Hari Gini, Masih Perlukah Peran Guru?

Pengajaran

“Penggunaan gawai dan internet sudah menjadi kebutuhan utama. Perlahan tapi pasti menggeser peran guru dalam mengajar dan fungsi kertas sebagai media belajar.”

Kemarin, saya menemukan sebuah video di Tiktok. Video itu berisi tentang seorang murid laki-laki berusia sekitar 17 tahun, yang memprotes cara mengajar gurunya. Intinya, si murid menentang sang guru yang sering hanya menyuruh muridnya membaca buku paket, tanpa ada interaksi antara guru dan muridnya.

Kejadian itu terjadi di sekolah luar negeri. Yang menarik dari video tersebut adalah komen-komen dari netizen Tiktok. Mayoritas, komentar mereka mendukung perilaku si murid. Karena apa yang terjadi di video sangat relate dengan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Kejadian itu mengingatkan saya pada sebuah kasus yang mirip dan saya alami sendiri. Ini terjadi pada saat pertengahan pandemi lalu. Seorang guru, sebut saja Guru A, mengajar sebuah mata pelajaran yang sebenarnya termasuk tidak sulit. Tetapi, di tangan Guru A, mata pelajaran ini menjadi semacam nightmare bagi semua murid.  

“Anak-anak, kenapa nilai mapel yang saya ajarkan di ulangan kalian anjlok semua? Kalian kan ulangan di rumah, bukan di sekolah. Bisa buka Google, buka buku, tanya siapa, kek. Kok, masih jelek? Pokoknya, saya nggak mau tahu!” Begitulah ungkapan Guru A yang tidak bisa saya lupakan.

Dia adalah tipe guru yang “hanya” menyuruh anak-anak membaca materi sendiri, memberi tugas nggak kira-kira, lalu tiba-tiba ulangan. Tapi selalu menuntut anak-anak untuk mendapatkan nilai bagus, bagaimanapun caranya. Aneh bin ajaib! Mau jadi apa generasi kami jika memiliki guru semacam ini?

Sejak masa pandemi, sekolah memang melangsungkan pembelajaran secara online atau campuran antara online dan offline. Penggunaan gawai dan internet sudah menjadi kebutuhan utama. Hal ini perlahan tapi pasti menggeser peran guru dalam mengajar dan fungsi kertas sebagai media belajar.  

Pandemi telah mengubah semua tata laksana pembelajaran. Guru bukan lagi “makhluk segala tahu”, karena ilmu, materi, cara, dan jawaban semua tersedia di Google. Metode belajar berubah menjadi self-learning. Namun, peran guru masih dibutuhkan. Dalam tata laksana pembelajaran yang terus bergeser ini, guru justru penting perannya sebagai penuntun dan pemberi evaluasi (fasilitator). 

Di sisi lain, saya juga memiliki seorang guru yang sanggup memenuhi peran di atas, sebut saja Guru B. Dia tidak hanya menyuruh atau sekadar menceramahi. Dia menuntun murid-murid dengan memberitahu cara memahami apa yang sedang diajarkan. Dia memperbolehkan murid-murid bekerjasama dalam sebuah kelompok kecil, di mana anak yang “kuat” mengajari anak yang “tidak kuat” (cooperative learning). 

Selain itu, Guru B juga memberikan kesempatan untuk membuka buku atau internet jika sudah buntu. Baginya, Google bisa dimanfaatkan sebagai kawan atau partner belajar, bukan penyedia nilai tinggi saat ada ulangan. Dia tidak menuntut anak didiknya untuk mendapatkan nilai bagus. Dia hanya ingin anak didiknya paham materi. 

Dengan memperbolehkan muridnya bekerjasama, secara tidak langsung Guru B mengajarkan tentang bagaimana menjalani kehidupan nyata. Faktanya, saat dewasa, orang lebih banyak bekerjasama dengan orang lain daripada bekerja sendirian, bukan? 

Guru B juga memahami bahwa tak semua anak memiliki kecerdasan yang sama. Menurut Howard Gardner—tokoh pendidikan dari Pennsylvania, AS—setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Ada sembilan kecerdasan yang disebut sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences).

Sembilan kecerdasan itu antara lain: spasial dan visual, intrapersonal, interpersonal, logika dan matematis, kinestetik, musikal, linguistik, naturalis, dan eksistensial. Sembilan kecerdasan ini mematahkan stigma yang beranggapan bahwa anak yang tidak pandai secara akademis (dalam mata pelajaran tertentu) adalah anak yang tidak cerdas.

Para guru juga punya kecenderungan untuk memperlakukan murid yang pandai secara istimewa. Sebaliknya, guru kurang memedulikan murid-murid yang dianggap tidak memahami mata pelajarannya, padahal justru kelompok inilah yang membutuhkan lebih banyak bimbingan.

Menurut saya, saat ini dunia pendidikan  lebih membutuhkan guru-guru seperti Guru B. Guru yang yang kita butuhkan mestinya mampu memahami kebutuhan murid, sekaligus mampu mengikuti perkembangan zaman. 

Guru mestinya menempatkan teknologi sebagai rekan yang mendukung pekerjaannya, bukan malah menggantikan perannya sama sekali. Jika guru hanya memahami teknologi sebagai alat pendongkrak nilai semata, maka buat apa lagi ada guru? [red/bp]

Kim Yumna Halim, seorang pelajar SMP, pecinta buku, kucing, dan corat-coret tulisan.

2 thoughts on “Hari Gini, Masih Perlukah Peran Guru?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *