Site icon ghibahin.id

Seolah-olah Anjing Binatang Paling Hina, Padahal …

Anjing

Foto oleh Gilberto Reyes dari Pexels

“Bener sampean mau dipanggil anjing?”

“Terserah kamu. Masak aku harus melarang-larang. Aku malah berterima kasih jika kamu memanggilku anjing. Dengan begitu, kehormatanku sedang ditinggikan karena aslinya aku tidak pernah mampu setia dan sejujur anjing.”

“Ya saya ndak berani bilang apa-apa, Cak.”

“Sama, Mat. Aku juga tak berani memberi cap kepada siapapun dengan label apapun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri.”

***

Penggalan cerita tersebut disusun secara apik oleh Cak Rusdi Mathari, di dalam salah satu bukunya yang cukup fenomenal; Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya yang pertama kali terbit tahun 2016.

Cerita ini kembali membuka paradigma kita, terutama saat memaki orang lain dengan kata anjing, atau menganalogikan hal-hal lainnya dengan anjing. Apapun yang hendak dimaksud dengan istilah anjing, sangat mungkin saya dan Anda semua akan merasa emosional dan tidak terima.

Orang-orang yang gemar mengatai dengan kata anjing pun umumnya juga menganggap bahwa anjing adalah binatang hina yang kehadirannya mengganggu, sehingga merasa pantas menyamakan segala sesuatu yang dianggapnya buruk dengan umpatan anjing.

Padahal, seperti dalam penggalan cerita di awal, Cak Dlahom sebagai tokoh imajinatif dalam buku tersebut justru merasa senang dipanggil anjing dan malah tidak berani melabeli apapun. Sebab, dirinya merasa tidak bisa sesetia dan sejujur anjing.

Dan memang, di banyak cerita dalam perspektif Islam, ada beberapa kisah tentang anjing yang justru mencerahkan dan penuh hikmah kebaikan.

Salah satu contohnya adalah kisah Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Ia menyaksikan seorang penjaga kebun kurma sedang memberi makan seekor anjing. Meskipun miskin, si penjaga kebun kurma rela tidak makan agar bisa membagikan makanannya kepada anjing tersebut.

Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang sangat dermawan yang sering menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim. Ketika melihat hal tadi, ia merasa malu karena selama ini dirinya hanya pernah berbuat baik kepada sesama manusia, tapi belum pernah berbuat baik kepada makhluk lainnya, apalagi anjing.

Kisah lainnya tentang anjing yang sangat populer bagi umat Islam adalah kisah tujuh pemuda yang harus bersembunyi di gua, demi menghindari kekejaman raja lalim. Mereka tertidur di gua selama bertahun-tahun dengan dijaga seekor anjing yang mereka pelihara. Disebut dalam Al-Kahfi, anjing tersebut dijamin oleh Allah akan masuk surga karena kesetiaan saat menjaga tuannya. 

Sementara dalam kisah lainnya, diceritakan tentang pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang sedang sekarat.

***

Kisah-kisah tersebut membuat kita semua harusnya percaya bahwa anjing bukanlah binatang yang hina, dan kehadirannya justru bisa menjadi hikmah bagi kita. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, anjing menjadi binatang yang namanya selalu disematkan dalam ujaran bernuansa makian. Seolah-olah, anjing memang hina dan namanya pantas dijadikan kata makian, sementara si pemaki yakin betul dirinya lebih mulia dari anjing dan orang yang dimakinya. 

Kemuliaan tidak akan pernah kita dapatkan ketika ucapan tidak selaras dengan tindakan. Jadi, apabila kita ingin menggunakan kata anjing sebagai makian, sebaiknya kita perlu memeriksa, apakah diri kita sudah sesetia dan sejujur anjing terhadap tuannya. Apakah kita sudah setia dan jujur dalam menjalankan perintah Tuhan kita?

Dan kita juga tidak perlu marah secara berlebihan ketika dimaki dengan sebutan anjing. Mengapa? Ya, justru kehormatan kita sedang ditinggikan, karena bisa jadi kita tidak akan pernah mampu sesetia dan sejujur anjing. Jika meminjam ungkapan Cak Rusdi, mereka yang gemar menganjing-anjingkan orang lain sebenarnya sedang memaki dirinya sendiri.

Dari sisi lain, kita bisa melihat bahwa anjing saja tidak pernah merampok anjing yang lain. Justru, manusialah yang sering melakukan hal itu, dengan mengingkari janji, tidak setia terhadap amanah, serta merampas dan mengeksploitasi hak-hak manusia yang lain. Jika sudah seperti itu, lantas siapa yang lebih hina?

Lalu, dengan pongahnya kita menyalahkan anjing, dan bahkan menganggap diri kita lebih mulia daripada anjing, sehingga merasa layak menjadikan anjing sebagai umpatan.

Kita tahu, bahwa anjing adalah salah satu binatang yang paling banyak dikisahkan dalam Alquran dan hadis, walaupun anjing juga selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai bagi umat Islam karena dianggap menjijikkan dan najis. Bahkan, perdebatan soal analogi suara adzan dengan gonggongan anjing menjadi topik hangat saat ini.

Di dalam hadis, anjing memang disebut sebagai binatang yang najis. Namun, Nabi tidak menyinggung tentang hubungan anjing dan manusia. Semua pendapat tentang anjing tergolong sebagai khilafiyah, terdapat berbagai perbedaan pendapat dan tafsir. Dan tentu, sebagai seorang muslim, kita boleh berpegang teguh pada salah satunya, sesuai dengan kapasitas ilmu dan mazhab kita masing-masing.

Di antara berbagai perbedaan pendapat soal anjing, justru ada satu hal yang mungkin kita bisa sepakati, yakni bahwa sifat anjing yang paling teguh adalah kesetiaannya. Kesetiaan yang teguh ini justru perlu kita tiru dan amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di negeri yang katanya beradab ini.

Saat merefleksikan tentang kesetiaan anjing, banyak pertanyaan muncul. Bukankah seorang wakil rakyat harus setia terhadap rakyatnya? Bukankah seorang pejabat negara harus bersikap setia terhadap orang-orang yang memilihnya? Bukankah kita juga harus setia pada prinsip-prinsip kebaikan? Jika kita belum mampu untuk setia dan lebih sering mendua, baik terhadap perintah langit maupun terhadap sesama, apakah kita layak disebut lebih mulia daripada anjing? [red/bp-rin]

Mahadir Mohammed, Penggiat komunitas baca ‘Kembul.id’ dan kritikus kenangan silam.

Exit mobile version