Lebaran Tahun Ini, Akankah Tepat Janji?

ghibahin

Sebenarnya, betapapun mahal ongkos mudik dan tetek bengeknya, seberapapun jauh dan melelahkan perjalanannya, mudik agaknya akan selalu dijabanin.”

Lebaran telah datang. Situasi saat ini sepertinya sudah lebih longgar, sehingga pandemi tidak lagi menghalangi kita untuk mudik dan bertemu langsung dengan sanak keluarga yang dirindukan. Meski imbauan Pemerintah yang memperbolehkan halal bihalal tapi melarang makan-minum bersama adalah tidak masuk akal dan bikin pusing, namun jelas bahwa tahun ini kita diperbolehkan mudik!

Tapi sebelum pada berangkat, saya punya pertanyaan: apa sih yang sebenarnya kita harapkan dari mudik Lebaran?

***

Sulit disangkal bahwa bagi orang-orang di Indonesia, hari raya Idul Fitri identik dengan ritual mudik. Sebagai ritual tahunan yang dilakukan secara masif, mudik Lebaran memberikan pengalaman yang tidak hanya religius, tapi juga sebagai ritus sosial yang melekatkan budaya dan identitas para pelakunya. Dalam benak saya, jika Idul Fitri adalah nama hari raya umat Islam, maka Lebaran adalah sebuah state of mind yang dihayati para pelakunya.

Sayangnya, dua tahun pandemi membuat banyak orang urung melaksanakan ritual tahunan ini. Maka mudik pun diakali melalui teknologi. Bertemu keluarga di tempat jauh terfasilitasi oleh aplikasi seperti Zoom dan sebangsanya.

Cara ini lebih efektif dan efisien, sebenarnya. Namun bagi banyak orang, halal bihalal via Zoom tak cukup mampu membangkitkan atmosfer Lebaran yang sesungguhnya. Artinya, dua tahun belakangan ini banyak orang merayakan Idul Fitri tanpa merasakan suasana Lebaran.

Namun lamat-lamat saya memikirkan ulang, memangnya suasana Lebaran itu yang bagaimana, sih?

Rasanya bukan saya saja, tapi kebanyakan orang umumnya meromantisasi Idul Fitri dengan bayangan Lebaran yang mereka alami saat masih kanak-kanak. Setidaknya dalam bayangan saat saya masih kecil, Lebaran selalu menjanjikan pengalaman-pengalaman yang penuh sukacita.

Lebaran, dalam memori masa kecil saya, selalu menjanjikan suasana hangat berkumpulnya keluarga-keluarga yang kembali dari perantauan. Menyaksikan interaksi saudara-saudara yang sudah lama tak bertemu adalah pengalaman yang menghangatkan jiwa. Mulai dari percakapan tentang kabar para saudara, isu-isu terkini, hingga beramai-ramai mempersiapkan hidangan yang akan disantap di hari raya, semuanya menjadi kenangan yang terpelihara hingga dewasa.

Jika mengingat Lebaran pada masa-masa itu, saya suka iri dengan ketahanan bapak, ibu, om, tante, dan eyang-eyang saya untuk mengobrol. Sembari menikmati camilan dan merokok, mereka bisa ngobrol ngalor-ngidul dari menjelang petang sampai berganti hari.

Lebaran di masa kanak-kanak juga berarti kesempatan bertemu dengan saudara-saudara jauh yang usianya sepantaran, bermain bersama, memperbincangkan program TV yang menarik (yang tentunya dulu ya cuma itu-itu saja), dan mengeksplorasi setiap sudut kampung halaman orang tua.

Belum lagi, indahnya Lebaran bagi anak-anak adalah ketika mendapatkan angpao dari para orang tua, yang terkadang bisa membuat “kaya mendadak” setelah pulang mudik. Tapi kebahagiaan kaya mendadak ini hanyalah bagian kecil dari indahnya kenangan Lebaran di masa yang telah jauh berlalu. 

Dalam bayangan ideal yang saya ekstrak dari pengalaman masa kecil, momentum Lebaran menjanjikan kehangatan keluarga, yang membangkitkan perasaan bahwa kita masih punya saudara-saudara yang akrab, peduli, dan saling mendukung satu sama lain. Kehangatan silaturahmi saat Lebaran amat terasa, dan bukan sekadar omong kosong. 

Maka, betapapun melelahkannya perjalanan mudik, kita tetap kembali ke rumah dengan perasaan bahagia dan penuh dengan cerita sukacita. Itulah janji Lebaran dalam benak saya.

Tapi itu dulu. Seiring bertambah usia, bayangan tentang Lebaran yang membahagiakan lama kelamaan semakin memudar. Lha, gimana? Lebaran bagi orang dewasa—apalagi yang sudah berkeluarga—ternyata membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. 

Ketika orang dewasa memperbincangkan mudik, segera terpikir tentang tiket pesawat, tiket kereta api, yang sudah harganya tidak murah tapi masih perlu dikalikan dengan jumlah keluarga yang akan berangkat. Pulang-pergi.

Bagi yang mudiknya masih berada di satu pulau, mungkin akan mempertimbangkan perjalanan darat. Masalahnya, barusan saja harga Pertamax naik tak terkira, sementara harga Pertalite tinggal menunggu waktu untuk ikut melambung. Naiknya harga bahan bakar, ditambah kenaikan PPN, dan juga kelangkaan minyak goreng belakangan ini, membuat harga-harga ikut melambung. Dan jelas, pengeluaran untuk mudik juga bertambah besar.

Itu belum ditambah mesti mempersiapkan angpao bagi anggota para keponakan. Memang tidak ada yang mengharuskannya, ini memang cuma tradisi yang suatu hari akan surut. Tapi bagaimanapun, pemberian angpao biasanya sebisa mungkin diusahakan. Jika bukan sebagai penanda kita telah sukses, setidaknya menandakan bahwa kita survive dan tak amsyong-amsyong amat di perantauan. Hehehe. 

Sebenarnya, betapapun mahal ongkos mudik dan tetek bengeknya, seberapapun jauh dan melelahkan perjalanannya, mudik agaknya akan selalu dijabanin. Saya pun kiranya begitu, walaupun agak berat hati, karena bayangan Lebaran yang ideal belakangan semakin sulit terwujud.

Mungkin memang eranya sudah berganti, dan banyak aspek dalam kehidupan kita menjadi semakin rumit saat kita dewasa. Prioritas siapa yang akan dikunjungi saat mudik berubah, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Para pinisepuh yang biasa dimintai wejangan sudah banyak yang berpulang. Banyak saudara terpencar jauh, ke luar pulau, ke luar negeri, sehingga mustahil untuk mudik. Suasana Lebaran agaknya ditakdirkan tidak akan pernah sama.

Tentu tak ada yang bisa disalahkan dari persoalan tadi. Dan memang bukan itu masalahnya. Tapi sejak urusan pekerjaan, hiburan, dan konektivitas terpusat pada piranti bernama smartphone, yang diperparah dengan aksesibilitas media sosial di dalamnya, Lebaran semakin terasa menjemukan.

Sejak itu, saya sering merasa Lebaran hanya sekadar menjadi bahan konten. Foto keluarga yang berdandan dengan baju baru, foto halal bihalal keluarga besar, foto hidangan yang disantap bersama-sama, semuanya diunggah ke medsos. Bahkan ada juga yang mengunggah banyak foto Lebaran ke IG story hingga tampilannya menjadi titik-titik kecil.

Unggahan-unggahan ini seakan mengesankan momen Lebaran yang hangat dan meriah. Padahal, ketika halal bihalal berlangsung, semua orang lebih banyak berkumpul dalam diam, dengan sikap tangan yang sama, dengan mata yang sama-sama terpaku pada gawai masing-masing.

Jika dulu orang-orang bisa ngobrol dalam waktu berjam-jam bahkan sampai pagi, sekarang pembicaraan seringkali hanya bertahan tak lebih dari setengah jam. Sebab, segala hal yang mestinya bisa menjadi topik perbincangan yang tak ada putusnya itu sudah sering disaksikan di IG story, disampaikan dalam status Facebook, atau sudah diobrolkan setiap hari di grup Whatsapp keluarga.

Smartphone dan dunia yang ditawarkannya membuat percakapan lebih sulit berkembang. Mungkin juga karena kurang bahan, akhirnya sering muncul pertanyaan-pertanyaan klise yang kadang-kadang terasa nggatheli, seperti kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, kapan lulus, dan lain sebagainya. 

Kesan yang tertanam di kepala saya, Lebaran di era smartphone belakangan ini tak lebih dari percakapan-percakapan pendek penuh basa-basi. Bahkan, kadang diselingi oleh banyak rebahan karena kekenyangan (dan kolesterol naik) setelah menelan terlalu banyak makanan bersantan.

Jika begini terus setiap tahun, mudik semakin terasa mubazir, buang-buang uang, waktu, dan tenaga.

Nah, setelah dua tahun tidak merasakan nuansa Lebaran (yang tentu saja tanpa kekangan “formalitas” pandemi), harapan untuk merasakan suasana Lebaran yang ideal bersemi kembali. Apakah kerinduan akan mampu mengembalikan kehangatan Lebaran seperti di masa kecil dulu?

Saya berharap dan percaya bahwa kehangatan Lebaran akan lebih terasa di tahun ini. Semoga janji-janji Lebaran tahun ini bisa terpenuhi. (red/rien)

Bhagaskoro Pradipto, stay at home dad, redaktur ghibahin.id, menulis sambil memikirkan yang tidak-tidak. Tinggal di Badung, Bali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *