Site icon ghibahin.id

Kang Tae Moo, dan Usaha-Usaha Memisahkan Obsesi dan Realitas

ghibahin

Photo by Tan Danh: https://www.pexels.com/photo/couple-kissing-together-standing-near-people-818593/

Dari situlah kita bisa melihat sesuatu pada tempatnya, mana yang nyata, mana yang rekaan semata. Sebab pada dasarnya semua pemain adalah manekin dari produk yang bernama sinematografi.

Beranda medsos saya belakangan ini bertebaran sosok seorang tokoh yang sedang digandrungi para K-Popers. Dia adalah Kang Tae Moo (diperankan oleh Paul Ahn), seorang CEO dalam drakor komedi romantis Business Proposal (BP). Kang digambarkan sebagai pria tampan, klimis, dengan segudang pesona nyaris sempurna, sehingga membuat sebagian besar kaum hawa tak tahan meneriakinya: Oppaaaa!

Jujur saja, saya suka menonton romcom, istilah untuk drama bergenre komedi romantis (romantic comedy). Hehehe. Kalau diukur dari sisi umur, ini cukup menggelikan. Di usia sematang ini, seharusnya saya menyukai drama bertema hidayah, supaya lebih waskita menyiapkan “masa depan”. Tapi ya biarin. Wong bagi saya itu cuma hiburan kok. Namun, saya nggak yakin alasan fangirl menyukai romcom banyak yang mirip saya – nonton tanpa pakai mikir.

Penampilan tokoh laki-laki tampan, penuh talenta tak hanya di BP saja. Drakor, terutama yang ber-genre romantis, selalu menampilkan pemeran pria yang memesona, seperti Kim Seon Ho dalam drama Hometown Cha-Cha-Cha atau Park Seon Joon dalam drama What’s Wrong with Secretary Kim. Pesona kedua aktor tampan tersebut berhasil membuat para fangirl-nya baper akut.

Sayangnya, mayoritas fangirl film atau drama romcom sulit membedakan mana aktor dan mana karakter yang diperankan. Di beberapa akun medsos, banyak postingan fans meminta perpanjangan seri BP pada SBS TV selaku kanal utama yang menayangkannya. Ada juga yang membuat postingan video Kang Tae Mo dan Shin Ha Ri (pasangannya), atau bahkan fan-fiction Kang bersama si penggemar, seolah-olah Kang Tae Moo hidup di dunia nyata.

Segala perilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh fangirl (biasa disebut dengan fangirling) ini sebetulnya sah-sah saja, selama masih dalam taraf wajar. Asal tidak sampai meningkat menjadi celebrity worship syndrome, sehingga berpotensi mengganggu siapapun, baik artis yang digandrungi, orang lain yang tidak suka (haters) dan bahkan merugikan fans itu sendiri.

Sebenarnya kegilaan fans terhadap idolanya adalah masalah klasik. Salah satu peristiwa yang tak akan terlupakan adalah terbunuhnya John Lennon, pentolan grup legendaris The Beatles, oleh penggemarnya sendiri di tahun 1980. Saat rasa kagum berubah menjadi obsesi, maka sesuatu yang seharusnya sebatas hiburan malah mengarah kepada gangguan mental. Sangat disayangkan, bukan?

Obsesi, menurut KBBI, adalah gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Obsesi merupakan perilaku terlalu menginginkan sesuatu dan mengharuskan diri sendiri untuk meraihnya. Kata kunci dari obsesi adalah “harus”. Padahal kata “harus” bisa menjadi sebuah tekanan yang menyakitkan.

Kata “harus” atau should statement merupakan salah satu jenis distorsi kognitif. Dilansir dari sebuah artikel di sehatq.com, distorsi kognitif adalah kebiasaan berpikir bias. Hal ini terjadi ketika seseorang memiliki pola pikir tidak akurat dan cenderung negatif. Walaupun dikategorikan sebagai gangguan mental, namun jika seseorang sadar dan mampu mengindentifikasikan pola pikir ini, maka gangguan ini bisa ditangani.

Kembali kepada Kang Tae Mo, sebagai perempuan “normal”, saya pun jatuh kagum. Apalagi untuk seorang laki-laki yang digambarkan secara fisik gagah, memiliki kekuasaan, dan berperilaku manis. Namun, saya mengidentifikasikan itu dengan cara kembali ke tujuan awal saya menonton romcom yaitu hanya mencari kesenangan, layaknya makan camilan tanpa membuat kepala saya kekenyangan (lelah berpikir).

Selain itu, saya selalu penasaran dan mencari tahu ada apa di belakang layar sebuah drama atau film. Bagaimana proses pembuatannya, bagaimana sutradara mengarahkan setiap adegan, bagaimana pemain menghafal skenario dan bagaimana komunikasi di antara para pemainnya.  Sering saya temui karakter sepasang kekasih yang begitu kuat chemistry-nya, ternyata kaku atau saling tidak akur di lokasi syuting.

Dari situlah kita bisa melihat sesuatu pada tempatnya, mana yang nyata, mana yang rekaan semata. Sebab pada dasarnya semua pemain adalah manekin dari produk yang bernama sinematografi. Dengan kata lain, kita hanya membeli bajunya saja, tanpa harus membawa pulang manekinnya.

Alih-alih terpaku kepada tokoh utama, saya lebih tertarik kepada tokoh-tokoh di balik terciptanya sebuah film, seperti produser, sutradara, dan penulis skenario. Produser adalah sosok sentral dari terciptanya sebuah film, mulai dari memilih kelayakan film, mencari investor, membuat orang-orang yang berbeda latar belakang dan kemampuan mampu bekerja sama dalam satu visi untuk menciptakan sebuah karya seni.

Saat hati berbunga-bunga dengan deretan ungkapan puitis, romantis, filosofis, terbuai adegan “nembak” si cewek, yang ada dalam bayangan saya adalah betapa saktinya penulis skenario dalam meramu sebuah cerita menjadi “bernyawa.” Tak hanya itu, saya juga terpana dengan kelihaian sutradara menghidupkan karakter yang tertulis dalam skenario terkesan heroik, artistik, dan dramatis.

Jadi, saat Kang Tae Moo lebih memilih pernyataan “Jika kau mendekat, aku tak akan pernah melepaskanmu lagi,” daripada sekadar tembakan template seperti saranghae, jangan keburu melayang, ya, ShoHib. Nggak usah minta nambah season kedua segala. Bosen. Nggak lama lagi juga bakalan ada Kang Tae Moo-Kang Tae Moo baru bermunculan. Lagipula, nggak ada Kang Tae Moo, masih ada Kang Cilok, Kang Cimol, Kang Kung kan? Hehehe.

Rina Purwaningsih, suka bermain, belajar, menulis, dan mengajar

Exit mobile version