Site icon ghibahin.id

Kamus, Hari Buku Nasional dan Baca Buku Kalau Ada Waktu

Esai

Foto oleh Kindel Media dari Pexels

“Hanya buku-buku kuliah yang benar-benar saya baca. Buku-buku baru dan bekas lainnya, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari bacaan kuliah, nyaris tak ada yang saya baca.”

Pada zaman SMA, saya nggak mampu beli kamus bahasa Inggris-Indonesia paling sohor keluaran Gramedia. Selain mahal, toko-toko di kecamatan sekitar hanya menjual kamus-kamus yang judulnya heboh: Kamus 1 Milyar Kata, Kamus 10 Juta Kata, dan sejenisnya, padahal tebalnya tak seberapa.

Saya bukan siswa yang terlalu rajin tapi bukan juga pemalas. Sesekali tugas bahasa Inggris, misalnya mengarang, mengharuskan saya untuk mencari kosakata baru. Karena ini kerja mandiri, penting untuk mendapatkan sumber yang mumpuni, yang tak lain dan tak bukan adalah kamus kue lapis itu. Nah, satu-satunya tempat yang saya tahu memilikinya adalah perpustakaan sekolah, yang hanya bisa dimasuki saat jam istirahat yang cuma sebentar.

Saya rasa saya tidak pernah sebegitu greget dalam mengupayakan pelajaran selain bahasa Inggris. Waktu kelas 2, nilai rapor untuk mata pelajaran ini adalah 9, sementara pelajaran biologi–yang bedebah itu–hanya 6. Fisika 6. Kimia 7.

Saya pikir bahasa Inggris saya sudah cukup bagus. Ketika masuk jurusan Sastra Inggris UGM, saya merasa begitu hina dan berangkat dari posisi baris belakang. Beberapa rekan sekelas adalah pemegang pole positions, yang cas cis cusnya udah nggak pakai mikir. Sementara saya cuman ngerti grammar tapi tuna ketrampilan lainnya.

Ketika sudah tahu diterima di jurusan ini, saya akhirnya diberi dana oleh orang tua guna membeli kamus John M. Echols dan Hassan Shadily. Saya merasa lengkap, karena saya akhirnya punya sepaket yang Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia.

Namun lagi-lagi yang disarankan oleh para dosen adalah kamus Oxford–tepatnya Oxford Dictionary of English. Beli asli jelas nggak mampu, jadi yang bajakan di Shopping selatan Pasar Beringharjo jadi solusi. Kalau tidak salah harganya 28.000 rupiah. Murah? Ya nggak! Jaman itu SPP satu semester Rp 225.000. Yang asli, saya nggak ingat berapa harganya, meskipun sepertinya pernah melihat di toko Gramedia.

Kamus ini tebal dan ukuran hurufnya terbilang kecil. Repotnya untuk saya, ini kamus Inggris-Inggris. Jadi, satu lema bahasa Inggris dijelaskan dalam bahasa Inggris. Di satu sisi hal ini dapat membantu memperluas kosakata, tapi di sisi lain saya kadang habis waktu untuk membuka-buka kamus pabrikan Gramedia demi mencari-cari kata yang ada dalam penjelasan satu lema di kamus Oxford tadi. Dan itu terjadi, pada masa kebanyakan hal masih dilakukan secara manual.

Dari kebiasaan bolak-balik halaman kamus itulah saya mulai banyak membaca buku-buku. Boleh dikata saya pembaca aktif, meskipun jauh dari sebutan kutu buku. Umumnya buku pinjam dari perpustakaan atau dari teman. 

Baru ketika saya bisa kerja sambilan, sesekali saya beli buku. Sekian tahun koleksi saya terbilang lumayan. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir saya beli puluhan buku. Hanya buku-buku kuliah yang benar-benar saya baca. Buku-buku baru dan bekas lainnya, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari bacaan kuliah, nyaris tak ada yang saya baca. 

Siklus manusia memang begitu. Umumnya, saat punya banyak waktu senggang malah nggak punya uang buat beli sesuatu, termasuk buku. Saat umur menanjak diiringi rejeki yang membaik, buku dapat terbeli, dan bisa dalam jumlah banyak. 

Sayang, kumpulan buku seperti hanya menjadi penumpas dendam masa lalu, sebab ia tak dibeli sepaket dengan waktu. Ia termangu di rak dan almari menunggu jari-jemari mengelus dan mencumbu. Dan si empunya sesekali mengerling dan berucap palsu, “Besok ya, kalau aku ada waktu.” 

Meski sudah lewat sehari, saya ucapkan Selamat Hari Buku Nasional. [red/rien]

Sugiyanto Widomulyono, PhD Candidate di Edith Cowan University. Tinggal di Perth, Australia.

Exit mobile version