusaha sekeras mereka? Bukankah saya juga belajar mati-matian dan mencoba banyak cara?

Awalnya saya berpikir bahwa semua itu karena kondisi ekonomi dan latar belakang keluarga. Tentu saja dua hal ini memang mempengaruhi, walaupun bukan yang paling penting. Kebanyakan dari mereka memang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Keluarganya berpendidikan tinggi dan mendukung penuh kegiatan anaknya. Mereka menyekolahkan anak di tempat terbaik, ditambah kursus bidang akademik dan non akademik.

Sebaliknya, untuk makan esok hari saja saya perlu bekerja dan berpikir keras. Meski sejak dulu ranking saya bagus dan IPK saya tetap di atas 3,5. Tapi saya hanya manusia rata-rata, yang sibuk bekerja dan belajar tapi tak menghasilkan apa-apa selain bertahan hidup. Berbagai kompetisi dan call for paper saya ikuti, meski yang berbayar terpaksa saya lewatkan. Hasilnya? Tetap nihil. 

Namun, ternyata ada juga teman saya yang berasal dari ekonomi bawah tapi bisa sukses. Ia mendapat kesempatan untuk sekolah gratis. Di antara banyak anak tidak mampu, ia yang mendapatkan kesempatan itu. Ia diberi pekerjaan dan tempat yang sangat layak. Di antara banyak anak yang sekolah gratis, hanya ia yang diberi pekerjaan. Berkat orang yang menyekolahkannya, ia juga dibantu oleh banyak orang.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa semua ini bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi atau latar belakang keluarga, karena ternyata yang paling penting adalah kesempatan. Hal ini mengingatkan saya pada drama korea Twenty Five Twenty One

Yu-rim adalah atlet juara internasional di bidang anggar yang berasal dari keluarga miskin. Sebaliknya, Hee-do adalah atlet anggar dari keluarga kaya. Meski begitu, Yu-rim tetap bisa menjadi atlet anggar karena mendapat sponsor dari keluarga Yi-jin. See? Apa yang Yu-rim miliki? Kesempatan. Ia mendapat kesempatan untuk disponsori keluarga Yi-jin. Sedang Hee-do yang kaya justru mengalami kemunduran karena ayahnya meninggal. 

Artinya, meski kaya dan andal, ada berbagai faktor yang bisa membuat seseorang terjatuh. Dan di saat yang sama, ada berbagai faktor yang membantu orang lain bangkit. Apa yang Maudy miliki adalah kesempatan. Ia mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah terbaik.

Begitu pula yang terjadi pada teman-teman saya yang berprestasi itu. Mereka mendapat kesempatan untuk mencoba segala hal. Kesempatan-kesempatan yang seringkali tidak didapatkan banyak orang. Misalnya begini, jika ada perlombaan antar sekolah, maka anak yang ranking satu di kelaslah yang lebih banyak diberi kesempatan. 

Kesempatan seperti ini tidak boleh diberikan sembarangan karena tentu saja menyangkut nama baik sekolah. Jelas, siswa lain tidak akan mendapat kesempatan seperti itu. Tentu saja saya setuju dengan gagasan mengirimkan wakil terbaik untuk ikut lomba, tapi yang saya maksudkan adalah bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Dan tidak semua orang mampu memanfaatkan kesempatan yang ada.

Apa yang Maudy lakukan–demikian juga orang-orang “sukses” lainnya–adalah mengambil seluruh kesempatan yang dihadirkan di hadapannya. Sebagaimana yang dilakukan Yu-rim, mereka berhasil memanfaatkan kesempatan yang ada. 

Meski begitu, ada beberapa hal juga yang bisa menyebabkan hilangnya kesempatan, seperti kematian, bencana alam, dan peperangan. Apa yang dialami Na Hee-do tadi adalah salah satu bentuk hilangnya kesempatan. Begitu pula yang saya alami dahulu.

Suatu kali, saya meraih peringkat satu di sebuah SD favorit di tempat saya tinggal dulu. Namun tak lama setelahnya, ibu saya meninggal dunia, sehingga saya mesti pindah ke kampung dan sekolah di SD swasta yang masih merintis.

Ada yang hidup berkecukupan lalu ayahnya meninggal, kehidupan menjadi serba sulit. Ada yang orang tuanya meninggal semua, ada juga yang bercerai. Ada yang tertimpa bencana alam atau menjadi korban perang. Kesempatan-kesempatan itu hilang bersama segala bencana. Namun ada yang mendapat bantuan serta orang tua asuh yang baik dan mendukungnya. 

Ada yang tetap berada dalam keadaan sulit atau bahkan lebih sulit dari sebelumnya. Tidak ada yang bisa kita duga. Dari sana saya sadar bahwa hasil bisa saja mengkhianati usaha. Tidak semua yang kita upayakan akan berakhir dengan indah. Tentu saja saya sadar bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan, namun hasil berada di luar jangkauan kita. 

Saya tidak bilang bahwa hidup Maudy dan beberapa teman itu mudah. Saya yakin mereka berusaha mati-matian dan jauh lebih besar usahanya dibanding yang lain. Bukan berarti mereka tak punya masalah atau tak pernah berduka. Yang membedakan adalah kesempatan yang hadir dalam hidup mereka. Dan bagaimana mereka mengambil dan memanfaatkan semua kesempatan itu.

Yang ingin saya katakan adalah berjuang itu wajib. Insecure itu boleh, tapi ingat bahwa kesempatan yang datang dalam hidup kita tidak seluruhnya dapat kita kendalikan. Seluruh peristiwa buruk yang terjadi juga di luar kendali kita. Kita tak bisa memaksa kesempatan agar selalu hadir dalam hidup kita. 

Artinya, kita tidak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain. Mengejar pencapaian Maudy boleh saja, tapi jangan terlalu berharap bahwa hasilnya akan selalu sama. Bisa jadi lebih, bisa jadi jauh di belakangnya, karena tentu takdir di luar kuasa kita. 

Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan kesempatan dan menciptakan standar kita sendiri. Misalnya, standar sukses kebanyakan orang adalah profesi keren, gaji tinggi, punya rumah dan mobil mewah.

Namun cobalah lihat orang-orang hidupnya berada di tengah medan perang. Sekadar bertahan hidup adalah sebuah keberhasilan, dan tetap berusaha belajar dan bekerja di tengah gempuran bom adalah kesuksesan tersendiri. 

Ini pulalah yang mesti dibentuk dalam diri kita. Lihatlah seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidup ini. Lihatlah kembali seluruh luka dan benturan yang kita alami. Sadarilah bahwa kita semua layak menentukan kebahagiaan kita sendiri. Bukankah menjadi bahagia juga merupakan kesuksesan?

Mahdiya Az Zahra, tukang ghibah di ghibahin.id, bolak-balik Temanggung-Riau.

[red/bp-yes]

Exit mobile version