Jogja, Jakarta, dan Tanah Lapang

Tanah Lapang

“Satu-satunya ruang lapang bagi mereka barangkali hanya jalan ini. Tidak sampai hati kalau harus mengganggu kesenangan mereka dengan bunyi klakson yang nyaring.”

Mendengar suara letusan mercon yang disulut anak selepas subuh itu, aku agak uring-uringan dalam hati. Bagaimana tidak, mereka menyulut mercon tidak cukup jauh dari masjid, tepat ketika penceramah menyampaikan materi kultum subuh. Berisik tentu sebabnya.

“Kenapa mereka tidak cari tempat yang lebih jauh? Mencari tanah lapang yang jauh dari rumah siapapun!” batinku.

Tapi pertanyaan uring-uringanku kemudian malah membuatku memikirkan satu hal, “Tanah lapang?” pikirku. Tanah lapang di sini semakin langka. Di kota berusia 265 tahun ini, dan di banyak kota lain, akan terus semakin langka. Beberapa lapangan didirikan di atas bangunan-bangunan, beberapa tanah kosong, pekarangan, dijadikan perumahan-perumahan atau dibangun kontrakan.

Belum lagi membaca soal proyek-proyek besar yang rencananya hendak menelan ratusan hektar tanah tahun ini, atau 37 proyek yang menghabiskan puluhan miliar sepanjang tahun kemarin.

Ini sebuah pagi di Jogja kota, tahun 2022. Tidak lama lagi, sampai rumah lebih-lebih rumah tingkat akan menutupi pandangan orang-orang dari melihat Merapi, yang berdiri kokoh nun jauh di sana. Juga hanya soal waktu sampai gedung-gedung semakin berlipat ganda seperti di Jakarta.

Tidak seperti di kampungku yang masih banyak hamparan sawah dan kerumunan pohon di mana-mana, di sini tempat bermain anak-anak relatif terbatas. Pergi agak jauh sedikit sudah menemui area perkotaan yang penuh riuh kendaraan bermotor. Bersepeda setengah jam, sudah sampai pusat kota yang tidak pernah sepi. Sebuah mall, bahkan hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatku sekarang tinggal, dan tentu saja tempat anak-anak yang menyulut mercon itu tinggal.

Jakarta tentu lebih mengerikan lagi. Hampir tidak ada lagi tanah lapang, tidak ada lagi lahan kosong. Anak-anak di sini masih beruntung, beberapa tanah lapang masih tersisa, meski entah sampai berapa lama lagi. Beberapa pekarangan juga masih lestari. Masih banyak pohon-pohon yang sengaja ditanam seperti pepaya, alpukat, jambu. Sebuah kebun kecil yang mencoba bertahan di hadapan waktu dan arus modernisasi lingkungan. 

Di depan masjid kami sendiri masih ada lapangan voli, lapangan dengan fungsinya sebagai penghubung bagi sebagian penduduk desa Ngabean Wetan dalam olah raga-olah raga kolektif, seperti: voli, senam, sepak bola, atau ketika kerja bakti membersihkan masjid bersama. Tentu tidak termasuk beberapa penghuni komplek perumahan yang kelihatannya lebih suka hidup sendiri-sendiri.

Apakah Jogja suatu saat akan menjadi seperti Jakarta? Sepetak tanah yang disesaki gedung-gedung tinggi dan riuh rendah modernitas? Di sisi lain rumah-rumah kecil kumuh dan sungai yang tercemar? Apakah Jogja akan dicokoli gedung-gedung super tinggi yang berhadap-hadapan dan saling berkaca satu sama lain? Pencakar langit? Dan hujan bulan Juninya menjadi hujan yang dipenuhi polusi industri?

Anganku tiba-tiba diterbangkan ke latar waktu dua tahun lalu, ketika bersama bapak dan beberapa keluarga lain. Aku menyusuri sebagian ruas jalanan Jakarta menaiki mobil. Perjalanan yang terasa panjang melewati gang-gang sempit di Jakarta Timur, di tengah cuaca yang begitu panas dan pinggiran jalan yang penuh sesak manusia. 

Ada yang menarik dalam perjalanan itu. Di salah satu gang yang menjadi termasuk dalam rute perjalanan kami, terdapat sekelompok bocah seusia dengan bocah-bocah Jogja yang menyulut mercon tadi. Mereka berkumpul, sedang bermain bola. Ya! Bermain bola di tengah jalan, menghalangi kendaraan yang mengangkut kami dan hendak lewat. 

Bapak berhak mengklakson, menyuruh mereka lekas pergi. Tapi tidak. Bapak hanya menunggu sampai mereka pergi sendiri-sendiri. Tidak lama, karena segera saja mereka sadar ada kendaraan hendak lewat. 

“Kasihan,” kata bapak, “Mereka tidak punya lapangan untuk bermain bola. Satu-satunya ruang lapang bagi mereka barangkali hanya jalan ini. Tidak sampai hati kalau harus mengganggu kesenangan mereka dengan bunyi klakson yang nyaring.” Di balik sosoknya yang tidak banyak bicara, bapak adalah pribadi yang cukup perasa.

Ibu kota begitu keras bahkan pada sekelompok kanak-kanak yang suka bermain bola. Lapangan? Barangkali ada. Bukan di tanah kosong area komplek mereka – hal seperti itu sudah lama hilang – tapi di gedung-gedung berbayar, gedung-gedung futsal. Dan sayangnya, mereka tidak punya uang. (red/rien)

Anwar Khamdan, marbot masjid, suka nulis, suka sate ayam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *