Mengajarkan Empati dan Trikotomi Kendali

Empati

“Pada dasarnya pola asuh akan berdampak pada pembentukan karakter, adanya kematangan, juga proses bagaimana individu berkomunikasi dalam bersosialisasi, berpengaruh besar pada terbentuknya empati seseorang.”

Di sebuah grup mental support, seorang perempuan single parent, sebut saja Dina, curhat tentang perlakuan orang tua yang buruk kepada dia dan anaknya, saat keadaan memaksanya untuk kembali kepada orang tua. Mental yang tengah diuji dengan trauma perceraian, tanggungan anak, serta kewajiban untuk menjadi tulang punggung keluarga dan orang tua, justru malah mendapatkan tekanan dari orang-orang yang seharusnya menjadi tempat dia untuk “pulang”.

Respon yang dia dapatkan bukannya empati atau dorongan semangat, tapi justru sebaliknya. Dia dihujat, dicap sebagai anak durhaka, tak tahu diri, dan tak tahu diuntung. Tak mau kalah, dia pun membalasnya dengan kemarahan bertubi-tubi. Dia ingin orang-orang yang ia sebut toksik itu belajar berempati. Mudah ditebak, pada akhirnya diskusi gagal terjadi dan hanya menjadi perdebatan yang tidak berujung.

Saya bisa memahami apa yang sebenarnya dia inginkan: support dan empati. Kemarahannya adalah respon atas luka tak terlihat, tetapi nyata dan kembali terbuka. Pertanyaan saya, mungkinkah Dina mendapatkan apa yang diinginkannya? Apakah usahanya yang mati-matian untuk mendapatkan empati semua orang itu masuk akal, dan dapat membuahkan hasil? 

Saya tidak yakin.

Zaman sudah terlampau jauh berubah dari saat Dina dilahirkan. Ikatan emosional antar manusia sudah merenggang seiring perkembangan teknologi yang semakin hingar-bingar. Semua orang ingin bersuara, ingin tampil, ingin dilihat, ingin diakui, tak peduli apakah itu berguna atau sekedar nyampah saja

Saya teringat dengan ungkapan seorang trainer dalam pelatihan pengajar di sebuah lembaga pendidikan: “If you talk when I talk, so who will listen?” Jika kamu dan aku bicara bersamaan, lantas siapa yang akan jadi pendengar? Walaupun ditujukan untuk siswa, namun menurut saya, kalimat itu tepat dalam menggambarkan situasi afektif antar manusia belakangan ini, terutama Dina dan para komentatornya.

Lalu, bagaimana seharusnya untuk mendapatkan empati?

Empati tidak bersifat “being”, yang hadir secara alami saat manusia diciptakan. Pun demikian dalam prakteknya, empati tidak pernah diajarkan di sekolah manapun. Dia bukan sebuah mata pelajaran yang bisa dihafal, untuk kemudian dipahami. Empati bersifat multidimensional, yang memiliki komponen afektif dan kognitif secara bersamaan.

Ada beberapa teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki empati, misal Hoffman (1999) dan Siwi (1992). Namun pada dasarnya keduanya sepakat bahwa pola asuh yang berdampak pada pembentukan karakter, adanya kematangan, juga proses bagaimana individu berkomunikasi dalam bersosialisasi, berpengaruh besar pada terbentuknya empati seseorang.

Dari situ saja, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa empati adalah proses yang bersifat personal, tidak bisa diajarkan dan juga tidak tepat untuk terlalu diharapkan. 

Lho, serumit itukah?

Jadi begini. Dari sisi pembentukan, empati dari orang lain berada di luar kuasa kita. Sementara dari segi proses, selain bersifat individual, prosesnya berada di area mind’s muscle, yaitu sebuah proses mental mendalam dari seseorang, yang ditujukan kepada orang lain (Ticherner, 1909). Artinya seseorang harus mengalihkan fokus, yang awalnya hanya tertuju kepada dirinya, menjadi tertuju kepada objek atau orang lain.

Pemahaman terhadap kondisi orang lain tidak akan tercapai bila hal itu hanya berhenti di pikiran saja. Seseorang harus mau “keluar” dari dirinya untuk bisa membayangkan sesuatu yang terjadi pada orang lain tersebut, juga terjadi pada dirinya. Sementara itu, seperti yang sudah kita pahami bersama, kecenderungan yang terjadi saat ini, tak ada objek yang lebih menarik selain diri kita sendiri, bukan?

Sebenarnya semua hal di atas hanyalah ilustrasi betapa rumitnya seseorang untuk bisa mendapatkan empati dari orang lain. Walaupun dia mengunggahnya di sebuah grup mental support, dengan asumsi bahwa para anggotanya mengalami permasalahan yang sama, empati tetaplah bukan reaksi yang bisa dia kendalikan. Justru karena harapannya untuk mendapatkan empati, Dina malah semakin menyakiti dirinya sendiri.

Menyadari hal-hal mana yang bisa kita kendalikan, tidak bisa kita kendalikan, dan mana yang sebagiannya bisa kita kendalikan adalah tawaran solusi bagi Dina untuk meringankan nestapanya. William Irvine, seorang filsuf Stoa dari Wright State University, Ohio, Amerika Serikat, menyebutnya sebagai Trikotomi Kendali. Opini dan tindakan orang lain adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh Dina. Namun opini dan persepsi Dina terhadap sesuatu hal adalah sesuatu yang bisa dia kendalikan.

Harus diakui, support dan empati merupakan kebutuhan pokok bagi siapapun, terutama bagi penyintas gangguan mental. Sayangnya, tidak semua bernasib baik memiliki keluarga atau sahabat yang mendukung kesehatan mental seperti Dina. Namun, belum memiliki support system yang baik bukan berarti tak ada harapan lagi. Hanya saja, dia perlu mengubah persepsinya dengan meyakini bahwa ada hal-hal yang sebagiannya bisa dia kendalikan.

Kendali sebagian yang dimaksud di sini adalah memisahkan antara target di dalam diri (internal goal), yakni mendapatkan empati, dari hasil eksternal (outcome), yakni reaksi orang-orang kepadanya. Bisa jadi, pada saat itu dia berada di tempat, waktu, dan orang-orang yang tidak tepat. Namun bukan berarti dia akan menghadapi reaksi yang sama di tempat lain. Dina hanya perlu mencoba dan terus mencoba, tetapi tanpa memaksakan hasilnya.

Semua ini memang tidak mudah, tapi yakinlah bahwa di antara banyak orang yang hanya peduli kepada dirinya sendiri, juga masih banyak orang baik di luar sana yang bisa merasakan apa yang kita rasa. Fokus kepada mereka yang baik, walau sedikit, jauh lebih baik daripada memaksakan sesuatu yang buruk untuk menjadi baik. 

Empati memang tak perlu diajarkan, tetapi selama matahari masih bersinar, dia akan selalu tersedia dan mungkin untuk dimiliki. [red/bp]

Rina Purwaningsih, suka bermain, belajar, menulis, dan mengajar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *