Site icon ghibahin.id

Para Sultan Palsu, Rendahnya UMR, dan Kegelisahan Tentang Nasib Generasi Penerus di Jogja

Esai

Foto oleh Farhan Abas dari Pexels

“Entah akan menjadi sebesar apa beban para generasi penerus yang tinggal di Yogyakarta. Lambat laun, anak-anak akan mengetahui bahwa sebagian sultan yang mereka kagumi hanyalah penipu.”

Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya, berita tentang Doni Salmanan dan Indra Kenz sampai juga di pikiran anak lelaki saya yang masih kelas dua SD. Saat saya sedang menyiapkan nasi goreng untuk makan malam, dia menyusul ke dapur dan bertanya, “Ibu kenal Doni Salmanan dan Indra Kenz nggak?” 

Saya jawab singkat saja, “Nggak kenal.” Rasanya sudah bosan mendengar bahasan tentang dua orang itu. Namun sebagai ibu, saya tahu kalau anak saya sampai bertanya seperti itu, artinya dia sedang sangat penasaran. 

Maka lekas-lekas saya mengejarnya dengan pertanyaan, “Memangnya kenapa? Siapa mereka? Ibu cuma kadang dengar berita soal kasus penipuan mereka. Tapi Ibu nggak kenal.” Tepat seperti dugaan saya, anak saya memang sempat mengikuti berita tentang mereka. Lalu, keluarlah ungkapan kekaguman dari bibir anak saya tentang kedua orang itu. Apalagi kalau bukan rasa kagum terhadap kekayaan mereka semata. 

Seperti penonton kebanyakan, anak saya juga termasuk yang percaya bahwa para sultan di kerajaan Youtube adalah orang-orang yang sangat kaya. Ia bahkan pernah meniru salah satu perilaku arogan para YouTuber. Ia melempar beberapa lembar uang senilai Rp 2.000,00 hingga Rp 50.000,00 ke atas untuk diambil teman-teman mainnya di kampung. Sungguh, peristiwa itu hampir saja membuat saya merasa menjadi ibu yang gagal. 

Peristiwa itu berakhir dengan diskusi panjang selama berbulan-bulan. Anak saya sudah tak mengulangi lagi dan lebih paham tentang persahabatan dan cara memanfaatkan uang tabungannya. Namun, dengan tontonan soal sultan dan kehidupan sultan melulu di YouTube, anak saya tetap saja mengidolakan para YouTuber sultan. 

Bisa jadi, rasa kagum yang murni dalam diri anak-anak membuat mereka dengan mudahnya mengidolakan sosok yang punya kehidupan jauh berbeda dibandingkan dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Bisa saja kekaguman itu lantas menumbuhkan rasa penasaran dan usaha maksimal menuju ke tingkat sosial yang dicita-citakan anak. Namun, bisa juga banjir konten tentang harta dan tahta hanya akan membuat lahirnya generasi depresif. 

Tentu saja, Anda boleh tak sependapat dengan saya akan bahaya keseragaman konten gaya hidup sultan-sultanan. Namun, gejala munculnya generasi depresif sudah terlihat di depan mata. Lewat medium Twitter kita dapat melihat bagaimana unggahan tentang gaji selangit yang kontras dengan gaji UMR Jogja. Unggahan tentang gaji selangit hampir selalu membuat para pemilik gaji pas-pasan membalas dengan kisah-kisah nelangsa. 

Padahal, apakah hanya Yogyakarta yang memiliki UMR rendah? Jelas tidak. Masih ada daerah lain dengan UMR terendah di tahun 2022. Melansir dari Kompas.com, ada beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang memiliki UMR lebih rendah dari Yogyakarta, antara lain: Sragen, Wonogiri, Rembang, Pangandaran, Brebes, dan lain-lain.

Namun, kita dapat melihat bahwa gelombang sinis akan rendahnya UMR Jogja begitu kuat. Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya adalah tingkat ketimpangan kemapanan di Jogja. Harga tanah yang amat tinggi membuat banyak orang berpikir mustahil bisa punya rumah yang layak di Yogyakarta jika mengandalkan gaji saja.

Tentu tak semua orang memikirkan hal ini. Kegelisahan akan pemenuhan kebutuhan seperti pendidikan yang baik dan tempat tinggal yang layak seringnya muncul dari mereka yang tergolong dalam usia produktif.

Dengan gelombang satir akan rendahnya UMR Jogja, terbentuk suatu kesimpulan seragam di ruang publik, tentang betapa beratnya menjadi seorang pekerja dengan gaji UMR Jogja. Kesimpulan-kesimpulan tersebut tentu saja menjadi bola liar yang bisa terekam dalam benak para pekerja di Yogyakarta.

Sudah rendah gajinya, masih dicekoki lagi dengan lewat narasi-narasi satir perihal gaji yang rendah. Perkara tadi menimbulkan kesan lain, yaitu mustahil ada golongan pekerja yang sejahtera dengan mengandalkan gajinya di Yogyakarta.

Apakah menaikkan UMR Jogja bisa menjadi solusi? Bisa jadi demikian. Apakah dalam kenyataannya semua pengusaha di Yogyakarta mampu menaikkan UMR sesuai harapan para pekerja? Belum tentu demikian. Perkara ini akan terus menjadi perkara yang pelik antara pemangku kebijakan, pengusaha, dan para pekerja. 

Sementara itu, spanduk kuning besar dengan tulisan “lowongan” berwarna merah sering terlihat terbentang di depan gudang, toko, dan kantor-kantor. Bahkan ada yang sampai sobek karena tak pernah dicopot hingga berbulan-bulan. Kondisi itu kontras dengan keluhan para pemuda tentang sulitnya mencari pekerjaan di Yogyakarta. 

Di saat ada yang mengeluh tentang sulitnya mencari pekerjaan, ada juga para pekerja kupu-kupu. Mereka yang tidak tahan dengan tekanan pekerjaan dan gaji yang dirasa kecil segera hengkang dari ladang pekerjaannya. Mereka pindah ke pekerjaan baru dengan selisih beberapa ratus ribu, dengan harapan baru. Lalu pindah lagi, karena rupanya tempat kerja barunya tak jauh berbeda dari tempat lama. Persis seperti kupu-kupu.

Segala hal yang pelik itu, sesungguhnya telah menjadi stresor baik bagi para pengusaha maupun pekerja. Bayangkan jika para pengusaha dan para pekerja itu punya keluarga, lalu membawa permasalahannya ke dalam keluarganya. Lalu, anak-anak mereka yang seusia anak saya tadi, terus menerus dicekoki kehidupan sultan dari kerajaaan YouTuber yang kita tahu sebagian besar hanya sultan-sultanan. 

Entah akan menjadi sebesar apa beban para generasi penerus yang tinggal di Yogyakarta. Lambat laun, anak-anak akan mengetahui bahwa sebagian sultan yang mereka kagumi hanyalah penipu. Semoga mereka tak mengambil hikmah yang keliru, bahwa kunci untuk bisa bergelimang harta harus punya skill pandai menipu, seperti para sultan-sultanan itu.

Atau haruskah generasi penerus nanti kembali menerapkan konsep “nrimo ing pandum“? Apakah hanya itu saja kunci untuk bisa bertahan hidup di Jogja yang (katanya) istimewa? [red/rien]

Butet RSM, KTP Bantul.

Exit mobile version