Site icon ghibahin.id

JAH

Jah

Foto oleh Honye Sanges dari Pexels

“Hidup makin mahal, Jon. Tak ada lagi yang murah di hidup kita. Bahkan sekarang, untuk sekadar tersenyum pun rasanya semakin sulit.”

“Belum bangun juga kau? Matahari sudah datang, Jon. Kau harus menyapanya. Harimu akan berjalan dengan indah jika mau bertegur sapa dengan matahari itu,” katamu. 

Kau masuk ke dalam rumah dengan membawa handuk basah. Handuk itu kemudian kau letakkan di sandaran kursi begitu saja.

Meski menyapa kekasihmu, Jon, kau tak juga beranjak masuk ke dalam kamar. Kau masih berdiri di sisi kursi yang melengkapi meja makan usang. 

Sebuah lemari kecil ada di samping kanan meja makan. Di sana tersimpan segala peralatan dan bahan yang berkaitan dengan makan. 

Kau melangkah menuju tempat masak. Kompor elpiji berada di sana. Kondisinya jelek. Seperti keseluruhan benda yang ada di rumahmu.

“Ayolah. Segera beranjak dari tempat tidurmu itu. Segeralah mandi, tentu kau gerah setelah tadi malam kita bermandi keringat.” 

Kau tertawa geli. Mungkin kenangan pergumulan semalam membuatmu menyimpulkan mandi bisa menyebabkan badan terasa segar. Itu seperti bergairah dalam bentuk yang lain. 

Kau mulai mengambil panci. Kondisinya tak lebih baik dari segala kemuraman yang ada di ruang tengah rumahmu itu. Panci itu lalu kau isi air. 

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya kompor gas menyala. Kau meletakkan panci berisi air. Sesaat kau terdiam.

Suara berisik air dalam panci itu mungkin mengingatkanmu pada keengganan mandi di kamar mandi umum. “Aku tidak suka pada orang-orang kampung itu,” kata kekasihmu pada suatu waktu. 

Saat itu kau tersenyum saja. Sebab bagimu melayani pertengkaran dengan orang kampung itu justru menyenangkan. 

“Aku selalu bertengkar dengan mereka setiap kali hendak mandi. Kalau bertengkar tentang hal-hal yang penting, dengan senang hati aku akan melayani mereka. Tapi yang selalu kami pertengkarkan itu hal yang remeh, Jon,” katamu saat itu. 

Air dalam panci di hadapanmu itu telah mendidih sempurna. Artinya tak lama lagi kau bisa menyeduh kopi. 

“Jon, bangun dan mandilah. Pertengkaranku dengan orang kampung itu tak perlu kau risaukan. Mereka hanya bisa menggerutu, mengeluh, menuduhku tidak menghemat air. Padahal, justru aku yang lebih hemat air daripada mereka.” Tanganmu meraih gelas saat mulutmu masih saja menyampaikan keluh kesah tentang perdebatan penghematan air. 

Kau mengambil kopi. Lalu menuangkan dua sendok bubuk kopi ke dalam gelas. Air masih menggelegak. Kau matikan kompor dan menuang air panas itu ke dalam gelas berisi bubuk kopi. 

“Kopimu sudah siap. Segeralah ke luar. Nanti keburu dingin. Kau pasti marah-marah. Kau bilang perutmu tak tahan kalau harus minum kopi dingin. Kau lalu menuduhku ingin membunuhmu hanya karena kopi itu membuatmu kembung, dan kepalamu pening.”

Kau masih saja bicara sendiri. Tanganmu bergerak perlahan. “Ayolah Jon, segeralah ke luar. Aku sudah menyiapkan kopi pahit dan panas.”

Kau kemudian meletakkan kopi itu di meja makan yang usang. Sesaat tatapanmu mengarah ke kamar.

Tak lama, kau tersenyum. “Hidup kita sudah pahit, Jon. Tapi kau malah menambahinya dengan kopi pahit begini. Tapi, syukurlah kau tak suka kopi manis. Gula mahal, Jon.”

Kau lalu beranjak menuju lemari. Lemari satu-satunya dalam ruang tengah itu. Lemari yang menyimpan segala hal yang bisa disimpan di sana. 

“Ah, masih ada sisa nasi kiriman si Leman semalam. Aku buatkan nasi goreng ya? Tapi, tanpa telur. Dengar, tanpa telur goreng kesukaanmu.”

Kau mengeluarkan wadah plastik berisi nasi sisa. Dengan menggunakan centong, kau mengurai gumpalan nasi itu. 

Tak lama, keluhanmu kembali terdengar. “Uang yang kau berikan tempo hari tinggal sedikit saja, Jon. Kalau kubelikan telur, berasnya tidak terbeli. Mending kubelikan beras saja. Perkara lauk kita pikir nanti. Yang penting ada nasi!”

Kau lalu mengeluarkan wajan. Ada kerak hitam di sana tanda begitu usangnya wajan itu. “Hidup makin mahal, Jon. Tak ada lagi yang murah di hidup kita. Bahkan sekarang, untuk sekadar tersenyum pun rasanya semakin sulit. Apakah jumlah uang di kantong kita itu mempengaruhi keinginan untuk tersenyum ya Jon?”

Kau melangkah ke arah kompor. Tanganmu terampil menyiapkan bumbu nasi goreng. Namun, keluhanmu masih saja terdengar. 

“Mungkin kau tak terlalu merasakannya, karena bagimu selama ada kopi pahit dan panas serta ada telur goreng di piring makanmu itu sudah cukup. Tapi aku, Jon, aku yang merasakannya. Kau bayangkan saja, kalau kemarin dengan uang selembar kita sudah bisa makan pagi di warung pinggir kali itu. Ya, meski cuma nasi sekepal dengan sedikit kuah pedas. Tapi, itu sudah cukup untuk mengganjal perut kan?”

Kau menyalakan kompor. “Tapi sekarang, ada uang selembar di kantong kita itu tak berarti apa-apa. Jangankan buat sarapan, buat ongkos buang air di jamban umum di pasar saja tak cukup. Kita butuh dua lembar uang hanya untuk buang hajat. Bayangkan, kita membuang milik kita sendiri pun butuh uang.”

Kau mengetuk pinggiran wajan. Bunyinya teramat nyaring. Kau tuangkan sedikit minyak. Ketika minyak sudah mulai panas, kau memasukkan bumbu. Suara alat masak begitu riuh. 

Tak lama, nasi goreng itu pun siap. Kau mencari piring sambil berkata, “Lama-lama kalau dibiarkan uang yang kita punyai semakin tak ada artinya. Aku sudah berusaha berhemat dengan uang yang kau berikan. Tapi, masalahnya bukan seberapa banyak aku bisa menyimpan uang. Masalahnya adalah harga barang-barang semakin tidak mau berkawan dengan orang-orang macam kita ini.”

Kau membawa nasi goreng yang telah berpindah dari wajan ke piring. Kau letakkan nasi goreng itu di sisi kopi. 

“Aku bosan tiap hari bertemu dengan orang-orang yang hanya bisa mengeluh. Tapi aku … aku tak hanya mengeluh. Aku sudah menemukan cara yang sangat jitu agar hidup kita bisa berubah, Jon. Aku akan ke ibukota negara.”

Kau memandangi nasi goreng dengan uap mengepul itu. Lalu berkata lirih, “Ya, ke istana di ibukota negara.” Kau mengangguk-angguk.

“Kau pasti bertanya untuk apa aku ke ibukota, ya kan? Aku harus bertemu dengan si Presiden itu. Aku harus bicara dengannya. Dia harus tahu bahwa hidup orang-orang macam kita ini semakin hari tidak semakin baik. Semuanya menjadi kacau. Semua semakin mahal, Bahkan untuk buang hajat saja kita butuh dua lembar uang.”

Kau menarik kursi dan duduk. Tanganmu menopang dagu. Kau pasti tahu untuk bisa pergi ke istana di ibukota negara itu butuh ongkos yang tidak sedikit. 

“Jon, aku tahu ongkosnya akan sangat besar. Tapi, hasil yang akan aku dapatkan, kalau aku bisa bicara langsung kepada si Presiden itu, rasanya sebanding dengan ongkos yang kukeluarkan. Aku akan minta kepada si Presiden itu untuk sesegera mungkin mengembalikan semuanya ke keadaan normal seperti dulu,” katamu.

Aroma kopi pasti membelai indera penciumanmu. Demikian pula aroma nasi goreng. Di luar tampaknya seekor ayam menabrak sesuatu hingga terdengar bunyi berkelontang berbarengan dengan suara ayam itu. 

“Jangan khawatir, Jon. Aku tak akan minta kau untuk membayar ongkosku ke ibukota. Aku akan bekerja keras mengumpulkan uang. Aku akan bekerja. Dan itu mungkin akan membuatku sedikit mengabaikanmu. Tapi, mau bagaimana lagi, perihal ke ibukota itu lebih penting daripada urusan kopi dan telur gorengmu Jon.”

Kau tampak menelan ludah. Aroma kopi dan nasi goreng itu mungkin menerbitkan rasa lapar. “Oh, kopi panas dan telur goreng itu tetap hal yang penting, Jon. Setidaknya buat mempertahankan kehangatan rumah kita ini. Tapi, aku kan juga harus memikirkan kepentingan orang-orang yang lain.”

Suara ayam kembali terdengar. Kau menggeleng. 

“Jon, aku atau lebih tepatnya kita, tidak boleh egois hanya memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Kalau semua orang hanya bisa mengeluh, mana mungkin bisa menyelesaikan masalah. Untuk menyelesaikan itu semua butuh pemikiran yang mendalam. Butuh tindakan yang segera. Butuh pengorbanan.”

Kau tampaknya memiliki jiwa patriot itu. Kau kembali mengangguk dan tanganmu terkepal. 

“Aku yang akan melakukan pengorbanan itu, Jon. Yang akan kulakukan inilah yang akan bisa menyelesaikan semua masalah. Harus ada yang menyampaikan ke si Presiden itu tentang keadaan orang-orang. Agar dia tahu keadaan yang sebenarnya. Agar ada yang memikirkan hidup orang-orang. Dan yang bisa memikirkan tentang hal itu ya hanya si Presiden itu saja. Bukan orang lain. Bukankah dia digaji memang untuk memikirkan hidup orang-orang macam kita ini?”

Tiba-tiba kau tampak menyadari sesuatu. “Jon, setelah aku pikir, rasanya akan terlalu lama kalau aku harus bekerja dulu untuk mengumpulkan ongkos ke ibukota itu. Bagaimana kalau aku pinjam dulu sisa uang yang kau berikan tempo hari itu? Semakin cepat aku ke ibukota, semakin cepat aku ketemu dengan si Presiden itu. Maka masalah ini akan semakin cepat selesai pula. Semuanya akan kembali normal seperti sediakala.”

Kau tampak puas dengan rencanamu. Lalu tampaknya kau menyadari sesuatu tak beres telah terjadi. 

“Jon, kenapa tak kau jawab pertanyaanku? Ini soal hidup banyak orang, kau tak boleh egois hanya memikirkan hidupmu sendiri. Kalau semua sudah kembali normal, hidup tak lagi mahal. Kau boleh minta kopi pahit dan telur goreng sesuka hatimu. Kapan saja.”

Kesunyian masih menjadi teman setiamu. Dan tampaknya kali ini kau benar-benar menyadarinya.

“Jon … Jono … Ayolah. Ini masalah negara. Ini penting. Kau di mana? Jon?”

Kau terus memanggil kekasihmu. Tapi, kesunyian adalah teman setiamu. [red/red]

Andhi Setyo Wibowo, merawat cinta di Boenga Ketjil Jombang.

*disadur dari naskah monolog berjudul “JAH” karya Andhi Setyo Wibowo.

Exit mobile version