CURHAT: Antara Ada dan Tiada

unsichtbar

“Simbah telah salah sangka dengan menjadi individu yang nggak diperhatikan orang lain di media sosial. Namun, ketika Simbah langsung bertemu dengan teman, menghamburkan diri di dunia realitas, kenyataannya adalah sama.”

Liebe/Lieber Mbah Ghibah,

Kenalin Mbah, nama saya Schöne Mutter, tapi bukan yang suka muter-muter di hati Simbah lho. Hehe… Gini Mbah, kenapa ya ada orang yang bisa seolah-olah kalo dalam bahasa Jerman istilahnya “unsichtbar” (invisible) alias tidak terlihat gitu? Ada, tapi orang lain tidak menyadari kalau ia ada terutama di media sosial. Salah satunya saya, Mbah. 

Di grup WA ibu-ibu terkadang percakapan sangat ramai, hampir semua anggota online membahas berbagai hal. Ada yang tanya, ada yang menjawab. Ada yang minta saran, ada yang memberi nasihat. Eh begitu saya nimbrung dan menanyakan sesuatu, grup mendadak sepi tidak ada yang menanggapi. Huhuhu.

Lain waktu kalau saya posting sesuatu di medsos, yang like dan komen nyaris tidak ada. Sedangkan kalau mereka posting, saya hampir selalu like dan komen. Kesannya kok “unsichtbar” gitu ya, Mbah. Bagus sih, mungkin saya bisa jadi kayak tuyul, hahaha. Becanda lho, saya tidak mau merebut profesi mereka.

Saya bingung Mbah, itu memang algoritmanya Mas Mark atau memang saya nggak terlihat di mata (beranda) teman-teman ya? Gimana caranya supaya bisa lebih terlihat ya, Mbah? Atau lebih bagus seperti sekarang saja? 

Segitu dulu Mbah curhatanku, lain waktu sambung lagi. Danke.

Mit freundlichen Grüßen,

Schöne Mutter, pernah lewat Jerman, Jejer Kaüman.

*****

Salam, Jeng Schöne.

Pantesan Simbah semalam bermimpi didatangi sosok berambut pirang kayak bule gitu ternyata ada orang Jerman mampir di lapak Simbah. Jebule, bule juga punya masalah juga, Simbah kira Simbah saja yang punya masalah di dunia ini.

Ngapunten, sebenarnya Simbah ingin sekali mengimbangi ke-Jerman-jermanannya Jeng Schöne tapi Simbah masih nak-nuk main gadget. Maklum Simbah masuk generasi A yang seharusnya menjadi cikal bakal homo sapiens. Kalau nggak karena Jeng Schöne pasti simbah sudah jadi artefak di museum.

Simbah membaca curhatan Jeng Schöne saat hujan deras. Tapi, ketika Simbah menulis jawabannya hujan langsung reda. Ternyata, Jeng Schöne juga unsichtbar terhadap hujan. Hmmm … jadi rumit sekali dunia ini.

Seperti sudah template, dengan pengalaman Simbah yang sudah melalang dunia (kecuali Jerman) pastilah Simbah mampu menghadirkan solusi tersembunyi rapi di belakang baju di lemari. Huh, solasi Simbah dipindah lagi. Kemarin masih ketahuan. Cucu Simbah memang tiada duanya.

Hmmmm, by the way, berbicara tentang unsichtbar itu, entah mengapa Simbah teringat dengan berbagai produk yang ingin tidak kelihatan. Di televisi, Simbah melihat deodorant yang ingin tidak terlihat sampai digambarkan dengan orang naik motor tanpa kendaraan, naik sepeda tanpa roda, juga memasak tanpa kompor. Suatu saat nanti Simbah akan meramalkan orang makan tanpa makanan.

Di minimarket, Simbah melihat merk kontrasepsi yang juga bangga dengan tipe invisible-nya. Entah maksudnya gimana, Simbah sepertinya ingin membelinya. Biar bisa anu pake anu tapi seperti nggak pakai anu. Nikmat sekali sepertinya. 

Hmmmm … Simbah menduga ada beberapa keadaan yang memaksa kita semua untuk seperti menghilang di dunia.  

Misalnya, saat manusia buang hajat. Simbah dan seluruh manusia pada umumnya akan sembunyi bila hajat telah tiba. Lari pontang-panting tanpa menghiraukan segala sapaan dan candaan langsung saja bablas ke kamar kecil kemudian mencurahkan segenap kemampuan.

Atau saat Simbah dan manusia di sana yang menghindari bertemu atasan. Entah saat itu dia sedang tidak memakai bawahan atau punya dosa kemarin siang karena dapat dana sepuluh laporan cuma delapan. 

Atau keadaan yang lain, yaitu setelah melakukan hal yang memalukan. Misalnya ketahuan punya film koleksi pemersatu bangsa, atau nge-like postingan seksi di Instagram.

Hmmm … Jika demikian terjadi pada Simbah, Simbah pasti membayangkan besok pindah rumah keluar kota dan meninggalkan semuanya tanpa perlu menutup wajah dengan tangan.

Simbah hanya ingin menghilang tidak dilihat orang.

Di beberapa keadaan, Simbah juga ingin eksis dan mendapatkan tanggapan dan bahkan pujian. Persis seperti Jeng Schöne, Simbah dengan percaya diri ingin menanggapi obrolan chat yang ramai saling berbalas. Ketika Simbah memberi pertanyaan, eh, semua pada diam bahkan left group.

Padahal Simbah cuma bilang, “Mas Amin, besok uangnya sudah ada, kan?”

Keterlaluan bukan? Apa salah Simbah coba? Kok berani-beraninya tidak ada yang menghiraukan. Simbah bak mubaligh baru naik ke atas mimbar jamaah sudah mencicil pulang satu demi satu. Hiks … Menyakitkan.

“Kemudian apa yang Simbah lakukan?”

Ya, Simbah nggak ngapa-ngapain, hanya berlagak sok cold saja padahal kedinginan. Emang dingin, ya. 

Namun, di beberapa waktu. Ternyata postingan Simbah banyak gunanya. Banyak teman Simbah yang meskipun tidak tampak komentar, bagikan, bahkan jempolnya. Mereka bertanya pada Simbah secara langsung, “Tulisanmu kok A, B, C dan lain sebagainya.” Mereka membacanya detail sekali!

Simbah menyadari satu hal. Simbah telah salah sangka dengan menjadi individu yang nggak diperhatikan orang lain di media sosial. Namun, ketika Simbah langsung bertemu dengan teman, menghamburkan diri di dunia realitas, kenyataannya adalah sama, tiada yang peduli dengan Simbah. Hahaha.

Dan Simbah tetap berpikir, “Ah, itu hanya perasaan saya saja.” Dan Simbah tetap menjawab curhat Jeng Schöne sambil depipis di pojokan.

Percayalah, siapa sih yang mau-maunya jadi (kayak) Simbah?

Grüßen,

Simbah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *