Komedi, Kebebasan, dan Penerimaan Diri

Komedi

“Ironi kehidupan adalah salah satu bahan utama yang sering digunakan pelawak. Ironi bisa terasa amat lucu, terutama jika kita sudah masuk dalam fase penerimaan, menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.”

Belum lama ini, peristiwa Will Smith menampar Chris Rock saat memandu perhelatan akbar Academy Awards, menjadi perdebatan panas di media sosial. Will marah karena lawakan Chris menyinggung kepala gundul istrinya, yang belakangan diketahui disebabkan alopecia, salah satu penyakit autoimun.

Dua nama ini adalah ikon besar dalam dunia hiburan di Amerika Serikat. Will Smith—siapa yang tidak kenal Will Smith? Sementara Chris Rock adalah salah satu stand-up comedian paling brilian di Amerika Serikat saat ini.

Saya sebetulnya tidak hendak nimbrung dalam kontroversi ini, walau godaannya sangat besar, hehehe. Tapi dalam insiden Academy Awards tadi, saya menyaksikan bagaimana sebuah komedi bisa mendapatkan beragam respon, termasuk reaksi yang sedemikian keras.

Saya jadi bertanya-tanya, memangnya bagaimana sih selama ini peradaban manusia memandang dan memaknai komedi? Apakah memang benar ada batas-batas tabu yang mestinya tidak dijadikan lawakan?

***

Banyak orang bilang melucu itu gampang. Komedi memang disukai banyak orang, tapi juga diremehkan di saat yang sama. Aktor komedi sering dianggap berkasta lebih rendah dan murahan, dibandingkan dengan aktor drama yang serius. Bahkan anak-anak yang gemar melucu di sekolah, terkadang dengan mudah dianggap anak nakal yang tak jelas masa depannya.

Stigma-stigma merendahkan mudah muncul. Padahal dalam sejarahnya, melucu, berkomedi, dan pelaku komedi punya perjalanan yang tidak sederhana.

Pelawak atau komedian punya banyak sebutan di masa lalu. Dalam prasasti-prasasti era klasik, masyarakat Jawa menyebut pelawak dengan istilah abanol dan mamirus (Nastiti, 2018). Di Eropa Abad Pertengahan, pelawak lekat dengan istilah clown, jester, atau joker (yang kesemuanya sering diterjemahkan secara bebas sebagai ‘badut’).

Pada masa Romawi Kuno, pemakaman keluarga pembesar umumnya membayar seorang archimimus, atau badut pemakaman (funeral clown). Peran archimimus ini dicatat oleh Suetonius dalam The Life of Tiberius, saat mendeskripsikan pemakaman Kaisar Vespasian (79 M).

Sang Badut mengenakan topeng yang menyerupai wajah mendiang, beserta pakaian yang biasa dikenakannya ketika masih hidup. Sepanjang perjalanan dari rumah duka menuju pemakaman, ia mengitari peti mati, sambil menirukan suara, gestur, dan kebiasaan sehari-hari mendiang Kaisar dengan jenaka. Semua itu dilakukan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan.

Meski terdengar aneh, namun demikianlah konstruksi komedi archimimus mengambil peran sosial dalam masyarakat Romawi Kuno.

Bayangkan apabila tradisi badut pemakaman ini diterapkan sekarang. Sang badut mungkin babak belur dihajar keluarga yang sedang berduka. Untungnya, tidak ada badut pemakaman yang mesti bonyok mukanya, karena pergeseran tradisi bisa terjadi tanpa perlu melibatkan kekerasan.

Raja dan tuan tanah Eropa Abad Pertengahan umumnya memiliki badut istana (court jester). Mereka umumnya berpendidikan, dan mempunyai berbagai macam kemampuan, mulai bermain musik, membuat lagu, menari, akrobat, selain kemampuan utamanya membuat lelucon. Menariknya, badut istana punya hak istimewa untuk berbicara, mengkritik, bahkan mengejek, tanpa khawatir dihukum oleh tuannya (Billington, 1984).

Sedangkan dalam tradisi Islam, kita mengenal sosok Nasruddin Hoja, seorang sufi yang hidup pada masa Dinasti Seljuk di Turki. Ia dikenal sebagai pribadi yang eksentrik, dengan anekdot satirnya yang tidak hanya lucu, tapi juga mengandung hikmah dan kebajikan.

Di Indonesia, kita mengenal Gus Dur, ulama negarawan yang juga jenaka. Gus Dur dikenal sebagai seorang kutu buku tapi pandai bergaul, kegiatan yang memberkatinya dengan keluasan wawasan. 

Kekayaan Gus Dur akan referensi agaknya tidak hanya membuatnya bijaksana dalam berpikir, tapi juga mampu melihat pola-pola unik yang tidak dilihat banyak orang. Gus Dur, dengan kreativitasnya, menyampaikannya sebagai lelucon untuk menghangatkan suasana. Sembari tertawa, kita bisa menangkap hikmah dari lelucon tersebut, bahkan mendapatkan wawasan baru darinya.

***

Melawak ternyata bukan perkara sepele. Kemampuan melawak yang andal umumnya datang dari wawasan luas. Wawasan yang dimaksud bukan hanya pengetahuan yang didapat dari buku atau sumber-sumber lain, tapi juga pengalaman hidup. Biasanya, semakin panjang pengalaman hidup seorang pelawak, semakin lengkap hidupnya dengan ironi yang suram, maka semakin banyak bahan lawakan yang ia punyai.

Nah, menemukan kelucuan dari ironi kehidupan ini juga bukan skill yang sederhana. Orang-orang yang mempunyai kemampuan ini agaknya sudah selesai dengan krisisnya, menemukan closure yang membuatnya bisa berdamai dengan dirinya sendiri. 

Tapi justru pelawak-pelawak yang mampu melakukan hal ini tak jarang dianggap keterlaluan dan menyinggung. Karena sudah berdamai dengan dirinya sendiri, mereka tak lagi ambil pusing dengan apa yang dikatakan orang lain. Hal ini membuat mereka bebas mengungkapkan segala hal yang dianggapnya lucu, apapun konsekuensinya.

Banyak hal dalam kehidupan adalah ironi, dan ironi kehidupan adalah salah satu bahan utama yang sering digunakan pelawak. Ironi bisa terasa amat lucu, terutama jika kita sudah masuk dalam fase penerimaan, menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.

Penggunaan ironi sangat kental dalam tradisi komedi di Barat. Stand-up comedian tersohor seperti Dave Chappelle, Ricky Gervais, Chris Rock, hingga Ronny Chieng banyak menggunakan ironi kehidupan dalam bit yang dibawakan, yang tak jarang juga disalahpahami dan dianggap ofensif.

Masalahnya, tidak semua orang punya level penerimaan yang sama, sehingga ketersinggungan seakan tak terhindarkan. Lantas bagaimana dengan masalah ini?

Seorang kawan pernah memberikan daftar apa-apa saja yang tidak boleh dijadikan komedi, mulai dari penyakit, genosida, hingga perkara SARA. Saya sepakat bahwa isi daftar tersebut memang sebaiknya tidak dijadikan lawakan, namun menolak penetapannya sebagai aturan tertulis dengan konsekuensi yang saklek.

Seperti sebelumnya kita lihat dalam sejarah archimimus, apa yang dianggap lucu atau tidak pada dasarnya ditentukan oleh negosiasi antara kebiasaan, kebudayaan, dan juga kebutuhan zaman. Singkatnya, apa yang dianggap lucu atau tidak, sangat ditentukan oleh konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat. 

Perkara moral dan etika mestinya menjadi wacana yang dinamis dalam perbincangan kita sehari-hari, karena apa yang kita sepakati hari ini seringkali berbeda dengan apa yang kita sepakati sepuluh tahun yang lalu dan sepuluh tahun mendatang.

Saya jadi teringat dengan teori Stuart Hall, bahwa mengkonsumsi sesungguhnya adalah memberi makna. Dalam hal ini, penonton, sebagai konsumen tontonan, tidak secara pasif menerima makna dari apa yang ditontonnya, tapi justru memproduksi makna baru berdasarkan referensi, pengalaman, dan ideologi yang dianutnya.

Alih-alih mudah terpantik dan membawanya jadi masalah personal, saya memilih untuk memaknai komedi sebagai bahan refleksi sekaligus referensi, bahwa ada banyak sudut pandang yang saya belum pernah ketahui sebelumnya, yang ternyata sama pentingnya.

Saya bukannya tidak pernah tersinggung ketika sedang menonton lawak. Namun seperti kata Pandji Pragiwaksono, salah satu nama besar dalam stand-up comedy di Indonesia: ketersinggungan adalah refleks, namun reaksi kita atas ketersinggungan itu adalah hal yang bisa kita pilih, dan dengan demikian juga bisa kita hindari.

Menuruti ego yang terluka karena tersinggung menimbulkan emosi negatif yang melelahkan. Saya sendiri memilih berdamai dengan ketersinggungan, apalagi jika ketersinggungan itu datang dari celetukan yang berkonteks lawakan. 

Secara naluriah, yang diinginkan pelawak bukanlah mencari musuh, namun membuat sebanyak-banyaknya orang tertawa oleh lawakannya. Karenanya, saya percaya bahwa lebih kecil kemungkinan ketersinggungan disebabkan kesengajaan pelawak melontarkan kata-kata yang bermaksud jahat. Ketersinggungan justru lebih sering disebabkan oleh masalah-masalah yang tak selesai dalam pikiran kita. 

Malah, siapa tahu, si pelawak justru ingin mengajak kita berdamai dengan persoalan diri kita sendiri, dengan cara menertawakannya. Bukankah kemampuan menertawakan diri sendiri adalah pengalaman yang membebaskan?

Lagipula, menyelesaikan ketersinggungan dengan konfrontatif, apalagi melibatkan kekerasan, seringkali berakhir buruk tidak hanya bagi orang yang dianggap menyinggung, tapi juga diri sendiri. Kata Ricky Gervais, “Just because you’re offended, it doesn’t mean that you’re right.”

Jika setiap ketersinggungan dianggap sah-sah saja ditanggapi dengan kekerasan, tatanan sosial bisa berantakan. Kekerasan akan semakin merajalela karena kita terbiasa menjustifikasinya. Bahaya, kan? (red/rien)

Bhagaskoro Pradipto, stay at home dad, redaktur ghibahin.id, menulis sambil memikirkan yang tidak-tidak. Tinggal di Badung, Bali

4 thoughts on “Komedi, Kebebasan, dan Penerimaan Diri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *