Kurikulum Pendidikan Mazhab Gosip Tetangga

Tetangga

“Kini, anak TK sudah dihadapkan dengan aritmatika sederhana, mungkin tidak lama lagi akan belajar evolusi manusia dan teori-teori sosial Ibnu Khaldun, atau psikologi Sigmund Freud.”

Sore kemarin, saya tidak sengaja ikut menemani keponakan saya yang masih kelas 1 MI (madrasah ibtidaiyah, setingkat sekolah dasar) belajar bersama ibunya. Dengan suara keras, ibunya membacakan soal, “Berapa jumlah pemain basket?”

Pikiran saya tiba-tiba melantur ke mana-mana. Perlu pembaca ketahui, kami tinggal di desa pedalaman, di Kabupaten Nganjuk, yang konon tempat istimewa untuk menghabiskan waktu pensiun. Maka, jangankan permainan basket, sepak bola saja masih meraba-raba karena lapangan bola letaknya sangat jauh dari rumah kami. 

Dalam imajinasi saya, si pembuat soal ini pasti menganggap bahwa para pembacanya, khususnya yang kelas 1 SD, telah mempunyai keranjang basket di teras depan rumahnya. Atau mungkin, si pembuat soal setiap hari bermain basket dengan anaknya, kemudian di sela-sela mereka bermain, si pembuat soal ini mengatakan dengan bijak bestari:

“Anakku, ketahuilah bahwasanya jumlah pemain bola basket berjumlah lima orang.”

Jedak-jeduk bunyi pantulan bola pun terdengar.

“Iya, Ayah,” kata sang anak.

Padahal, keponakan saya itu membaca saja masih dieja. Bagaimana mungkin dengan kemampuannya demikian, dia sudah di-glonggong dengan pertanyaan yang begitu spesifik?

Kisah yang mirip saya dapatkan dari keponakan saya lainnya, yang duduk di kelas 2 MI. Kebetulan lagi, saya sedang bersama mereka saat ibunya mengajarkan mata pelajaran kesenian. 

Kali ini, ibunya membacakan soal: “Di bawah ini yang termasuk dalam warna suara adalah, kecuali ….”

Bajigur, saya langsung kaget mendengar pertanyaan itu. Seumur hidup, dari TK hingga S2, saya tidak pernah tahu bahwa suara itu punya warna. Ini pertanyaan model apa lagi? 

Tidak hanya di pelajaran seni, pelajaran kelas 2 MI dengan “korban” yang sama, keponakan saya, juga menemukan kesulitan tak kalah bikin geleng-geleng kepala. Sebuah pertanyaan berbahasa Arab ditunjukkannya kepada saya:

Ana adzhabu ila … (Saya pergi ke …). 

Oke, lah, kalau jawabannya adalah satu-satunya kata tempat di pilihan jawabannya. Tapi, tidak semudah itu Fergusooo ….

Pilihan jawabannya adalah sama-sama madrasahnya. Namun, yang membedakan ialah harakat (penanda vokal) akhirannya apakah fathah, dhammah, kasrah, atau sukun.

Saya memang bisa menjawabnya seketika saat itu. Tapi sejauh saya mengingat, saya baru bisa memahami perbedaan arti harakat akhir A-I-U itu di madrasah aliyah! 

Pertanyaan semacam itu menurut boros (bukan hemat, ya, hehe) saya adalah bentuk kepagian dalam belajar. Huft, saya tidak tahu lagi harus komentar bagaimana.

Saya baca lagi buku yang dipelajari keponakan saya itu secara menyeluruh. Akhirnya, saya menemukan bahwa semua itu bukanlah salah pembuat soal. Maaf, nggih, Bapak pembuat soal.

Permasalahannya adalah pada kurikulum kita yang begitu cepat. Dahulu kala, ketika masih SD kelas 1, saya masih dihadapkan dengan pelajaran ini ibu Budi, ini bapak Budi, yang melegenda itu. Saya masih belajar mengeja kata, menggandeng-gandengkan huruf, datang pukul tujuh, kemudian pulang pukul sembilan pagi. Menyenangkan sekali.

Kini, anak TK sudah dihadapkan dengan aritmatika sederhana, mungkin tidak lama lagi akan belajar evolusi manusia dan teori-teori sosial Ibnu Khaldun, atau psikologi Sigmund Freud, hehe. 

Benak saya jadi bertanya-tanya, mengapa kurikulum kita menjadi demikian cepat dan padat, bahkan di era pandemi ini? 

Saya segera menemukan jawabannya saat uji coba PTM (pembelajaran tatap muka), baru-baru ini.

Suatu hari, saat mengantar keponakan ke sekolah, saya mengobrol dengan beberapa pengantar murid di teras sekolah tersebut. Dari obrolan-obrolan tersebut, saya mendapat keterangan yang cukup bikin tergoncang. 

“Eh, alhamdulillah, ya. Anakku masih TK, sudah bisa membaca, lancar. Setiap hari membaca buku yang aku belikan,” kata salah satu orang di antara mereka.

“Iya, anakku juga, baru masuk SD sudah khatam baca Alquran. Ustadahnya menyuruh kami untuk syukuran,” jawab satunya lagi.

Woooh. Bisa dibayangkan, bukan? Seandainya, seandainya lho ya, anak yang saya antar itu bapaknya adalah pejabat pemegang kebijakan pendidikan? Mungkin bakal panas telinga bapaknya, dan kurikulum akan semakin kebut-kebutan. [red/bp]

Ahmad Natsir, seorang paman yang insyaallah baik, tinggal di Tulungagung.

6 thoughts on “Kurikulum Pendidikan Mazhab Gosip Tetangga

  1. Kemarin saya disuruh ngajari anak saya yang kelas 6 SD. Lho kok soalnya udah mbahas masalah akar dan kuwadrat. Akhirnya saya jadi emosi, soalnya saya juga gak mudeng .

  2. Temanku guru SD negri bilang. Menurut teori “…” Seharusnya membaca tidak diwajibkan sebelum SD bahkan kelas 1 aja belum masanya. Tapi………..

  3. Kurikulum kita memang nganu. Masak iya masuk SD mesti bisa baca dulu. Jangan-jangan kelas dua disuruh khatan tetralogi buru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *