Site icon ghibahin.id

KKN di Desa Penari, Kumpulan Sketsa Horor

Hiburan

Foto oleh Dio Hasbi Saniskoro dari Pexels

“Meski rindu dibikin merinding, saya menonton nyaris tanpa ekspektasi apa pun. Dan sepertinya memang begitu seharusnya saat menonton film, terutama film horor Indonesia.”

Sulit mengingat kapan saya pergi nonton bioskop sendirian. Sejak berkeluarga, sejauh yang saya ingat, tak sekalipun saya menyambangi bioskop tanpa anak dan istri. Karena itu, Rabu kemarin, tiba-tiba terpikir oleh saya untuk nonton dadakan, sendirian, ke bioskop. Istri saya, yang kelihatannya kasihan melihat saya jarang punya me-time, tanpa ba-bi-bu langsung mengizinkan.

Pilihan film langsung jatuh pada KKN di Desa Penari. Genre apa lagi yang seru ditonton sendirian kalau bukan horor, ya, kan? Saya sudah lama tidak merasa merinding ketika menonton film horor, entah terlalu bosan atau memang sudah mati rasa. Mungkin saja, film ini mampu membuat saya merasakan kembali sensasi merinding ketika melihat makhluk halus nongol di layar perak.

Siang itu saya langsung memesan tiket lewat layanan online, sebuah gagasan naluriah yang ternyata membuat saya bersyukur: kursi jam 19.30 sudah terisi separo lebih. Dan benar saja, saat saya tiba, bioskop terlihat ramai. Terlalu ramai untuk Rabu malam. Saya jadi orang pertama yang masuk studio, segera duduk manis dan film pun dimulai.

Belum apa-apa, penonton disuguhi gambar-gambar indah pemandangan Gunung Merapi (iya, syutingnya banyak dilakukan di Yogya) dan hijaunya hutan di sekelilingnya. Ini khas film Indonesia sebenarnya. Banyak film Indonesia —baik yang genre-nya sama atau genre lainnya— punya shot lansekap yang sangat indah, mengeksploitasi pemandangan alam yang surgawi, yang sayangnya semakin menyusut jumlahnya.

Kekhasan vegetasi hutan tropis ini punya keunikan dan berdaya jual, yang ternyata dianggap eksotis oleh para penonton Netflix di luar negeri. Saya berharap, film ini nantinya juga bisa dinikmati di layanan streaming. Semoga saja.

Meski rindu dibikin merinding, saya menonton nyaris tanpa ekspektasi apa pun. Dan sepertinya memang begitu seharusnya saat menonton film, terutama film horor Indonesia.

Saya yakin, banyak penontonnya sudah tahu sebelumnya tentang jalan cerita film ini. Orang datang menonton untuk menyaksikan interpretasi visual dari cerita yang disampaikan cuitan per cuitan Twitter akun @simpleman beberapa tahun lalu. Rasanya saya tak perlu lagi menyampaikan spoiler alert, karena toh paling-paling SoHib semua sudah tahu jalan ceritanya. Hehehe.

Ada banyak cara untuk menilai film ini. Jika kita melihatnya sebagai adaptasi utas Twitter akun @simpleman, film ini bisa dibilang sukses luar biasa. Dari awal hingga akhir, setiap adegan mewakili versi asli teksnya, bahkan bisa dibilang nyaris verbatim.

Tapi justru di situlah masalahnya. Menyaksikan film ini serasa menonton sketsa-sketsa yang masing-masingnya adalah isi setiap cuitan yang disampaikan @simpleman. Mungkin, karena berasal dari teks yang penyampaiannya terbatasi oleh jumlah karakter, film ini menyesuaikan diri dalam format tersebut. Sayangnya, banyak adegan jadi terasa kehilangan konteksnya.

Konsep film yang mestinya punya aliran cerita yang utuh dan runtut, jadi sulit dinikmati karena diterjemahkan menjadi potongan-potongan adegan. Seperti misalnya pada adegan Nur (Tissa Biani) menerobos tugu pembatas dan menemukan Bimo (Achmad Megantara) dan Ayu (Aghniny Haque) sedang bercinta, tidak ada cukup eksposisi yang bisa menjelaskan keputusan Nur untuk pergi ke sana.

Sebagai film adaptasi, terlalu naif bagi kita untuk mengharapkan sesuatu yang fresh dari film ini. Cerita horor dalam film ini adalah ramuan klasik film horor kita, bahkan masih mengeksploitasi racikannya: kidung Jawa yang selalu dianggap klenik dan menyeramkan, sesaji dan dupa yang selalu diidentikkan dengan pemanggilan makhluk gaib, hingga stereotyping perempuan berbaju terbuka sebagai perempuan yang “nakal” dan “gampangan” yang ditampilkan dalam karakter Ayu.

Pada beberapa adegan, sound design film ini termasuk agak lebay menurut kuping saya. Banyak bunyi-bunyian yang kalau tidak diberikan juga sebenarnya nggak masalah. Beberapa adegan yang mestinya tidak sedang menampilkan keseraman, justru diberi alunan piano, alat musik gesek, dan noise yang bergemuruh khas horor di latar belakangnya.

Namun, meski ada hal-hal tadi, film ini secara umum sangat bisa dinikmati oleh penggemar genre horor. Semua aktor melakonkan perannya dengan baik dan efektif, yang setidaknya secara fisik dan visual cukup believable dengan karakter-karakter yang diceritakan @simpleman. Sayangnya memang tidak banyak hal yang bisa digali dari karakter-karakter yang ada dalam cerita ini dari materi aslinya.

Selain itu, karakter Wahyu (Fajar Nugraha) mestinya mendapatkan dialog lebih banyak. Celetukan-celetukan sembrono khas Jawa Timuran-nya yang natural sangat mencuri perhatian, menyelipkan unsur komedi yang saya pikir tanpanya film ini jadi lumayan garing. Karakter Ayu juga ditampilkan dengan prima oleh Aghniny Haque, yang dalam adegan menari justru tampak lebih meyakinkan dari Badarawuhi (Aulia Sarah). 

Yang patut diacungi jempol menurut saya adalah penggarapan properti-propertinya. Urusan properti biasanya terkendala budget sehingga ada saja yang lolos dan terlihat seadanya, tapi penggarapan properti film ini cukup optimal. Rumah-rumah di desa terasa real, detil-detil nuansa desa terpencil diperhatikan dengan disiplin.

Penggarapan gapura dan tugu yang dianggap angker juga mirip detilnya dengan bangunan-bangunan yang biasa ditemukan di punden-punden tempat orang-orang melakukan ritual dan mencari pesugihan. Secara visual, film ini menyenangkan dan memanjakan mata pencinta horor.

Bagi saya, yang membuat film ini menarik adalah menonjolnya dialog dalam bahasa Jawa. Memang, perlu dibedakan antara bahasa Jawa yang dipakai orang Jawa sehari-hari dengan bahasa Jawa dalam film. Namun film ini cukup berhasil menghadirkan dialog bahasa Jawa yang luwes. Meski ada sedikit yang terdengar gagal, setidaknya jauh dari aksen palsu yang biasa kita lihat di FTV.

Satu hal lagi. Entah di tempat lain, tapi di bioskop tempat saya nonton kemarin, film ini juga disertai dengan subtitel bahasa Inggris. Buat saya, terjemahannya agak kasar, tidak memikirkan konteks, dan mengabaikan kebutuhan pemirsa asing. Satu contoh, KKN diterjemahkan sebagai extra-curricular. Bule-bule mungkin bakal bingung, ngapain ekskul doang sampai ke desa-desa terisolasi seperti itu. Hehehe.

Terlepas dari komentar saya ini, jika SoHib ingin menikmati visualisasi cerita yang diangkat dari Twitter, maka film ini wajib ditonton. Tapi jika SoHib penyuka film horor dengan alur cerita yang kuat, mengandung metafor rumit, dan disampaikan dengan misterius, juga tak ada salahnya menyimak film ini.

KKN di Desa Penari adalah film yang menghibur, yang meski bukan film horor yang sempurna, tetap bisa dinikmati dan memberikan pengalaman baru bagi pencinta film horor di Indonesia.

Bhagaskoro Pradipto, stay at home dad, redaktur ghibahin.id, menulis sambil memikirkan yang tidak-tidak. Tinggal di Badung, Bali.

[red/sk]

Exit mobile version