Kenakalan Berulang Itu Bernama Plagiasi

Plagiasi

“Suka tidak suka, pendidikan memberi sumbangan terhadap tingginya angka plagiasi.”

Cerpen teman saya diplagiasu, eh, plagiasi. Padahal cerpen itu menang sebuah lomba menulis, lho. Cukup bernyali juga sih pelakunya. 

Ceritanya, cerpen itu dikirimkan pelaku ke sebuah media. Nah, asyiknya lagi, tidak hanya lolos kurasi, pelaku juga mendapat honor, karena media tersebut memang menyediakan apresiasi untuk karya yang dimuat. Asik.

Kalau saya ingat-ingat, kasus serupa sudah banyak terjadi. Pernah terjadi kasus sebuah karya yang diplagiasi lolos seleksi dalam sebuah lomba yang cukup bergengsi. Dalam kasus tersebut, masyarakat turut mempertanyakan sistem seleksi lomba.

Pernah pada suatu waktu, sebuah cerpen muncul di dua media yang berbeda. Meski pada kasus tersebut bisa jadi penulis mengirimkan naskah yang sama ke media berbeda dalam waktu yang bersamaan. Meski demikian, mekanisme kurasi yang dilakukan redaktur juga menjadi salah satu poin yang diperbincangkan.

Dari contoh kasus-kasus tersebut, pihak yang dirugikan sebenarnya bukan hanya penulisnya saja. Pembimbing tugas akademik, redaktur atau panitia lomba turut dipertanyakan kredibilitasnya, meskipun upaya mengantisipasi hal itu sudah dilakukan. 

Kasus plagiasi atau munculnya tulisan yang sama di media berbeda memang bukan hal baru. Tapi rasa kesal akibat tindakan ini bentuknya sama. Reaksinya sama. Bahkan kadang penanganannya juga sama.  

Pola berulang ini memang melelahkan. Bukan tidak mungkin beberapa penulis merasa kegiatan menulis tidak memberi sesuatu yang lebih. 

Kita tahu apresiasi di bidang ini tidak terlalu besar jika tidak mau disebut kecil bahkan nyaris tidak ada. Sementara di sisi lain, kita belum benar-benar menemukan mekanisme yang baik untuk menghentikan, minimal mengurangi, plagiasi. 

Kemunculannya yang berulang ini menurut saya merupakan sebuah lingkaran setan. Kecenderungan melegitimasi tindakan ini tampaknya disebabkan beberapa hal yang saling terkait. 

Suka tidak suka, pendidikan memberi sumbangan terhadap tingginya angka plagiasi. Tempo pernah melansir berita terkait lomba yang diselenggarakan sebuah lembaga riset dan beasiswa. Dinyatakan dalam berita tersebut bahwa seperempat esai terindikasi plagiasi dengan jumlah konten plagiasi antara 4% hingga 90%.

Implementasi kurikulum kadang serampangan meski niatnya bagus. Ujung-ujungnya waktu terasa “habis” untuk mengurus berbagai tetek yang bengek, eh maksudnya administrasi yang seolah tak habis-habisnya. 

Dampaknya, pelaksanaan pembelajaran berbasis higher order thinking skills berakhir sebagai wacana. Padahal kalau konsep ini dilaksanakan dengan baik, peserta didik punya bahan yang sangat banyak untuk mengembangkan gagasan, mengkomparasikan ide, dan memunculkan buah pikiran yang beragam.

Di sisi lain, ada yang meyakini, inspirasi justru hadir di detik-detik terakhir. The power of kepepet, katanya. Padahal tidak ada pekerjaan besar yang benar-benar sempurna jika dikerjakan dalam waktu yang teramat singkat. 

Sebuah legenda telah dengan apik mengajarkan bahwa hal semacam itu semu. Udah deh, Bandung Bondowoso saja gagal membuat candi ke seribu apalagi aku (eh kamu) yang hobinya rebahan, gegoleran, dan auto-panik menjelang tenggat waktu. 

Harus diakui bahwa pujian itu candu. Karya yang diplagiasi biasanya adalah karya yang baik bahkan sangat baik. Ketika itu diakui sebagai karya sendiri, pujian akan datang untuk si pelaku. Apalagi kalau itu mendatangkan dampak lain seperti honor. Duh! itu candu banget. Siapa nggak seneng sama duwit, hah? 

Tapi, God sees the truth, but waits. Ya, itu memang judul karya jeniusnya Leo Tolstoy yang terbit 1872. Tapi, memang benar. Tuhan memang mengetahui kebenaran hanya saja Dia menunggu. Pada akhirnya, ada waktu ketika manusia tiba-tiba kepleset, malu, dan lain sebagainya. Dan sialnya itu bisa terjadi kapan saja dalam bentuk apa saja.

Kemiskinan juga bisa menjadi salah satu pemicu tindakan plagiasi. Si pelaku jelas dalam fase miskin yang akut. Jarinya bergerak cepat, tapi otak dan hati nuraninya tumpul. 

Untuk menghasilkan sebuah karya, tentu penulisnya butuh waktu, tenaga dan melatih diri cukup lama. Dan itulah yang tidak dimiliki oleh si pelaku. Dia begitu miskin hingga mengembangkan kemampuannya pun tak bisa/ tidak mau. Jahanamnya, kadang kita (ish, dia aja kali) bangga dengan kemiskinan itu. 

Dalam dunia yang serba tak baru ini, memang rawan adanya kesamaan ide. Kadang tanpa sengaja ada kalimat yang sama atau bahkan gagasan yang sama. Tapi kalau semuanya sama ya … sungguh teganya teganya dirimu teganyaaa … Halah, malah nyanyi.

Di sisi lain, kita hidup di negara pemaaf. Permintaan maaf kadang menghentikan persoalan dan menyelesaikan pertikaian. Dan di situlah segala identitas yang melekat dalam diri kita mempengaruhi respon selanjutnya. 

Pelaku plagiasi bisa saja mendapatkan konsekuensi yang cukup tegas. Pencabutan gelar akademik menjadi salah satu konsekuensi yang bisa diambil. 

Meski demikian ada banyak kasus plagiasi pada akhirnya menguap begitu saja. Pelakunya menutup akses diskusi hingga penyelesaian masalah tidak dapat dilaksanakan. Bisa juga pelaku menghilang macam gebetan yang mendadak ghosting. Eh.

Kasus yang menimpa teman saya itu selalu menjadi peringatan bagi pengelola media. Termasuk rekan-rekan KGH (Kompleks Ghibah Khasanah) yang sedang asyik-asyiknya mengembangkan web ghibahin.id. 

Semoga, ghibahin dihindarkan dari hal semacam ini. Dan kalaupun terjadi, setidaknya Mas Pemred dan kawan-kawan dapat bijak dan responsif dalam menghadapi masalah plagiasi. 

Toh, sebaik-baiknya kita berjalan, yha kadang-kadang langkah kita bisa terhenti di tengah jalan. Jan lupa minggir, ntar ketabrak. Halah. (red/ys)

Katarina Retno Triwidayati. Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *