Site icon ghibahin.id

PARENTING: 7 Topik Pembicaraan Sensitif untuk Anak-Anak saat Lebaran

Hiburan

Foto oleh Nothing Ahead dari Pexels

“Tugas utama orang tua adalah memvalidasi perasaan anak dan belalah anak jika ia belum mampu.”

Orang dewasa sering membahas soal pertanyaan-pertanyaan sensitif yang muncul saat kumpul di momen lebaran. Topiknya biasanya tentang pendapatan, pencapaian, kapan menikah, dan kapan nambah anak. Topik-topik itu sangat dibenci dan sering dibahas di media sosial. Kini, orang dewasa pun mulai paham bagaimana cara bersikap saat bertemu dengan topik itu.

Para penutur ucapan yang berpotensi menimbulkan sakit hati pun berkurang drastis dibanding dengan saat saya masih kecil dulu. Kini, sudah lebih banyak orang yang aware soal pentingnya menjaga lisan ketika berjumpa kerabat.

Maka topik yang aman adalah seputar nostalgia, mensyukuri hidangan yang ada, serta hal-hal romantis nan indah lainnya. Namun tak semua orang cukup beruntung memiliki keluarga besar yang seindah itu. Faktanya masih ada juga yang terpaksa mengalami perjumpaan dengan para penutur hal-hal bermuatan negatif. 

Pada anak-anak, skill untuk melindungi diri dari perkataan yang menyakitkan, seringnya belum dimiliki. Terutama pada anak-anak yang belum memasuki usia puber. Anak-anak rawan menjadi sasaran empuk para penutur perkataan sensitif di hari raya yang biasanya merupakan kerabat dengan usia jauh lebih tua. 

Kadang, anak-anak memang belum peka dan tak terlalu menganggap berarti ucapan-ucapan yang dilontarkan buat mereka. Namun, ada kalanya mereka tak melawan karena tak berani dan tak mau dianggap kurang ajar.

Maka, sebagai orang tua tak ada salahnya untuk menjadi tameng bagi anak. Khususnya saat ucapan bermuatan negatif menyerang anak dan mereka belum mampu melindungi dirinya. 

Menjadi tameng bukan berarti memanjakan anak, kok. Menjadi tameng juga bisa dimaknai oleh anak sebagai bentuk perlindungan dari orang tua. Harapannya, cara orang tua membela bisa ditiru oleh anak-anak di kemudian hari.

Nah, beberapa hal sensitif yang sering dialami anak-anak saat hari raya antara lain: 

#1 Body shaming

Komentar tentang tubuh anak adalah hal yang paling sering dilontarkan saat hari raya. Kalau komentarnya bernada positif tentang pertumbuhan anak, sih, enggak apa-apa. Orang tua si anak pun bisa merasa turut senang mendengarnya. 

Namun, ada komentar nyelekit yang cukup sering muncul.

Seperti, “Kok, sekarang kurus sekali, nggak pernah makan, ya?”.

Atau, “Gemuk banget sekarang, nggak takut obesitas?”.

Jika terkait kondisi kesehatan anak, alih-alih baper, orang tua perlu sedikit menjelaskan agar para komentator tak menjadi-jadi. Namun, secukupnya saja. Kadang, sang komentator juga tidak sengaja ingin menyakiti hati anak. Yang penting perhatikan reaksi anak dan buat ia nyaman jika merasa terganggu. 

#2 Dibandingkan dengan sibling atau sepupu

Apakah ada orang yang senang dibanding-bandingkan? Bahkan anak-anak pun biasanya tak akan senang dibanding-bandingkan. Sayangnya tema ini adalah hal sensitif nomor dua yang paling sering ditemui di hari raya setelah body shaming

Mungkin masih banyak yang belum paham bahwa membandingkan anak-anak dapat menjadi hal yang traumatis hingga dewasa. Sebaiknya siapa pun yang mulai membandingkan dihentikan dan diingatkan untuk tidak membandingkan anak-anak. Bahkan ketika anak Anda yang berada dalam posisi disanjung, obrolan bisa dialihkan ke topik lain supaya tak ada hati anak-anak yang harus terluka akibat dianggap lebih buruk. 

#3 Dijodoh-jodohkan walau bercanda

Bagi orang dewasa, menjodoh-jodohkan anak kecil kadang menjadi hal yang terasa lucu untuk dilakukan. Saat mereka masih bayi, mereka jelas belum bisa protes dan tak terlihat keberatan saat dijodohkan dengan bayi-bayi lain. Namun saat mereka sudah mulai besar dan tahu jika sedang dijodoh-jodohkan bisa jadi timbul rasa malu dalam diri anak.

Kita bisa memahami ketika orang dewasa tak senang dengan pertanyaan tentang kapan akan menikah. Seharusnya kita juga bisa memahami bahwa dijodoh-jodohkan walau konteksnya bercanda juga merupakan hal yang tak menyenangkan bagi anak. Hal yang satu ini biasanya datang dari orang tua sendiri. Ia menjadi tantangan buat para orang tua termasuk bagi saya sendiri yang sering lupa. 

#4 Komentar saat anak menolak makanan

Ada banyak hidangan yang disajikan di hari raya. Ada anak-anak yang tak canggung untuk menikmati. Namun, ada pula yang malu-malu bahkan menolak saat ditawari makanan. Sebenarnya menolak juga hak anak, bukan? 

Namun, seringnya, anak yang menolak makanan mendapat komentar negatif. Biasanya disebut sombong atau disangka menyepelekan hidangan yang ditawarkan. Orang tua bisa membela anak dengan mengatakan bahwa anak sudah kenyang, memang tidak doyan, atau hal lainnya. Jangan lupa untuk memvalidasi perasaan anak sambil mengajarkan untuk bersikap asertif dan tetap sopan.

#5 Dibandingkan dengan orang tua semasa kecil

Hampir semua anak mengalami hal ini saat bertemu dengan saudara yang jauh lebih tua. Kalau hanya dibilang mirip secara fisik, sih, wajar, ya. Namanya juga anak, pasti secara genetik mirip. Namun berbeda kalau yang dikomentari adalah hal negatif.

Misalnya diejek soal jahilnya anak atau cengengnya anak yang nggak seperti saat orang tuanya masih kecil dulu. Ya, jelas menyakitkan buat anak, dong. Dalam hal ini, orang tua bisa ambil peran untuk membela anak secara asertif. Hindari emosi berlebihan, karena justru dapat membuat si komentator punya bahan ejekan lain. 

#6 Paksaan pada anak untuk mau digendong atau dipeluk

Memaksa untuk membuat kontak fisik dengan anak adalah hal yang menurut saya harus dilawan. Orang tua modern mulai mengajarkan konsep consent pada anak. Hal itu akan sia-sia jika setiap hari raya anak masih dipaksa untuk mau digendong, dipeluk, atau dicium oleh kerabat yang lebih tua

Menghormati keinginan anak akan menunjukkan konsistensi orang tua dalam mengajarkan soal konsep consent. Jelaskan pada kerabat yang lebih tua bahwa anak tidak nyaman. Tentu biasanya akan disambut dengan reaksi komentar macam-macam. Tapi percayalah, konsisten soal ini tak akan pernah salah. 

#7 Ditanya soal prestasi akademis

Untuk anak-anak yang sudah sekolah, pertanyaan ini menjadi momok. Walau sistem ranking sudah tak ada, tapi kerabat yang sudah tua biasanya tetap ada saja yang suka mengulik hal-hal terkait prestasi akademik. 

Sebagai orang tua modern, kita tahu bahwa pentingnya anak tak diukur dengan hal-hal seperti ini. Anak harus tau bahwa dirinya berharga. Tak peduli seberapa sering ia menjuarai lomba atau sepandai apa dia dalam mengerjakan soal-soal ujian. Maka ketika ada orang yang mempertanyakan hal ini pada anak dan anak terlihat lesu, kita bisa menyamakannya dengan mengalihkan ke topik yang disukai anak.

Mungkin masih banyak lagi bahasan negatif yang sulit dihindari. Tugas utama orang tua adalah memvalidasi perasaan anak dan belalah anak jika ia belum mampu. Tentunya gunakan cara yang elegan tanpa emosi berlebih, ya, Parents

Lalu bagaimana menyikapi mereka yang di zaman melek informasi kesehatan mental ini masih sering menjadi orang yang kurang bisa menghargai perasaan liyan? Begini. Mari kita berusaha mengampuni. Bukankah kita sedang merayakan hari nan fitri? 

Selamat Idulfitri. Maaf lahir dan batin, ya, pembaca Ghibahin.Id. 

Butet RSM, SoHib Ghibah beranak tiga yang awet muda.

[red/zhr-sz] 

Exit mobile version