Site icon ghibahin.id

Fiqih Dasar yang Luput dalam Sabun Anti Najis ITB

ghibahin

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/aromatherapy-aromatic-bath-bath-towels-206299/

Karena sebenarnya, hanya cukup dengan berjualan sebungkus tanah yang dikemas dengan label “pembersih najis”, maka tujuan secara fiqih justru lebih tercapai

Institut Teknologi Bandung (ITB) baru saja meluncurkan Natura, sabun anti najis pengganti tanah untuk mennyucikan tubuh dari najis berat (mughalladhah). Sebagaimana lazimnya isu-isu seperti ini sebelumnya, pro kontra pun muncul dari para netizen yang terhormat.

Mereka yang mencibir, beralasan bahwa sekelas Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi (PPNN) ITB, kok cuma bikin sabun, di mana anak tingkat SMA pun bisa melakukannya. Mbok ya bikin nano robot, nano transmisi atau sekalian Nano Warisman.

Sementara netizen yang membela, punya argumen bahwa ini bukan sabun biasa, tetapi sabun yang mengandung nanoemulsi vitamin E, di mana untuk membuat emulsi tersebut juga tidak mudah. Nano emulsi ini ukuran partikelnya super kecil, sepuluh pangkat minus sembilan, sehingga akan mudah diserap oleh kulit dan menutrisi kulit.

Dalam website Research Center of Nanoscience and Nanotechnology, disebutkan bahwa ada lima fokus penelitian PPNN ITB dalam bidang teknologi nano, yaitu nanomaterial, nanocosmetics, nanodevices, nanomaterials for energy, dan nanobiotechnology. Sabun termasuk salah satu produk pengembangan teknologi nano dalam bidang obat-obatan atau kosmetik.

Sebagai alumni jurusan biologi, tentu saya tidak pantas menjelaskan lebih jauh mengenai nanoteknologi tersebut karena ada lulusan ilmu kimia yang lebih berhak. Tetapi, sebagai orang yang pernah ngaji di pesantren, saya lebih senang menyoroti dari sisi ilmu fiqihnya. Mengapa demikian? Diksi “sabun anti najis” pasti bersentuhan dengan ilmu fiqih (ilmu tentang hukum atau syariat Islam). Pembahasan najis adalah pelajaran fiqih paling mendasar.

Terdapat tiga kategori najis, yaitu najis ringan (mukhaffafah), najis sedang (mutawassitah), dan najis berat (mughallazah). Setiap jenis najis memiliki prosedur yang berbeda untuk menyucikannya. Najis ringan berupa air kencing bayi laki-laki belum genap dua tahun yang hanya minum ASI saja, cara menyucikannya cukup dengan memercikkan air di bagian yang terkena najis. Najis sedang umumnya berupa kotoran atau darah dari manusia dan hewan, untuk menyucikannya cukup dibasuh dengan air, sampai hilang warna, rasa atau bau yang menempel pada tempat atau tubuh yang terkena najis tersebut. Penggunaan sabun dianjurkan agar menjadi lebih bersih dan wangi saja. Karena yang bersih belum tentu suci, sementara yang suci kadang juga kurang bersih.

Najis berat berupa apapun yang berasal dari anjing dan babi, termasuk air liur, kencing, kotoran, darah, atau daging dari kedua hewan tersebut. Untuk membersihkan najis berat ini, harus dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dicampur dengan tanah. Harus memakai tanah karena prosedur syariat fiqihnya begitu. Jadi tidak perlu penelitian ilmiah atau studi molekuler untuk memvalidasi apakah najisnya hilang secara kimiawi atau tidak. Artinya, tanpa memakai sabun pun tidak masalah.

Di sinilah sabun anti najis produk PPNN ITB menjadi agak nganu. Ada unsur fiqih yang luput dalam sudut pandang ilmuwan penemu sabun nano tersebut. Walaupun objek yang disasar adalah kalangan yang pekerjaannya berinteraksi dengan binatang di rumah sakit hewan, perawatan hewan piaraan, rumah pemotongan hewan, restoran, pasar, supermarket, pelatihan hewan dan sejenisnya, alasan tersebut sama sekali tidak relevan dengan produk sabun yang dibuat.

Meskipun disebutkan bahwa sabun tersebut mengandung 20 persen kaolin clay atau tanah liat, apakah juga memenuhi unsur tanah yang bisa membersihkan najis berat secara fiqih, sementara wujud tanahnya sendiri sudah hilang karena telah berbentuk sabun? Demikian pula, sebersih apapun mencucinya, sewangi apapun sabunnya, selama belum dibasuh sebanyak tujuh kali dan tanpa menggunakan tanah, najis tersebut tidak bisa dikatakan telah hilang.

Maka alih-alih mengenalkan produk sabun anti najis, akan jauh lebih tepat jika sabun tersebut dipromosikan sebagai sabun yang efektif untuk menutrisi kulit dengan kandungan nano vitamin E-nya. Di mana sabun dengan partikel nano merupakan inovasi baru dalam dunia persabunan (nanocosmetics). Nah, misalkan saja ternyata PPNN ITB tetap menyebut produk tersebut sebagai sabun anti najis, maka justru akan semakin lucu. Karena sebenarnya, hanya cukup dengan berjualan sebungkus tanah yang dikemas dengan label “pembersih najis”, maka tujuan secara fiqih justru lebih tercapai. Kecuali jika ITB ingin berubah menjadi Institut Tarbiyah Bandung.  Wallahu a’lam. (red/rien&pap)

Muhammad Makhdum. Penulis adalah guru IPA bercitarasa PAI, tinggal di Tuban.

Exit mobile version