Site icon ghibahin.id

Tangis Ibu

Tangis Ibu

Foto oleh Kat Smith dari Pexels

“Air mata tiba-tiba mengalir deras dari sudut mata Ibu tanpa suara. Bibirnya bergetar hebat, seperti menyimpan banyak kata yang tak bisa diucapkannya.”

Jalanan depan rumah sedikit lengang sore itu. Hanya sesekali saja pejalan kaki melewatinya. 

Pulang dari pasar, aku menemukan Bapak termenung di depan pagar. Ia menatapi jalanan lengang di depannya dengan mata menerawang. Dahinya yang keriput semakin berkerut. 

Seko ngendi bae, Nduk?”1 tanya Bapak  ketika aku melewatinya. Suaranya lebih serak daripada biasanya. Bapak memang bersuara serak ala rocker, tapi sore itu suaranya berat seperti suara orang yang sedang sakit tenggorokan.

Saking2 pasar, Pak. Tumbas3 benang” jawabku. Aku mengangguk kecil kepada Bapak kemudian berlalu ke ruang tengah untuk menyerahkan hasil belanjaanku kepada Ibu.

Di ruang tengah, Ibu masih berkutat dengan mesin jahitnya. Dari gerak-geriknya yang tak biasa, aku tahu Ibu menyimpan amarah. Suara mesin jahit yang melaju kencang mengiringi amarah yang kian parah. Tak lama kemudian terdengar suara jarum patah diiringi sumpah serapah. 

Adik-adikku tak ada yang kelihatan di rumah. Entah kemana mereka pergi. Anti, adikku nomor dua mungkin sedang belajar kelompok di rumah temannya. Anna, adik bungsuku mungkin sedang bermain dengan Ria, kawan sebayanya, anak tetangga di belakang rumah. 

Aku mengendap tanpa suara. Usai meletakkan benang di meja makan dekat mesin jahit Ibu, aku berniat melarikan diri. Aku enggan menemani bila Ibu sedang marah. 

Ibu adalah orang yang lembut dan jarang marah. Namun bila diamuk amarah, Ibu berubah menjadi badai. Menurut pengalamanku, lebih baik menghindar saja di saat demikian. 

“Kenapa harus anakku? Kenapa?” Suara mesin jahit Ibu sudah lama berhenti. Ia mengebrak-gebrak meja sebagai gantinya. 

Ruangan yang tiba-tiba senyap. Hal itu justru menakutkanku. Aku terpaku, masih berdiam di dekat mesin jahit Ibu.

Aku melihat kedua tangan Ibu sudah berada di puncak kepala, lalu mulai menjambaki rambutnya sendiri dalam gerak tak terkendali. 

Usai menjambaki rambutnya sendiri, Ibu memukuli dadanya beberapa kali. Suara berdebam telapak tangan menyentuh dada itu membuatku memegangi dadaku sendiri dengan ngeri.  Ibu tak pernah seperti itu sebelumnya. 

Bagaimana ini? Dengan panik aku berlari keluar memanggil Bapak.

Ruang tengah senyap ketika dengan tergopoh-gopoh Bapak menghampiri Ibu. Aku melihat Ibu terkulai lemas di kursi, masih di depan mesin jahit dengan jarum yang patah itu.

Diam-diam aku merasa lega karena Ibu sudah berhenti mengamuk. Bapak meletakkan tangannya di dahi Ibu, lalu mengusap wajahnya dengan lembut. 

Aku bingung melihat Bapak mengernyitkan kening. Bapak  segera menggendong Ibu ke kamar dan membaringkannya perlahan di tempat tidur berkelambu. Tanpa bertanya aku membantu Bapak menyibakkan kelambunya. Ternyata Ibu pingsan.

Aku menangis sambil memegangi tangan Ibu. Kepanikanku segera berubah menjadi rasa takut. 

Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Ibu? Aku belum pernah melihat Ibu pingsan. Aku juga tak tahu mengapa Ibu pingsan di dalam rumah. Setahuku, orang hanya bisa pingsan karena kepanasan. Beberapa temanku pernah mengalaminya ketika mengikuti upacara bendera

“Tidak apa-apa, Nduk. Jangan menangis,” kata Bapak seraya mengusap kepalaku sekilas.

Bapak terus mengatakan bahwa tidak terjadi ada apa-apa dan melarangku menangis. Entah mengapa kata-katanya justru membuat isakku semakin menjadi.

Bapak sibuk mengipas-ngipas Ibu dengan kertas karton hasil prakarya adikku yang ditemukannya di samping tempat tidur.  Udara dalam kamar memang terasa panas.

Aku berinisiatif memijat kaki Ibu. Aku juga berdoa dalam hati supaya Ibu segera siuman.

Tak lama kemudian Ibu mulai membuka mata. Bapak membalurkan minyak kayu putih di beberapa bagian tubuhnya sambil terus memandangi Ibu dengan tatapan mata yang sulit kuartikan. 

Air mata tiba-tiba mengalir deras dari sudut mata Ibu tanpa suara. Bibirnya bergetar hebat, seperti menyimpan banyak kata yang tak bisa diucapkannya. Beberapa kali Ibu menghela nafas. Dengan mata terpejam, Ibu kemudian memijat-mijat keningnya. Kali ini dengan gerak lembut berulang seolah ingin menyingkirkan beban pikiran dari kepalanya. 

Bapak menangkap tangan Ibu dan menggenggamnya dengan sebelah tangan. Dengan sebelah tangan lainnya, ia menggantikan gerakan Ibu mengusap kepala untuk menenangkannya. Ibu tak menepisnya. Berarti amarah Ibu bukan kepada Bapak. 

Sikap Bapak yang penuh perhatian itu malah membuat Ibu menjadi sesenggukan mirip anak kecil yang terluka. Hal itu membuatku ikut menangis. Masalahnya aku tak tahu apa yang sebenarnya kutangisi. 

Bapak kemudian menyuruhku keluar kamar. Karena memang selalu menuruti perkataan Bapak, aku terpaksa menyeret langkahku ke luar tanpa banyak bertanya. Namun diam-diam, tanpa setahu Bapak, aku duduk di depan pintu kamar, berusaha mencuri dengar.

Rumah kami terbuat dari papan dan semua kamarnya tidak berdaun pintu. Hanya ditutup dengan tirai dari kain yang dulunya tebal namun kini telah memudar. Bila tertiup angin, tirai di depan pintu akan berkibar-kibar. Tak ada sesuatu pun yang bisa disembunyikan di dalamnya. 

Bapak dan Ibu masih cukup lama berdiam diri sebelum akhirnya aku bisa mendengar suara percakapan mereka yang samar.

 “Masa depan anakmu sudah rusak.” Suara Ibu bergetar. Kentara sekali dari nada suaranya bahwa Ibu bicara sambil menangis.

“Hanya Tuhan yang tahu masa depan.” Suara Bapak masih sama seraknya seperti sebelumnya. ”Kita berdoa saja.” 

Aku membayangkan Bapak mengucapkan kalimat itu sambil meremas tangan Ibu seperti kebiasaannya bila sedang mengucapkan kalimat klise atau mengutip khotbah. Hampir setengah jam aku duduk di depan pintu. Namun tak sepotong kalimat pun yang kudengar untuk menjelaskan alasan kedua orang tuaku teramat sedih dan dipenuhi amarah hari itu.   

***

“Kasihan ya, masih kecil sudah tidak perawan ….” 

Suara nyinyir tetangga lamat-lamat terdengar dari jendela kamarku yang terbuka lebar, di antara suara guyuran air timba dan sikat baju yang beradu dengan batu. 

Suara-suara itu pasti berasal dari sumur yang letaknya tepat di luar kamarku. Sumur itu milik umum dan dipergunakan bersama-sama oleh banyak warga kampung, meskipun digali di atas tanah kakekku. Banyak tetanggaku mencuci baju di sana, karena ada lempengan batu andesit lebar berwarna hitam yang akan membuat baju kotor yang digosok di atasnya menjadi cepat bersih. 

Tanah kakek buyutku dulu sangat luas, tetangga yang kini tinggal di kiri, kanan dan belakang rumahku pun membangun rumah mereka di atas tanah kakekku.  Sayang sekali aku tak sempat mengenalnya karena kakek sudah meninggal jauh sebelum aku lahir. 

Banyak cerita yang mengisahkan kedermawanan kakek buyutku. Di antara kebaikan itu, yang paling melegenda adalah kakek dulu mengijinkan siapa pun yang membutuhkan boleh membangun rumah di atas tanahnya hanya dengan bayaran tembakau yang setiap hari diisapnya. 

Karena kedermawanannya, kakek sangat disegani di kampung. Namun kedermawanan kakek pulalah yang membuat ayahku, anak tunggal kakek, hidup serba kekurangan. Kakek hanya meninggalkan sepetak rumah yang kini menjadi tempat tinggalku, terhimpit oleh rumah tetangga sekitar yang hampir tak menyisakan jarak.

“ Kalau udah gede nanti, apa ada laki-laki yang mau?”

Ada suara seseorang memukulkan kain ke batu. “Anak perempuan kok nggak dijagain, dibiarkan main sendiri.” Suara lain menimpali.

“ Iya, orangtuanya sibuk nyari duit terus sih.”

Aku kenal tiga suara perempuan itu. Itu suara Yu Marti, Lik Warji, dan Mbak Tin. Mereka pasti bergosip sambil mencuci baju seperti biasa. 

“Hus, bukan orangtuanya yang salah. Si Bagor tuh yang sakit jiwa, masak anak tetangga digituin semua. Mana masih kecil-kecil lagi!”

“Hih, masih merinding aku mbayanginnya.”

“Makanya jangan dibayangin.”

“Untung si Rani ikut bapaknya di Jogja, kalau masih tinggal di sini, jangan-jangan disikat juga sama si Bagor.” Suara Mbak Tin kini terdengar penuh syukur, padahal setahun yang lalu dia menangisi anaknya yang dibawa mantan suami ketika bercerai.

“Untung anakku cowok semua. Aman.”Yu Marti terkekeh-kekeh. 

“Eh, anak laki-laki juga harus dijagain. Bisa terjerat narkoba.”

“Jamannya sudah edan ini.”

Pembicaraan tetangga itu kian lama kian membuat curiga. Mereka membicarakan siapa sih? Aku pun diam-diam menyibakkan tirai jendela. Suara percakapan di sumur menjadi semakin jelas.

“Nggak nyangka kalau si Bagor itu doyannya sama anak kecil.”

“Masak anak TK diperlakukan seperti …. ah, ngeri memikirkan itu. Orang kok tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya saja.” Suara Mbak Tin terdengar gusar. 

Pak Bagor yang disebut-sebut dalam percakapan itu adalah tetangga yang tinggal persis di belakang rumahku. Dua hari yang lalu dia ditangkap polisi ketika sedang menjemur burung perkutut di depan rumahnya. Sampai saat ini aku tak tahu sebabnya, namun aku ingat harinya adalah hari Selasa, ketika Ibu pingsan di depan mesin jahitnya.

Aku masih termangu sambil memegangi tirai jendela ketika Anna, adik bungsuku yang baru berusia lima tahun masuk ke kamar sambil memegangi celana. Nampaknya dia baru keluar dari kamar mandi.

“Kenapa? Masih sakit kalau kencing?” tanyaku. 

Anna menggangguk. Hampir seminggu ini Anna memang selalu kesakitan tiap kali ke kamar mandi. Dan setiap kali melihat Anna kesakitan seperti itu, Ibu selalu menangis. [red/red]

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman; kadang nulis, kadang main.

 1 Dari mana saja, Nak (anak perempuan)

2 Dari

3 Membeli

Exit mobile version