Aku, Kau, Chairil, Umbu, dan Perasaan Memiliki

Esai

Cinta adalah urusan diri dengan hati kita. Ia tidak akan mengubah apapun, misalnya, ketika orang yang kita cintai menolaknya.”

“Orang tuaku tidak akan setuju,” ungkapnya suatu waktu, kira-kira empat warsa silam.

Nada suaranya tidak menggambarkan penyesalan, melainkan sebuah penegasan. Ia bertanya pendapat, saya dalam hati mengumpat, dan apa yang saya lakukan hanyalah mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Lagi, ia bertanya kenapa, sebuah alasan atas semua laku yang sudah kami, atau saya, jalankan.

“Kau tahu Umbu?” tanya saya setelah tiga perempat batang rokok.

Tentu saja, dia hanya diam sembari mengernyitkan dahi. Belakangan, saya tertawa lepas setelah percakapan itu. Tidak, penyebabnya bukan karena kelucuan si gadis tadi, melainkan karena sebuah nama yang saya tanyakan padanya.

Fragmen percakapan itu pernah terngiang saat saya bersepeda ke Malioboro. Sebab, konon, di sini Umbu (Umbu Landu Paranggi, red) membesarkan diri dan membesarkan lingkungan sekitarnya. Di sini pula, saya anggap ia menjelma legenda. Dari Malioboro, saya bergerak ke selatan menuju nol kilometer Jogja dan berbelok ke timur, ke Gondomanan.

“Bodho to?” seru Emha Ainun Nadjib dari atas panggung Mocopat Syafaat alias Maiyahan di Kadipiro. Sebelum dan setelah pertanyaan tadi, ratusan bahkan ribuan kata ia keluarkan demi mengenang sang guru: Umbu.

“Katamu, kamu suka sastra Indonesia. Tahu Umbu Landu?” Sekali lagi saya bertanya pada perempuan muda tadi. Dia hanya menjawabnya dengan ekspresi sejuta umat: “Ha?”

Dari atas panggungnya, Emha meneruskan cerita. Tentang permintaan sang guru untuk menunggu bus di Gondomanan pada suatu dini hari, tentang cerita perjalanan mereka ke Surabaya, dan tentang cara lain sang guru memaknai cintanya. “Kalau aku sampai memiliki, berarti aku nggak cinta,” Emha menirukan perkataan gurunya.

***

Saya tidak sepaham itu tentang sastra Indonesia. Namun, perjumpaan dengan nama Embu Landu Paranggi, tetaplah sebuah keajaiban. Nama itu membawa banyak hal pada diri saya, termasuk dalam urusan menafsirkan rasa.

Dulu, saya sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang pria menempuh perjalanan Jogja-Surabaya hanya demi melintasi jalanan depan rumah si perempuan. Tetapi, satu per satu kelucuan Umbu menjadi kian tidak lucu. Mereka, bagi saya, berubah jadi serius.

Saat gadis tadi bertanya untuk ketiga kalinya, saya harus bercerita tentang siapa itu Umbu Landu Paranggi. Sungguh, ia tetap tidak bisa paham mengapa saya mempertanyakan sebuah nama begawan sastra di tengah percakapan yang cukup serius. Ya, ini adalah percakapan serius bagi orang lain. Namun tidak bagi saya.

Saya menyukai gadis tadi. Sepertinya ia juga punya rasa serupa. Namun, orang tuanya selalu merecoki urusan si gadis dengan berbagai kriteria. Ia mengakui orang tuanya feodal. Bahkan, suatu kali ia curiga bahwa sang bapak tidak suka pada saya sejak pertemuan pertama. Sebabnya sederhana: saya menjabat tangan bapaknya dengan kuat dan menatap matanya dengan tak kalah tajam, sesuatu yang saya pelajari dari Soekarno.

Sekali lagi, masalah ini bagi orang lain rumit dan serius. Sementara bagi saya, ini adalah perkara sederhana. Sesederhana saat saya bersepeda, ingin mampir beli soto, tapi warung soto langganan sedang tutup. 

Singkat cerita, ia meminta saya untuk membatalkan semua niat tentang dirinya. Kembali, saya hanya tertawa dan menyulut satu batang rokok, lagi. Ia bahkan memberikan aneka alasan, yang semuanya saya tahu hanya omong kosong penenang.

“Aku akan bilang sederhana, aku mencintaimu, bukan orang tuamu,” jawab saya singkat sambil membuang abu rokok. Ia kembali menghela nafas berat.

“Sampai kapan?” tanyanya. Saya sedikit mengangkat kedua bahu, arti ketidaktahuan.

“Kenapa kamu harus begini?” lanjutnya. Satu nama baru saya sodorkan: Chairil Anwar.

Secara sangat subyektif dan sentimentil, saya akan bilang bahwa saya belajar banyak dari Umbu. Salah satunya adalah cara merefleksikan cinta di luar kebiasaan. Saya lantas membayangkan, betapa cinta telah sangat identik dengan kepemilikan. Misal, saya mencintai gadis tadi, maka ia harus menjadi milik saya. Jika tidak, maka cinta tadi telah gagal.

Di tangan Umbu, cinta menjelma sesederhana sebuah rasa. Ia tidak ingin perempuan Surabaya-nya tahu, karena baginya, cinta akan hilang begitu diketahui si lawan rasa. Saya membayangkan, agaknya sang Presiden Malioboro meletakkan cinta secara amat sederhana sekaligus mendasar. Di imajinasi saya, cinta adalah urusan diri dengan hati kita. Ia tidak akan mengubah apapun, misalnya, ketika orang yang kita cintai menolaknya.

Maka, perkataan Umbu, “Jika aku memilikinya berarti aku tidak cinta dengannya,” akan terasa benar. Sebab, rasa kepemilikan dan rasa “saling” akan membawa ke berbagai hal lain di luar cinta itu sendiri. Entah kesepahaman, kesepakatan, atau penciptaan aturan-aturan baru antara dua orang atau juga dua keluarga. 

Pada akhirnya, saya mencoba meraih pemahaman cinta ala Umbu ke gadis Surabaya pujaan hatinya, sebagai upaya kejujuran sang sastrawan pada dirinya sendiri. Namun, itu tentu saja terlalu sederhana untuk menjabarkan diri seorang Umbu Landu nan misterius dan di luar kebiasaan orang banyak. Bahkan, ketika saya mencobanya pun saya merasa seperti orang gila.

“Kamu tahu Chairil Anwar?” Saya bertanya pada pertemuan kedua sekaligus terakhir. Kali ini ia mengangguk. Bagi saya, nama ini adalah wujud kekerasan kepala seorang sastrawan. Betapa tidak, ia sangat idealis dalam berkarya. Mungkin, setiap derap langkah Chairil adalah puisi itu sendiri, dan hanya dari sanalah ia ingin hidup. Gilanya, lagi-lagi, saya mengikuti caranya dalam mencintai seseorang.

Dahulu kala, saya pernah bilang ke gadis itu bahwa saya akan mengirim puisi dua kali sehari. Pagi dan petang. Saya juga katakan, tidak usah dibalas jika memang mengganggu, dan saya akan terus mengirimkan sekalipun nomor saya diblokirnya. Dari mana semua inspirasi itu berasal? Tentu saja, Sang Binatang Jalang.

Tidak, pertemuan kedua dan terakhir itu tidak berisi percakapan soal puisi-puisi. Saya menemuinya karena sebuah utang: berjanji berbagi ide soal dunia kepenulisan. Belakangan, saya bersyukur pertemuan itu tercipta. Hingga akhirnya, puisi terakhir saya kirimkan hingga seminggu setelah pertemuan tadi.

Selepas jumpa kedua, saya hanya bisa menyapa gadis tadi lewat tulisan-tulisan di blog pribadinya. Di titik ini, saya sangat menyukuri pertemuan kedua sekaligus terakhir. Mungkin, karenanya, ia menemukan beberapa formula baru dalam menulis. Terbukti, di masa itu ia bisa merilis sekitar tiga tulisan baru per minggu. Selain itu, ia juga agaknya sedang mencoba berbagai gaya baru dalam tulisan-tulisannya. 

***

“Orang tuaku tidak akan setuju,” dan saya masih ingat betul kata-kata itu, caranya memenggal kata, dan penekanan nada di dalamnya. Sebab, saya cukup menggemari Umbu, suatu kali saya pernah mencoba mengikuti caranya. Bukan lagi untuk mencintai, tapi sekadar demi melepas rindu.

Pagi hari, saya bersepeda menuju daerah tempat tinggalnya. Saya lantas berhenti di ruas jalan yang biasa ia lewati saat hendak bekerja. Di sebuah warung soto, saya singgah. Benar saja, ia lewat selang satu jam kemudian, dan tentu tidak tahu saya melihatnya. Ke arah berlawanan, saya kemudian pulang sembari membayangkan, betapa kurang ajarnya saya berani meniru dua sastrawan besar. (red/pap-bp)

Syaeful Cahyadi, penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *