Kekalahan, Pengandaian, dan Penerimaan

Kalah

“Kehidupan tidaklah semulus kata-kata motivasi. Kenyataan dan keadaan di sekitar diri, diakui atau tidak, sangat berpengaruh pada kondisi mental.”

Suatu waktu di tahun 2011, saat sedang menjadi pemimpin upacara di sekolah, mata saya terpaku pada seorang murid perempuan. Ia tampak manis di antara barisan murid SMK laki-laki yang lebih dekat dengan kata garang. 

Sebagaimana khasnya sekolah kami, ia berada di barisan depan, dan saya bisa melihatnya dengan jelas karena berdiri di tengah lapangan. Upacara memang selesai tidak sampai dua jam, tetapi bayang-bayang murid perempuan itu tentu tidak hilang sesingkat itu.

Diam-diam, satu per satu informasi saya kumpulkan. Nama, alamat, kelas, dan beraneka hal lain. Apakah kisah tadi berlanjut seperti drama FTV? Jawabannya, tidak. Sederhana saja, status sosial kami berbeda. 

Di tahun 2011, ia sudah pergi ke sekolah dengan sepeda motor mahal, sedangkan saya hanya naik sepeda. Ia cukup tenar di sekolah, sementara saya lebih sering menghabiskan jam istirahat dengan makan bekal dari rumah. 

Hal paling akhir yang saya tahu, kekasihnya adalah murid SMA lain dengan tunggangan motor sport paling tenar tahun itu. Karena hal-hal ini, saya memilih mengalah, mundur dari keinginan untuk mengenal lebih jauh gadis tadi.

Tahun 2020, akun Instagram-nya muncul di daftar rekomendasi pertemanan. Saya masih ingat nama dan semua detail kenangan tentangnya. Sebuah keinginan kecil muncul untuk menebus kekalahan sembilan tahun silam. Mungkin, lewat ajakan berkenalan dilanjut minum kopi di kedai sudut kota. Namun, kekalahan kembali harus saya terima, sebab akunnya sudah berisi foto-foto seorang bocah kecil nan lucu. 

***

Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan, begitu kata pepatah. Tetapi, logikanya, butuh modal untuk bisa ikut dalam sebuah pertaruhan. Sebab, meja judi tidak diciptakan untuk orang-orang tanpa modal. Kisah saya di atas, jangankan untuk bertaruh, modal saja saya tidak punya. Mengajak berjudi tanpa modal tentu saja hal yang bodoh.

Dua kekalahan tadi membuat kepala saya dipenuhi aneka pengandaian. Misalnya, bagaimana jika dulu ibu saya berkesempatan meneruskan kuliah dan menjadi guru, tidak mengalah dengan saudaranya. Atau, misalnya, bapak saya sukses di dunia olahraga yang dulu digemarinya. Mungkin, saya akan lahir bukan sebagai anak pasangan petani desa. 

Jika permisalan itu menjadi kenyataan, saya melanjutkan permisalan lain bahwa di tahun 2011, saya punya motor sport dan tidak perlu membawa bekal ke sekolah. Pasti, saya akan punya modal yang membuat saya berani untuk mengajak gadis tadi berkenalan.

Namun, saya akhirnya mengerti, cara melihat kehidupan melalui pengandaian-pengandian seperti itu hanya akan menjadi kekonyolan belaka. Ia tak lebih sebagai cara alami dalam merespon kekalahan-kekalahan dalam hidup. Kehadirannya menawarkan utopia imajinatif tentang keadaan sebaliknya. Bagaimana misalnya jika saja begini, atau bagaimana misalnya jika saja begitu, dan demikian seterusnya.

Di sisi lain, saya meyakini banyak orang pernah bergelut dengan kekalahan semacam itu. Bukan kalah dari sebuah perlombaan, bukan pula kalah dalam sebuah kompetisi, melainkan kalah dari keadaan yang melingkupi dirinya sendiri. Mereka, dan saya, akhirnya memilih untuk mengalah, bahkan sejak sebelum pertandingan dimulai.

Seorang kawan saya di tahun 2011 dulu, misalnya. Ia sangat ingin meneruskan kuliah, tapi pada akhirnya memilih mengalah karena memahami kemampuan ekonomi orang tuanya. Seorang kawan lain pernah mengalami hal serupa, ia ingin kuliah tetapi orang tuanya hanya mampu membiayai satu orang anaknya saja. Ia kemudian mengalah dan memberikan kesempatan itu pada sang adik. Kedua orang tadi gagal kuliah bukan karena tidak diterima oleh universitas, melainkan karena penerimaan diri atas realitas.

Orang lain mungkin bisa memberikan beraneka masukan. Mencari beasiswa atau menabung dulu, baru kelak meneruskan kuliah, misalnya. Namun, kehidupan tidaklah semulus kata-kata motivasi. Kenyataan dan keadaan di sekitar diri, diakui atau tidak, sangat berpengaruh pada kondisi mental pada tahap ini. 

Belum lagi, kenyataan bahwa tidak semua orang diberkati dengan pilihan melimpah dalam kehidupannya. Seorang kawan pernah mengalaminya. Ia menabung selama tiga tahun demi bisa kuliah dan akhirnya harus kembali kalah karena sang ibu membutuh biaya pengobatan. Sementara, para kakaknya memilih tutup mata.

Mungkin, saya akan mengatakan dengan mantap bahwa hidup adalah perjalanan dari kekalahan satu ke kekalahan selanjutnya. Memang, ada bonus berupa kemenangan di antara tahapan itu. Namun, logika matematika akan selalu menempatkan kemenangan sebagai bagian paling kecil. 

Kemenangan adalah soal puncak kompetisi dan kekalahan adalah soal berapa banyak peserta kompetisi tadi. Semua orang rasanya pernah mengalami ini. Kalah di pilpres, kalah di pileg, ataupun sekadar kalah bersaing mendapatkan gadis pujaan hati.

Saya sering berkhayal, apakah menikmati pengandaian setelah kekalahan juga terjadi di diri orang lain? Apakah seorang capres dengan dua kali kegagalan pernah membayangkan jika saja partainya telah berhasil menjadi partai besar, maka ia bisa menang? Atau, seorang caleg yang kalah pernah memimpikan jika saja ia berani mengeluarkan jumlah uang yang lebih besar, maka keinginannya akan tercapai?

Terlepas dari beraneka kekalahan manusia, kehidupan agaknya tidak pernah berpihak kepada mereka yang bersedih. Dunia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, walaupun ada satu orang telah menangis selama tiga hari tiga malam, misalnya. 

Dunia juga akan baik-baik saja, meskipun seseorang kalah di pemilu padahal telah mengeluarkan uang puluhan miliar. Maka, kekalahan-kekalahan tadi hanya bisa disikapi dengan sederhana, yakni dengan menerimanya sebaik mungkin.

Mau bagaimana lagi, kehidupan memang tidak selalu berjalan sesuai keinginan, dan kita harus siap menerima segala kekalahan tadi. Kekalahan-kekalahan ini bisa diterima dengan rasa syukur, umpatan, makian, atau sekadar ditertawakan. Satu hal penting, bahwa setelah itu, kita ternyata masih punya keberanian yang melimpah untuk bisa melihat dan menghadapi kenyataan. 

Jika memang kalah atau mesti mengalah lagi, maka kita harus hadapi lagi, dan seterusnya. Tidakkah kehidupan sejatinya memang sesederhana itu? Akan jauh lebih berbahaya andaikata manusia tidak lagi punya keberanian untuk menghadapi dan menerima kenyataan. Bisa-bisa, kita berhenti begitu saja dan enggan untuk meneruskannya.

Pada akhirnya, kekalahan bukan hanya berkorelasi pada keberanian dan pertaruhan. Jauh lebih besar lagi, ia adalah bagian dari misteri alam semesta yang susah dicerna dan, dalam beberapa hal, mustahil diubah. Lahir di mana, lahir dari siapa, dan dari mana jalan rezeki kita, adalah beberapa hal di antaranya. Di antara keadaan-keadaan itu, peluang kemenangan dan kekalahan terbentang. Penerimaan atau keputusasaan menjadi pilihan.

Saya percaya, tidak semua hal di dunia ini bisa dicerna lewat logika. Tidak peduli seberapa keras berusaha, jika Semesta mengatakan tidak, maka ia belum akan menjadi milik kita. Entah pasrah atau berusaha lebih, Semesta mungkin tidak akan peduli. Sebab, seringkali Semestalah yang mengatur kita, bukan sebaliknya.

***

Percayalah, saya menulis keluh dan kisah ini sembari mengamati akun Instagram gadis tadi. Ego dalam diri kadang berkata agar saya mengirimkan sebuah pesan sapaan kepadanya, sekadar demi penebus dua kekalahan di masa silam. “Setidaknya, kan, pernah mencoba. Toh, rezeki tidak ada yang tahu,” demikian ego saya berkata. “Siapa tahu dua bocah tadi hanya sepupunya,” lanjutnya. Saya tahu, kata-kata itu hanya penenang.

Kekalahan memang telah menjadi bagian dari perjalanan saya selama ini. Saya pernah merasakan ratusan kali kekalahan. Mulai dari urusan naskah ditolak media, hingga niat meminang seorang perempuan ditolak orang tuanya karena saya bukan PNS. 

Saya sudah mengalami semuanya. Saya pun tidak tahu apakah di masa depan nanti masih akan ada kekalahan, kekecewaan, atau malah kemenangan. Hidup adalah sebuah permainan, dan kita adalah pemainnya. Siap tidak siap, suka tidak suka.

Tiba-tiba, saya sudah mengirim satu pesan ke akun perempuan tadi. Gila? Entah. Tapi setidaknya saya sedikit terhibur, bahwa setelah dua kekalahan dari orang yang sama, saya masih punya keberanian sekadar untuk menyapa, entah untuk apa. [red/pap-bp]

Syaeful Cahyadi, Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

9 thoughts on “Kekalahan, Pengandaian, dan Penerimaan

  1. Semangat Mas, hidup adalah misteri. Tapi justeru dengan ke-misteri-an itu membuat kita terus berjuang dan menapakinya meski tertatih. Kebayang kalau weruh sakdurunge winarah, hidup sudah bukan tantangan lagi.

  2. Pengandaian memang membuat kita terhibur, tetapi tidak mampu mengubah fakta yang ada saat ini.

    Ah, seandainya saja aku bertemu Mbak itu sekira 10 atau 15 tahun yang lalu. Aku yakin sekali…

    Mbak itu masih jadi anak SMP.

  3. Potret yang sederhana tapi sarat makna. Saya beruntung pernah berkali-kali kalah, sehingga setelah saat bisa menan g rasanya sesuatu banget. Seperti melepas dahaga di gurun sahara haha…

  4. Wih mental yang kuat.

    Tapi bagaimana jika ternyata ada gadis di luar sana yang juga merasakan kalah ketika ia membaca tulisan ini?
    Kalah dan selesai. Merajut kisah yang belum pernah ia mulai.
    Dia pikir istimewa dicerita mas nya. Ternyata hanya teman balas stori wa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *