Site icon ghibahin.id

Rela Tak Semudah Kata

Duka

Foto oleh Arina Krasnikova dari Pexels

“Sudahlah, Sayang. Cinta sudah bahagia tak merasakan sakitnya.”

Jika boleh menggeleng tanda penolakan untuk sebuah ujian ini, aku ingin melakukannya. Tak hanya itu, jika memang perlu bersimpuh, bersujud untuk memohon pun akan kulakukan. 

Apakah itu akan mengubah jalan cerita? Tak mungkin pula aku berlari menghindar dari skenario Tuhan ini. Penantianku untuk memilikinya bukanlah waktu yang sebentar. Perlu bersabar, namun kini yang kunanti sedang berjuang diambang surga atau kembali ke pelukan ayah dan bunda. 

Tak perlu menelepon. Kalian tak mungkin tahu kalutnya suasana. Ingin kulempar saja biar tak mengganggu riuh deringnya. Retak, bahkan pecah tak apa. Itu tak sebanding dengan remuknya hati dan rasa. 

Untuk apa? Menghibur? Atau menambah luka dengan segala wejangan yang akan kalian suarakan? Sudah. Biarkan saja. Aku tahu aku sedang patah hatinya. 

Melihat matanya tak lagi berbinar hanya ingin mendekapnya. Tubuh mungil juga lemah dengan selang yang terpasang di hidung dan juga mulutnya semakin memucat. Tak butuh ungkapan penghiburan, cukup diamkan saja aku. Jangan diganggu. 

Puluhan pesan yang terkirim di gawai pun tak mungkin kubaca. Aku hanya ingin memeluknya. Mendekapnya dan berharap sebuah keajaiban datang untuk memperpanjang napasnya.

Dokter menggeleng membuat semakin oleng. Hanya alat-alat itu yang membuatmu bertahan. Sengal napasmu membuat gambar di monitor itu sedikit bergelombang. Masihkah ada harapan? Hanya bisa berharap. Sudah tak sanggup meminta. Tangis pun sudah tak berdaya. Sudah mengering tak ada sisa airnya. 

Bapak dan ibu larut dalam sedihnya di balik kaca. Sesekali air di pipi diseka. Menatap kami dengan penuh iba. Suamiku tertunduk di pojok ruang dengan mulut komat-kamit lantunkan doa.

Dokter dan perawat memberikan tindakan namun kembali mereka menggeleng. Isyaratkan untuk aku berikan keikhlasan. Meminta mereka melakukan apalagi aku tak tahu lagi.

Kupalingkan tatapanku pada suamiku. Dia semakin tergugu. Kini suara tangisnya terdengar ditelingaku. Tangisan yang tak pernah kudengar selama kami berumah tangga. Terhitung kali kedua dari prosesi sungkeman saat menikah dulu. Kini tangisan tanda sedih yang mendalam.

“Dia masih ada. Akan menemani kita,” sayup suaranya.

Pecah kembali tangisan itu. Ruangan yang tadinya sepi, hanya terdengar dari bedside monitor kini bergantian dengan isakan kami berdua. Tidak rela yang disuarakan suamiku membuatku makin pilu. 

Sebenarnya tak berbeda dengan rasaku. Tak rela untuk ditinggalkannya. Monitor memang masih menunjukkan gelombang, walau menunjukkan detak jantung yang sudah melemah. 

“Kita harus merelakannya, Mas.” Sungguh di hati sebenarnya sangat mengingkari. Namun melihat kondisi yang membuatku tak tega untuk mempertahankannya. Kepala suamiku mendongak. Menatap nanar wajah sembabku, beralih pada buah hati kami dengan posisi sama sedari awal tangisan kami. Beberapa detik kembali diam.

“Ayah merelakanmu, Nak,” suara suamiku terbata-bata.

Tiiit….

Suara dari monitor seketika berbeda. Garis kini lurus tanda dia sudah tiada. Kakiku lemas tak ada daya. Rangkulan suamiku sedikit menguatkan. Saling membimbing, tertatih meraih Cinta. Usapan tangan suamiku membantu memejamkan matanya. Kuciumi tubuh mungil itu. Pucat dan dingin.

“Sudahlah, Sayang. Cinta sudah bahagia tak merasakan sakitnya.” Kini suamiku yang memintaku untuk merelakannya. 

Biarkan aku tenggelam dalam dukaku. Duka yang ternyata lama sembuhnya. Segala rupa miliknya masih kusimpan. Sengaja belum kubereskan karena masih ingin mengenang. 

Kalau Tuhan sudah mau, aku bisa apa? Memejamkan mata tak mampu membendung deras airnya. Kian menderas karena dengan terpejamnya mata bayangan itu memekatkan duka. Karena rela tak semudah kata. Mengisahkannya saja penuh deraian air mata. [red/cak]

Apri Wulandari, bunda dua buah hati, pengajar, dan suka menulis, 

Exit mobile version