Dari Jamet hingga Kaum Mendang-mending: Label-Label yang Bikin Pusing

ghibahin

“Label adalah solusi instan yang mengeksploitasi stereotip, memudahkan suatu kelompok mendiskreditkan kelompok lainnya tanpa mesti melalui debat kusir berkepanjangan”

Meski belakangan bertemu dengan sirkel-sirkel pertemanan baru yang membuat media sosial kembali menarik, hal ini ternyata tidak membuat gairah saya bermedsos kembali seperti dulu. Salah satu hal yang  membuat saya cepat lelah ketika bermedsos adalah betapa ramainya internet dengan label-label.

Masih lekat ingatan seputar pemilu sewindu lalu, ketika masyarakat kita seolah-olah terbagi ke dalam label cebong dan kampret, pengelompokan yang celakanya masih bertahan bagi sebagian kalangan hingga kini. Dua label yang beroposisi ini diamplifikasi oleh medsos, dan bisa dikatakan mengawali lahirnya berbagai label baru dan memperkuat legitimasi atas tren penggunaan label-label medsos di Indonesia.

Label-label ini, kita sebut saja, kadal gurun, pasukan nasi bungkus, hingga label Taliban yang dihembuskan telah menjangkiti sebagian karyawan di Komisi Pemberantasan Korupsi, belum terlalu lama berselang. Ini baru sedikit contoh.

Tidak perlu pengamatan yang terlalu serius untuk memahami bahwa sebagian besar—jika bukan semua—label-label ini berasal dari wacana yang berkembang di pusat (baca: Jakarta) sebagai daerah yang memiliki kultur dominan.

Pada era pra-medsos, masyarakat Jakarta mengenal istilah jawir, label berkonotasi merendahkan orang-orang yang menampakkan kejawaannya (entah itu dialek, etiket, cara berbusana, dll.) di ibu kota, mengidentifikasinya sebagai kultur kampungan nan inferior. Nah, di era medsos belakangan, kita mengenal istilah jamet kuproy (jawa metal kuli proyek), yang meski terdengar lucu, sebenarnya sama durjananya.

Selain itu, juga ada istilah anak Jaksel untuk melabeli pergaulan kosmopolitan kaum elit Jakarta Selatan yang membuat mereka sering terlihat mencampur bahasa Indonesia dan bahasa asing ketika berbicara. Label ini, meski terdengar innocent dan anekdotal, ternyata sering juga membuat orang-orang yang sedang berlatih bahasa Inggris takut menjadi bahan olok-olok.

Awalnya, saya mengira bahwa fenomena label-labelan ini hanya bersifat lokal di Indonesia, dan bersifat musiman pada tensi sosial-politik tertentu. Tapi jika menengok tren bermedsos di luar negeri, agaknya memang demikianlah kultur internet bekerja.

Di Amerika Serikat, misalnya, yang juga adalah kultur dominan—meski pengaruhnya di dunia semakin merosot—masih sering menjadi episentrum persebaran label-label dan kultur internet ke seluruh dunia.

Sedikit di antara label-label tersebut seperti woke untuk menandai komunitas yang melek secara ideologis (biasanya terkait gerakan anti-diskriminasi rasial), feminazi untuk menggolongkan kaum feminis yang dianggap terlampau radikal dan agresif, hingga label Karen untuk merujuk pada perempuan kulit putih yang menggunakan privilese rasnya dengan semena-mena.

Label-label yang populer di luar negeri ini, dengan tak terelakkan juga terserap di Indonesia. Sebagai contoh, kita juga mengenal label SJW (Social Justice Warrior) untuk menandai orang-orang yang mudah terpantik oleh isu-isu keadilan sosial. Sialnya, di Indonesia label ini sering digunakan untuk mendiskreditkan orang-orang yang pandangan politiknya beroposisi dengan penguasa.

Terakhir, ada label kaum whataboutism, merujuk pada orang-orang yang suka membanding-bandingkan wacana yang sedang hangat dibicarakan, dengan wacana yang menurutnya harus lebih banyak mendapat perhatian. Label ini ikut terangkat pada perbincangan tentang krisis Ukraina (biasanya ketika membandingkan dengan Palestina), dan agaknya diadaptasi di Indonesia menjadi label ‘kaum mendang-mending’.

Lantas, mengapa label-label ini semakin subur di medsos?

Jeff Manza (2018) merangkum bahwa label, sebagai produk dari bahasa, digunakan untuk mengelompokkan masyarakat berdasarkan identitas yang dihayatinya. Dengan demikian, label dapat menciptakan kebersamaan dalam suatu komunitas. Hal ini juga berarti bahwa di waktu yang sama, label juga bisa dimanfaatkan untuk meliyankan (othering) kelompok lain yang dianggap berbeda, atau tidak menganut norma yang sama dengan dirinya.

Dalam proses othering, label digunakan untuk menciptakan kuasa dan privilese dengan menunjuk kaum yang diliyankan tadi sebagai kelompok yang lebih rendah dalam hirarki sosial (Krumer dan Michal, 2012). Ketika dinamika sosial komunitas medsos sudah sudah tidak lagi egaliter, diskriminasi dan persekusi rentan terjadi. Bukankah ini yang sehari-hari kita lihat di medsos?

Pada awal kemunculannya, medsos sering diasosiasikan dengan kebebasan berpikir dan berpendapat. Bahkan fenomena Arab Spring di awal dekade lalu turut disemarakkan oleh aktivisme medsos dengan tema yang serupa. Meski demikian, sulit dimungkiri bahwa diskusi yang terbentuk di media sosial juga terkekang oleh dimensi “ruang” dan “waktu” yang unik.

Dimensi ruang dalam hal ini mencakup keterbatasan karakter (huruf, angka, simbol) yang dibutuhkan untuk menyampaikan gagasan, sehingga memperkecil kemungkinan gagasan tersebut bisa dipahami secara sama oleh pihak lain. Tidak hanya itu, dimensi ruang juga termasuk algoritma medsos yang memungkinkan gagasan kita muncul (baca: mendapatkan ruang) di linimasa orang lain, yang mempengaruhi apakah gagasan tersebut dapat tersebar luas.

Sedangkan, dimensi waktu menandai apakah suatu gagasan masih relevan dengan wacana yang sedang berkembang. Sederhananya, orang cenderung memilih berkomentar tentang topik yang sedang menjadi trending, karena lebih besar peluang pendapatnya ditanggapi, ketimbang mengomentari isu yang telah lewat berbulan-bulan lalu. Dengan keterbatasan-keterbatasan ini, percakapan di medsos rentan dilakukan tergesa-gesa dan menimbulkan kesalahpahaman, alih-alih membuat orang lain bersepakat.

Hal ini membuat “pertarungan wacana” sulit dimenangkan. Padahal, kebutuhan untuk membuat pihak lain mengerti dan antusias (baca: kebutuhan untuk meng-influence orang lain) begitu mendesak, sebagaimana kita lihat dalam kepentingan-kepentingan “pemasaran” di medsos, baik dalam menjual produk kecantikan, hingga usaha memopulerkan tokoh politik.

Inilah mengapa kehadiran label-label dalam interaksi di medsos adalah konsekuensi yang sulit dihindari. Kelompok-kelompok berusaha mendapatkan kuasa atas wacana yang berkembang di media sosial melalui penciptaan label-label.

Label adalah solusi instan yang mengeksploitasi stereotip, memudahkan suatu kelompok mendiskreditkan kelompok lainnya tanpa mesti melalui debat kusir berkepanjangan. Pada gilirannya, label-label diolah algoritma medsos menjadi buzzwords, yang mengelompokkan orang-orang yang antusias dengan topik tertentu.

Meskipun tidak pernah jelas siapa “pemenang” dari pertarungan wacana di medsos, label-label memberikan closure bagi individu-individu dalam kelompok, memberikannya ilusi kemenangan ketika terperangkap dalam gelembung algoritma yang menempatkan mereka pada kelompok yang sama.

Lantas, siapa yang paling untung dari penggunaan label-label ini? Saya yakin kita semua punya jawaban masing-masing. Yang jelas, sementara kita remuk redam dalam perdebatan medsos, mereka mendapatkan apa yang diinginkannya, yakni pengaruh beserta kuasa dan privilese yang menyertainya.

Mumet? Sama. Hehehe.

Bhagaskoro Pradipto, stay at home dad, redaktur ghibahin.id, menulis sambil memikirkan yang tidak-tidak. Tinggal di Badung, Bali

(Red/Jie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *